Refleksi Akhir Tahun: Catatan Kritis Aktivis Lintas Generasi

- Jumat, 15 Desember 2023 | 11:40 WIB
Refleksi Akhir Tahun: Catatan Kritis Aktivis Lintas Generasi


paradapos.com Dalam rekaman yang diputar, eksponen aktivis 66, Jus Soema Di Pradja masih bicara lantang mengeritisi praktik demokrasi yang berjalan sekarang ini. Sesekali sosok sepuh yang pernah menjadi wartawan Harian Indonesia Raya, menunjuk-nunjuk tangan ke lantai bawah posisi duduk, mengulas demokrasi terpimpin ala Presiden Soekarno.

Video tersebut ditayangkan untuk membuka seri diskusi bertajuk “Ilusi Pemilu dan Demokrasi: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi" yang digelar di Kantor Para Syndicate, Jakarta, Jumat (15/12/2023). Dalam catatan Jus, Indonesia tidak pernah melaksanakan demokrasi dengan benar, karena pemimpinnya tak mampu berdemokrasi.

"Kalau kita bicara demokrasi di bangsa kita ini mimpi, karena tak ada tradisinya untuk bicara demokrasi, yang ada adalah feodalisme," kata Jus.

Baca Juga: Debat Perdana Gagal Jadi Forum Capres Sampaikan Konsep Penguatan Demokrasi

Hadir dalam diskusi tersebut, aktivis lintas generasi sebagai pembicara yakni, eksponen 78 yang dikenal dengan jargon "Indonesia di Bawah Sepatu Lars", S Indro Tjahyono, dan aktivis 98 Ray Rangkuti.

Jus menguliti praktik demokrasi terpimpin era Soekarno hingga demokrasi pancasila yang diterapkan Presiden Soeharto. Orde lama maupun orde baru dianggap menerapkan demokrasi sebatas slogan, karena tidak dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.

Demokrasi itu untuk kepentingan rakyat? Tidak, hanya hiasan bibir untuk kepentingan Soeharto. Jadi, bangsa ini, demokrasi itu hanya dijadikan slogan,” kritiknya.

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun: Demokrasi Indonesia Sudah di Pinggir Jurang

Menurut Jus, perjalanan demokrasi sempat membaik pada era kepemimpinan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilanjutkan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri. Namun dinamika politik terakhir menandakan demokrasi Indonesia mengalami kemunduran pada masa Presiden Jokowi.

“Bisa dikatakan demokrasi agak baik itu di era Gus Dur, Mega agak lumayan lah, kalau yang ini (Jokowi), hancur-lebur. Kita mau bicara demokrasi apa? Seorang presiden itu harus menjadi milik rakyat,” tuturnya.

Jus menjadikan politisasi MK dan sikap cawe-cawe Presiden Jokowi sebagai indikator utama rendahnya pemahaman pemimpin dalam demokrasi, sekaligus buruknya praktik demokrasi pada masa reformasi.

Baca Juga: Tema Pertama Debat Capres 2024 Bahas Penguatan Demokrasi Hingga Pemberantasan Korupsi

Pernyataan Jus diamini juniornya, Indro Tjahjono yang menjadikan kisruh putusan MK dan kontestasi pilpres sebagai parameter buruknya demokrasi. Indro tak kesulitan memberi contoh buruknya demokrasi hanya dengan melihat kualitas parpol-parpol dan kinerja DPR.

Demokrasi yang ideal, kata Indro, rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Pada era orde lama, anggota DPR bahkan bisa di-recall kalau dianggap tak mampu melaksanakan fungsinya.

“Kalau demokrasi dilakukan, rakyatlah yang jadi raja, anggota DPR bisa di-recall, sekarang enggak bisa. Itu artinya enggak ada indikator demokrasi,” tambahnya.

Baca Juga: Ungkap Intervensi, Jokowi Tak Tahu Agus Rahardjo Dilaporkan

Partai politik, lanjutnya, tak mampu melaksanakan demokrasi karena dikuasi ketua umumnya.  Ini menjadi contoh konkret bahwa rakyat tidak berdaulat.

“Itu bukan partainya rakyat tapi partainya ketua umum partai. Karena mereka yang berkuasa mutlak dimana-mana,” katanya.

Sejalan dengan Jus dan Indro, aktivis 98 Ray Rangkuti, juga menyoroti buruknya pelaksanaan demokrasi yang bisa dilihat dalam tahapan pelaksanaan Pemilu 2024. Ray menyoroti dua PKPU yang saling bertentangan namun sama-sama dijalankan untuk menyukseskan gelaran pemilu.

Baca Juga: Apa Itu Election Stress Disorder? Gejala Stres Akibat Berita Menjelang Pemilu

Lahirnya putusan MK nomor 90 seiring tahapan pelaksanaan Pemilu 2024 menambah buram potret demokrasi kita. Ray bahkan menyimpulkan, pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi yang terburuk.

“Ada aturan yang enggak jelas, menerima paslon dengan PKPU nomor sekian, mengesahkannya nomor PKPU sekian, keduanya berbeda, padahal PKPU yang pertama (mengatur) bahwa batas usia capres-cawapres itu 40 tahun. Lalu diterima cawapres di bawah umur 40 tahun. Dan sampai sekarang digugat. Ini yang saya bilang pemilu paling buruk kualitasnya, setelah pemilu di zaman orde baru,” jelas Ray.

 

Artikel asli: akurat.co

Komentar