PARADAPOS.COM - GELOMBANG aksi demonstrasi penolakan pengesahan Revisi Undang-Undang TNI semakin masif dalam sepekan terakhir.
Di berbagai daerah mahasiswa bersama sejumlah elemen masyarakat turun ke jalanan menyampaikan sikapnya.
Celakanya, aksi unjuk rasa mahasiswa direspon dengan tindakan represif oleh aparat Polri dan TNI.
Sejumlah peserta aksi dari mahasiswa hingga jurnalis mendapat kekerasan dari aparat.
Data yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) hingga Rabu 26 Maret 2025, menyebutkan aksi unjuk rasan penolakan pengesahan RUU TNI tersebar di 51 wilayah di Indonesia.
Dilaporkan 10 dari 51 wilayah yang menggelar demonstrasi mendapatkan tindakan represif dari aparat.
Beberapa wilayah yang mendapatkan tindakan represif di antaranya terjadi di Surabaya dan Malang.
Di Surabaya aksi demonstrasi digelar pada 24 Maret. Di sana unjuk rasa berakhir dengan ricuh.
Sejumlah demonstran mengalami tindakan kekerasan dari aparat, bahkan 25 orang dilaporkan ditangkap.
Tak hanya itu, seorang jurnalis bernama Rama dari Beritajatim.com dilaporkan mengalami tindakan kekerasan. Dia dipukuli dan diseret oleh polisi.
Sementara di Malang, aksi unjuk rasa digelar di depan Kantor DPRD Kota Malang pada 23 Maret.
Aksi unjuk rasa juga berakhir ricuh, dan sejumlah demonstran mengalami tindakan kekekaran. Setidaknya empat pengunjuk rasa dan enam polisi mengalami luka-luka.
Selain itu beredar pula video viral yang menunjukan posko tim medis yang diduga diserang polisi dan militer.
Hal itu juga dikonfirmasi oleh Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang Daniel Alexander Siagian. Padahal katanya, posko medis tersebut berada jauh dari titik aksi.
Di Jakarta, hal serupa juga terjadi pada aksi demonstrasi yang digelar di depan Gedung DPR RI pada 20 Maret.
Bahkan seorang pengemudi ojek online dipukul hingga babak belur oleh anggota kepolisian.
Di Lumajang aksi unjuk rasa digelar di depan Gedung DPRD Kabupaten Lumajang pada 24 Maret. Dua mahasiswa dilaporkan terluka.
Bahkan beredar video viral tindakan kekerasan yang dilakukan aparat berbaju militer terhadap seorang demonstran.
Dari berbagai rangkaian aksi unjuk rasa tersebut, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Zainal Arifin menyebut terdapat pola baru dilakukan aparat dalam merespons aksi, yakni pelibatan anggota TNI.
"Kalau dulu kekerasan dilakukan oleh aparat kepolisian, hari ini melibatkan militer di beberapa wilayah," kata Zainal pada acara diskusi daring, Rabu (26/3/2025).
Dia menilai masifnya aksi kekerasan yang melibatkan anggota TNI menjadi sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.
Terlebih pada saat RUU TNI disahkan menjadi undang-undang di kompleks DPR-MPR, Senayan, Jakarta mendapatkan pengamanan dari anggota TNI bersenjata.
"Apakah kemudian ingin memberikan sinyal bahwa, 'Hei! Para sipil, militer kembali, kalian jangan main-main.' Nah saya rasa ini kemudian juga harus dimaknai," ujar Zainal.
Serangan di Ruang Digital
Bersamaan dengan semakin besarnya gelombang aksi unjuk rasa penolakan pengesahan RUU TNI, Southeast Asia Freedom of Expression Network atau Safenet menerima banyak aduan penyerangan yang terjadi ruang digital. Safenet mencatat terdapat 25 serangan.
Serangan itu berupa doxing, peretasan, pengambilalihan akun media sosial seperti Whatsapp dan Instagram, serta teror berupa pesan berisi ancamanan.
Direktur Eksekutif Safenet Nenden Sekar Harum menilai berbagai tindakan tersebut sebagai upaya mempersempit ruang aspirasi publik di ranah digital.
