Eggi Sudjana: Bagaimana Jokowi Bisa Masuk UGM? Ijazah SMA-nya Saja Tidak Ada!

- Senin, 07 April 2025 | 17:20 WIB
Eggi Sudjana: Bagaimana Jokowi Bisa Masuk UGM? Ijazah SMA-nya Saja Tidak Ada!




PARADAPOS.COM - Pengacara Bambang Tri dan Gus Nur (yang dipenjara dalam kasus ijazah Jokowi), Eggi Sudjana kembali mengungkap kasus ijazah Jokowi.


"Selama kurang lebih 5-6 bulan, setiap minggunya, seingat saya tiap hari Kamis, sidang di Pengadilan Negeri Surakarta (sidang Bambang Tri dan Gus Nur). Nah, walhasil tidak ditemukan atau tidak pernah diperlihatkan ijazah aslinya Jokowi. 


Jangan lupa, persidangan ini (Bambang Tri) bukan soal ijazah yang UGM. Ini soal ijazah SD, SMP, SMA. 


Nah, ini logika hukumnya sangat kuat. Bagaimana Jokowi bisa masuk UGM? Ijazah SMA-nya aja nggak ada. 


Kalaupun ada fotokopi dengan dilegalisir, itu saya tanya aslinya di depan hakim, jaksa saya panggil, 'eh jaksa kau bawa apa bukti Jokowi ijazahnya yang SAMA?' 


Yang SMA nggak ada." 


[VIDEO]




[FLASHBACK] 'Ijazah Jokowi Cuma Berkas Foto Copy Dari Penyidik'




SEBUAH IKHTIAR UNTUK TEGAKNYA KEADILAN DITENGAH MASIFNYA KRIMINALISASI BERDALIH PENEGAKAN HUKUM


Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

(Advokat, Kuasa Hukum Gus Nur)


Saat kami mempersoalkan mengapa ijazah asli Jokowi tidak dihadirkan jaksa di persidangan, Saudara jaksa tak dapat memberikan argumentasi hukum kecuali berdalih hanya mendapatkan berkas foto copy dari penyidik (polisi). Beberapa kali majelis hakim juga mengingatkan, bahwa beban pembuktian dakwaan ada pada jaksa.


Bahkan, Bang Eggi sempat mempersoalkan, mengapa kasus ini dipaksa disidangkan, sementara ijazah aslinya tidak ada? Jaksa kembali berdalih bahwa dari penyidik (polisi) berkasnya hanya copian, tidak ada asli ijazah Jokowi. Lalu mengapa berkas perkara dianggap lengkap (P-21), padahal ijazah Jokowi yang asli tidak ada? jaksa hanya terdiam.


Anehnya, menyadari buktinya tidak lengkap, tidak sempurna karena tidak ada ijazah asli Jokowi, tapi jaksa tetap menuntut Gus Nur dengan pidana 10 tahun penjara. 


Padahal, tuntutan maksimum pasal 14 ayat (1) UU No. 1/1946 adalah 10 tahun penjara. Itu artinya, Gus Nur dituntut maksimum dengan dasar bukti yang minimum, bahkan copy ijazah tidak dapat membuktikan keaslian ijazah.


Dalam banyak kasus, pasal 14 ayat (1) UU No. 1/1946 belum pernah digunakan untuk menuntut maksimum pada kasus lain, kecuali dalam kasus Gus Nur.


Ratna Sarumpaet dituntut 4 tahun. Habib Rizieq dituntut 6 tahun. Syahganda Nainggolan dituntut 6 tahun. Namun, dengan pasal yang sama Gus Nur dituntut 10 tahun penjara. Ada apa?


Selama menangani banyak kasus pidana dengan berbagai varian, baik tipikor, ITE, pidana umum berbasis KUHP, pidana khusus, penulis belum pernah mendapati pengalaman jaksa mengajukan tuntutan maksimum. Biasanya, jaksa menuntut dibawah maksimum tuntutan yang diatur dalam norma.


Hanya saja setelah penulis kaji ternyata masalahnya ada pada kasus Gus Nur yang melawan penguasa. Kasus ijazah palsu Jokowi adalah kasus yang sangat sensitif, kritik yang sangat tajam, yang terkait dengan legalitas dan eksistensi jabatan seorang Presiden. Dari situlah, penulis paham mengapa jaksa tutup mata pada fakta persidangan dan tetap ngotot menuntut Gus Nur dengan pidana 10 tahun penjara.


Unsurnya tidak terpenuhi. Kalau Mubahalah Ijazah palsu dianggap kabar bohong, maka harus dibuktikan dengan menghadirkan ijazah aslinya. Karena jaksa tidak menghadirkan ijazah asli Jokowi, maka konsekuensinya tidak ada kabar bohong. Bahkan, patut diduga ijazah Jokowi benar-benar asli. Sebab, jika ada aslinya kenapa tidak dihadirkan di persidangan? Bukankah Jokowi juga berkepentingan untuk membersihkan nama baiknya?


