Tak Segera Copot Gibran, Nicho Silalahi: Prabowo Boneka Jokowi

- Selasa, 29 April 2025 | 10:25 WIB
Tak Segera Copot Gibran, Nicho Silalahi: Prabowo Boneka Jokowi


Aktivis Nicho Silalahi, kembali melontarkan pernyataan keras yang mengguncang peta wacana politik nasional. Dalam unggahannya di media sosial dan pernyataan terbukanya kepada pers, Nicho menilai Presiden Prabowo Subianto bisa disebut sebagai boneka politik mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika tidak segera mengambil langkah tegas mencopot Gibran Rakabuming Raka dari posisi Wakil Presiden.

“Jika Prabowo tak berani menegakkan marwah demokrasi dan konstitusi dengan memutus relasi kuasa Jokowi melalui Gibran, maka kita patut curiga: apakah Prabowo sungguh presiden, atau hanya simbol dari perpanjangan tangan kekuasaan lama?” ujar Nicho dalam pernyataannya yang dikutip dari www.suaranasional.com, Senin (28/4).

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, dilantik sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto setelah Pilpres 2024 yang kontroversial. Kritik terhadap keabsahan pencalonannya mencuat luas, terutama setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran — yang sebelumnya belum memenuhi usia minimal Wapres — untuk maju, menyusul tafsir aturan “berpengalaman sebagai kepala daerah”.

Putusan itu dianggap cacat etik, terlebih karena Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah paman Gibran. Meskipun Mahkamah Konstitusi akhirnya menyatakan Anwar Usman melanggar etik berat, dampaknya tidak membatalkan pencalonan Gibran, yang sudah telanjur lolos dan menang bersama Prabowo.

“Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini tentang penghinaan terhadap demokrasi. Seharusnya Prabowo, sebagai pemimpin yang katanya nasionalis dan tegas, berani bersikap. Kalau tidak, berarti benar dugaan publik: dia hanya boneka Jokowi,” tambah Nicho.

Pernyataan Nicho membuka kembali pertanyaan besar pasca-Pilpres 2024: sejauh mana Prabowo Subianto benar-benar memegang kendali atas pemerintahannya? Banyak pihak menilai, dengan kehadiran Gibran sebagai Wapres, Jokowi masih akan memainkan peran penting di balik layar.

Menurut Nicho, kehadiran Gibran di eksekutif secara struktural memperpanjang pengaruh Jokowi, bahkan setelah lengser dari kursi presiden. “Jokowi seperti Soeharto versi baru — bukan dengan tangan besi, tapi lewat keluarga, patronase, dan jaringan loyalis birokratis,” ujarnya.

Hal ini diperkuat dengan masuknya sejumlah loyalis Jokowi di lingkaran kabinet bayangan Prabowo. Dalam skema tersebut, Gibran berperan sebagai “penjaga pintu” pengaruh Jokowi di Istana.

Jika Presiden Prabowo tidak melakukan koreksi terhadap legitimasi Gibran, baik secara politik maupun konstitusional, maka risiko yang muncul sangat besar:
  • Erosi Kepercayaan Publik: Kalangan akar rumput pendukung Prabowo bisa merasa dikhianati jika melihat presidennya tidak berdaulat secara penuh.
  • Kebuntuan Eksekutif: Potensi benturan kebijakan antara Prabowo dan “pengaruh Jokowi” di tubuh pemerintahan bisa melemahkan kinerja eksekutif.
  • Krisis Legitimasi Berkelanjutan: Jika krisis ini tidak ditangani, bisa menjadi bom waktu dalam Pilpres 2029, apalagi jika Gibran kembali mencalonkan diri sebagai capres.
Langkah Hukum dan Moral yang Didorong Nicho

Nicho Silalahi mendesak adanya langkah extraordinary dari Prabowo. Ia menyarankan dua jalur:
  • Jalur konstitusional: Mengajukan judicial review ulang terhadap keabsahan Wapres jika ditemukan pelanggaran hukum yang serius.
  • Jalur politik: Menekan elite partai koalisi untuk mendorong perubahan atau pembatasan kewenangan Wapres jika dianggap tidak sah secara moral.
Namun, sejauh ini belum ada sinyal dari Prabowo bahwa ia akan mengambil langkah tersebut.

Situasi ini menempatkan Prabowo pada dilema besar: antara melakukan konsolidasi kekuasaan dengan risiko pecah kongsi dengan Jokowi, atau terus “berdamai” dengan warisan Jokowi melalui Gibran demi stabilitas politik jangka pendek.

Jika Prabowo memilih jalan kedua, ia harus siap menerima label sebagai presiden kompromistis — bahkan boneka seperti yang disindir Nicho. Namun jika memilih jalan pertama, ia berpotensi menjadi presiden kuat, tapi dengan risiko perpecahan di internal koalisi.

Pernyataan Nicho Silalahi bukan sekadar kritik biasa. Ia adalah cermin kegelisahan publik atas kaburnya batas antara kepemimpinan dan keberpihakan keluarga dalam sistem demokrasi Indonesia. Kini, beban sejarah berada di pundak Prabowo Subianto: apakah ia akan menjadi presiden sejati, atau sekadar melanjutkan kekuasaan dalam bentuk lain?

Foto: Nicho Silalahi (IST)

Komentar