"Serangan-serangan tersebut kami lihat sebagai salah satu bentuk represif terhadap ekspresi maupun aspirasi publik yang disampaikan secara aktif di ruang digital," kata Nenden.
Safenet juga menemukan adanya upaya stigmatisasi terhadap aktivis yang vokal menyurakan penolakan pengesahan RUU TNI.
Upaya itu berupa video yang menarasikan penolak RUU TNI sebagai antek asing. Nenden menyebut upaya tersebut tergolong masif.
Beberapa video tersebut diunggah di akun-akun Instagram milik TNI seperti akun @kodim_1623_karangasem, @kodam.ix.udayana, dan @babinkum.tni.
Ketiga akun ini kompak mengunggah video yang sama yang menarasikan sejumlah aktivis yang menggerebek rapat tertutup pembahasan RUU TNI oleh DPR dan pemerintah sebagai antek asing.
"Indonesia dalam bahaya. Antek asing bergerak. Mereka hidup dari uang asing. Mereka membela kepentingan asing. Mereka tak ingin TNI kuat. Tak ingin negara ini berdaulat. Mereka takut jika TNI dan rakyat bersatu," demikian penggalan narasi dalam video yang diunggah.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Safenet dalam beberapa tahun terakhir, serangan-serangan digital tersebut merupakan pola lama.
Akan marak terjadi ketika masyarakat sipil menunjukkan sikap penolakan keras terhadap kebijakan kontroversial yang diambil pemerintah dan DPR.
"Misalnya pada aksi peringatan darurat di tahun lalu. Kemudian juga tolak Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2020-2021, dan juga beberapa gerakan protes lainnya," ujar Nenden.
Dia menyebut berbagai serangan digital tersebut sangat membahayakan bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Cara-cara demikian dikhawatirkan membuat masyarakat takut menyampaikan kritik dan pendapatanya di ruang sipil.
Hentikan Tindakan Represif
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid meminta aparat keamanan negara menghentikan tindakan represif terhadap demonstran yang menolak pengesahan RUU TNI.
Ditegaskannya kekerasan tidak dapat dijadikan sebagai alat penghukuman kepada masyarakat yang menolak pengesahan RUU TNI.
"Kami menyesalkan sekali situasi yg berkembang hari-hari terakhir ini. Pengamanan yang semula kondusif justru berujung brutal. Dan fatalnya, ini bukan pertama kali," kata Usman.
Aparat keamanan negara seharusnya belajar dari peristiwa masa lalu. Kekerasan yang digunakan dapat merenggut hak asasi manusia, bahkan merenggut nyawa. Mahasiswa hingga jurnalis yang turun ke jalanan bukanlah pelaku kriminal.
"Mahasiswa ingin mengkritik kebijakan dan lembaga negara. Jurnalis menjalankan tugas. Tenaga medis juga demikian," tegas Usman.
Amnesty International Indonesia mendesak agar aparat yang menjadi pelaku kekerasan diusut secara pidana.
Pembiaran dinilai hanya akan menjadi impunitas bagi aparat yang melanggar hak demokrasi masyarakat sipil.
Hal tersebut ditekankan Usman bercermin dari tindakan represif aparat di berbagai aksi demonstrasi sebelumnya.
"Tahun lalu aparat keamanan juga terlibat dalam kekerasan ketika merespon unjuk rasa #PeringatanDarurat, dan hingga hari ini belum ada proses hukum yang tuntas terhadap para pelaku," tegasnya.
Usman juga meminta agar pengamanan aksi unjuk rasa dievaluasi agar tidak kembali memakan korban.
Kekerasan dengan alat seperti peluru karet, gas air mata, kanon air, hingga tongkat pemukul tak perlu digunakan.
"Jika itu ternyata digunakan tanpa alasan, maka harus dipertanggungjawabkan," kata Usman.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Muslim Arbi: Jokowi Punya Agenda Hancurkan Prabowo
Rismon Sianipar: Jokowi Pengecut Tak Berani Pamerkan Ijazah Asli
Ijazah Jokowi Palsu Dibenarkan Teman Dekat Putri Dekan Kehutanan UGM
Cuitan Lawas Tampol Fahri Hamzah yang Kini Rangkap Jabatan, Netizen: Selama Ini Berisik karena Belum Kebagian