MENGHIMPUN DUKUNGAN


Karena alasan itulah, Jum'at kemarin (14/4/2023), penulis menghimpun sejumlah tokoh, ulama & Advokat untuk memberikan dukungan dan pembelaan terhadap Gus Nur melalui penyampaian pernyataan bersama. 


Beberapa yang hadir diantaranya: Ustadz  Eka Jaya (Ormas Pejabat), Bang Abdullah al Katiri, Bang Juju Purwantoro, Bang Aziz Yanuar, Bang Edy Mulyadi, Bang Jalih Pitoeng, Ustadz Bukhori Muslim, Ustadz Muhammad Salman dan Ustadz Irwan Syaifulloh.


Meskipun tidak hadir secara fisik, sejumlah tokoh, Ulama dan Advokat juga berkenan ikut memberikan pernyataan bersama. Totalnya sampai Jum'at sore (14/4/2023) mencapai 63 orang. Adapula yang belum menjawab WA penulis disebabkan ada udzur.


Saat menghubungi Prof Suteki untuk meminta dukungan dengan melampirkan isi pernyataan bersamanya, tanpa menunggu lama Prof Suteki langsung mempersilahkan. Bahkan, setelah lengkap penulis kirimkan kembali, Prof Teki memberikan emot meme dengan tulisan "Mantabs!".


Bang Refly Harun juga demikian. Langsung memberikan persetujuan namanya ikut dicantumkan. 


Ada juga KH Awit Mashuri yang berkenan dan menambahkan emot takbir. Doa bagi kebebasan Gus Nur beliau sampaikan kepada penulis.


Ustadz Muhammad Yusuf Martak berhalangan hadir karena beliau memasuki agenda i'tikaf. KH Slamet Ma'arif berbarengan agenda rutin. Keduanya juga berkenan namanya ikut dicantumkan sebagai tokoh yang menyatakan pernyataan bersama.


Dari Madura, penulis mencoba mengontak cucu Syaikhona Kholili Ulama Kharismatik Madura. Beliau adalah KH Thoha Kholili, yang juga bersedia namanya dicantumkan.


Lanjut ke Mojokerto, meminta persetujuan KH Muhammad Asrori Muzakki dan Kiyai Heru Elyasa. Kontak pula ke Pak Abdul Hamid Malang, KH Abdul Halim Tuban, Ustadz Mudriq Al Hanan dan Pak Mudrick Setiawan Malkan Sangidoe dari Solo. Mengontak Bunda Merry dan mendapatkan persetujuan sejumlah tokoh lampung. Lanjut ke Ustadz Muhammad Efan dari Medan, Rekan sejawat Akmal Kamil Nasution dari Kepri.


PERNYATAAN BERSAMA


Alhamdulillah, semuanya bersedia untuk turut memberikan dukungan kepada Gus Nur melalui pembacaan pernyataan bersama. 


Selain nama-nama tersebut, ada pula Dr Eggi Sudjana, SH MSi, Achmad Michdan, SH, KH Miqdad Ali Azka, LC, Kiyai Ahmad Zainudin (Cikampek), Azham Khan, SH, Cak Slamet Sugiyanto (Surabaya), Dr Muhammad Taufik, SH MH (Solo), Drs. H.M. Sani Alamsyah, SH, MBL, H. Zaenal Mustofa S.Pd, SH, MH (Solo), Habib Umar Assegaf ( Lampung), Ustadz Edi Azhari(Lampung), Ustadz Feri Salim( Lampung), Ustadz Firmansyah( Lampung), Ustadz Farurrozi( Lampung), Andhika Dian Prasetyo, SH MH (Solo), Riandianto, SH (Solo), Waliyana, SH MH (Solo), Muhammad Muchlisin, SH MH (Solo), R. Ahmad Nur Rido Prabowo, SH (Solo), Agus Susilo Muslih, SH (Solo), Nael Tiano, SH (Solo), Mahmud, SH, MH, CLA, Kurnia Tri Royani, SH, Ruslan Buton, Dr Ramadhani Akrom, Nur Widianto, S.Hum (Jogya), H. Asrul Harun, SH Mkn, DR Herman Kadir, SH MHum, Ida Nurhaida Kusdianti (Banten), Daeng Wahidin, Ustadz Ferry Koestanto, Gus Muhammad Abbas (Jateng) hingga Ustadz Alfian Tanjung.


Dalam pernyataan bersama, kami sampaikan empat hal yaitu:


Pertama, aktivitas yang dilakukan oleh Gus Nur adalah aktivitas yang terkategori penyampaian pendapat dimuka umum dan menjalankan ibadat dalam agama Islam baik berupa dakwah amar ma'ruf nahi munkar maupun ketika membimbing sumpah mubahalah, yang kesemuanya adalah aktivitas yang sah, legal dan konstitusional. Hal mana, telah dijamin konstitusi berdasarkan ketentuan pasal 28 dan 29 UUD 1945.


Kedua, penyampaian pendapat dimuka umum dan menjalankan ibadat dalam agama Islam baik berupa dakwah maupun mubahalah, baik dalam bentuk menulis buku dan mempublikasikan materi muatannya, melaksanakan aktivitas dakwah amar ma'ruf nahi munkar, termasuk didalamnya melakukan sumpah mubahalah, bukanlah kejahatan. 


