NGERI! Pakar Hukum Tata Negara Jelaskan Bahayanya Dwifungsi Militer Bila Masuk Dalam Revisi UU TNI

- Senin, 17 Maret 2025 | 05:55 WIB
NGERI! Pakar Hukum Tata Negara Jelaskan Bahayanya Dwifungsi Militer Bila Masuk Dalam Revisi UU TNI




PARADAPOS.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menegaskan ketakutan para akademisi juga protes publik terhadap revisi Undang-Undang TNI bukan tidak mendasar.


Dilihat dalam jangka panjang, revisi UU TNI yang berpotensi mengembalikan dwifungsi prajurit TNI dinilai berisiko merusak demokrasi. 


Terparah, kata Bivitri, bahkan bisa mengubah Indonesia menjadi negara otoriter.


Kondisi itu bisa saja terjadi karena militer dan demokrasi mengandung paradigma yang sangat berbeda.


"Demokrasi itu membutuhkan partisipasi, akuntabilitas, transparansi, salah tiganya gitu. Sedangkan militer itu kan mereka dididikan adalah paradigma penggunaan senjata, komando, dan kekerasan. Mereka punya legitimasi untuk melakukan kekerasan," jelas Bivitri dalam diskusi online bersama Koreksi, Minggu (16/3/2025) malam.


Dia merujuk pada Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa tentara merupakan alat negara untuk menjaga kedaulatan, pertahanan, dan lain sebagainya.


Selain TNI, ada tiga lembaga di dalam konstitusi Indonesia dan Undang-Undang Sistem Hukum Indonesia yang disebut sebagai alat negara, yakni BRIN, POLRI, dan Tentara.


Bivitri menekankan bahwa istilah alat negara itu tidak sekadar menjadi diksi semata, tapi mengandung makna khusus.


"Maknanya adalah dia memang diberikan kekuasaan untuk melindungi dan melaksanakan hal-hal yang langsung diperintahkan oleh kepala negara. Karena itu dia punya akses pada senjata dan dia punya legitimasi untuk melakukan kekerasan," jelasnya.


Kaitannya jika TNI aktif menduduki jabatan sipil, menurut Bivitri, kemungkinan kebijakan publik yang dihasilkan bukan berdasarkan partisipasi masyarakat, melainkan tunduk terhadap komando jabatan di atasnya.


"Dengan sistem komando, tentara itu dengan paradigmanya juga, dia akan misalnya membuat kebijakan pasti top-down. Tentara punya cara bertindak dan berpikir komandan, bilang apa saja mereka harus jawabnya siap. Kalau salah aja, siap salah. Gak mungkin dia bertanya, maaf-maaf komandan, 'saya mau nanya dulu nih, kita mau bertahan atau enggak?' Gak mungkin," terangnya.


Paradigma itu kata dia, jelas berbeda dengan sistem demokrasi yang butuh transparansi serta partisipasi publik. 


Sementara militer tidak bisa terlalu transparan untuk hal-hal tertentu karena berkaitan dengan keamanan negara.


"Jadi kalau paradigma itu atau cara berpindah seperti itu masuk ke dalam pemerintahan yang harusnya demokratis, harusnya transparan dan lain sebagainya, gak akan kompatibel. Artinya nanti gak akan demokrasi lagi. Jadinya cenderung kepada otoritarianisme," pungkas Bivitri.


Sumber: Suara

Komentar