Karena itu, aktivitas dimaksud bukan   menyebar kebohongan yang menerbitkan keonaran, bukan menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA, juga bukan penistaan agama, tidak melanggar pasal 14 dan 15 UU No 1/1946, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45a ayat (2) UU ITE, dan pasal 156a KUHP, sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum.


Ketiga, hingga proses akhir pemeriksaan persidangan, *tidak ada satupun ahli maupun saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan yang pernah melihat atau mengetahui ijazah asli Jokowi, baik ijazah SD, SMP, SMA dan S-1.* 


Karena itu, segenap rakyat Indonesia memiliki hak atas kepastian keaslian ijazah asli Presidennya, agar tidak mewariskan legacy memalukan kepada genersi selanjutnya, karena Republik ini tertuduh memiliki Presiden berijazah palsu.


Keempat, Presiden Jokowi sebenarnya memiliki kesempatan untuk membuktikan ijazah aslinya dalam proses persidangan. Namun sayang, hingga proses pemeriksaan saksi dan ahli selesai, ijazah asli Jokowi tidak juga dihadirkan di persidangan.


Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas, didasari atas keyakinan tidak terbuktinya tuduhan yang dialamatkan kepada Gus Nur, maka kami merekomendasikan agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara dimaksud agar memberikan putusan yang adil dengan membebaskan Gus Nur atau setidaknya melepaskannya dari segala tuntutan. 


Jika tidak, kami khawatir putusan yang menghukum Gus Nur akan meruntuhkan wibawa peradilan dan memicu terjadinya pembangkangan rakyat. 


***


POLEMIK Dugaan Ijazah Palsu, Eggi Sudjana Minta Jokowi Taat Hukum Datang ke Sidang Bawa Ijazah Asli, Berani?




PARADAPOS.COM - Sidang kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi akan kembali digelar pada Senin (31/10/2022) mendatang.


Kuasa hukum Bambang Tri, Eggi Sudjana menantang Presiden Jokowi untuk hadir dalam persidangan dengan membawa ijazah sekolah asli yang dimilikinya.


Hal itu diucapkan Eggi Sudjana saat meminta Jokowi untuk datang ke persidangan dugaan ijazah palsu yang digugat oleh Bambang Tri ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Sebab, di sidang pada Selasa (18/10/2022), Jokowi selaku tergugat tak hadir ke persidangan.


Untuk itu, Eggi Sudjana meminta Jokowi untuk hadir ke pengadilan pada persidangan selanjutnya yakni Senin (31/10/2022) mendatang.


"Pak Jokowi dengan hormat juga harus taat hukum. Jadi tanggal 31 sudi kiranya datang supaya clear masalah ini, cass close dengan cara bawa ijazah aslinya dari SD, SMP dan SMA, kalau universitas kita ga gugat," ujar Eggi Sudjana dilansir dari Youtube Mimbar Tube, Minggu (23/10/2022).


Kata Eggi Sudjana, jika Jokowi tak bisa hadir karena kesibukannya sebagai kepala negara, maka bisa saja dia diwakili oleh kuasa hukumnya.


Namun harus ada surat kuasa yang ditandatanganinya secara langsung.


"Bawalah ijazah asli pak Jokowi ke pengadilan. Kalau bapak Jokowi tidak sempat karena sibuk, (karena) kepala negara yang luar biasa boleh kasih kuasa tapi tanda tangan basah. Jangan ga ada tanda tangannya. Kemarin dari kejaksaan konfirmasi bilang belum ada pemberian kuasa," papar Eggi Sudjana.


Menurutnya, hal ini merupakan aturan hukum tanpa ada sedikitpun tendensi kepada Jokowi.


"Ini ilmu hukum tidak ada like and dislike. Betul-betul karena penegakan hukum," kata dia.


Selain itu, Eggi Sudjana juga berharap agar kliennya dalam hal ini Bambang Tri diperkenankan hadir ke persidangan.


Sebab, saat ini Bambang Tri tengah ditahan oleh Mabes Polri atas kasus ujaran kebencian dan penistaan agama.


"Dan Bambang Tri juga boleh datang dong, jangan ditahan. Saya udah bilang di sidang kemarin tangal 18 kepada majelis hakim agar Bambang Tri bisa datang karena dia prinsipal sebagai penggugat," tutur Eggi Sudjana. 


Eggi Sudjana lantas mengutip tentang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956.


"Karena menurut Perma nomor 1 tahun 1956 apabila ada perkara perdata dan pidana maka tolong erdata didahulukan," kata Eggi Sudjana.


"Karena menyangkut hak kepemilikan, dalam hal ini konteksnya ijazah itu hak properti yang dimiliki Bambang Tri hasil penelitian, survei dia bikin bukui tu milik dia. Jadi kenapa ko harus ditahan di polisi. Harusnya Perma itu sangat bisa dijadkan dasar hukum," ujar Eggi Sudjana. 


***

Komentar