Membaca Kasus Ijazah Jokowi Itu: 'Ujian Bagi Hukum & Integritas Bangsa'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam benak rakyat yang telah lama dibenturkan dengan sandiwara keadilan dan hukum di negeri ini, kasus dugaan pemalsuan ijazah Presiden Joko Widodo bukanlah sekadar soal dokumen akademik.
Ia adalah pertanyaan besar yang menggema dari lorong-lorong kesadaran publik: masih adakah keadilan yang jujur di republik ini?
Atau telahkah semuanya larut dalam kubangan kuasa yang menistakan akal sehat?
Di negeri yang katanya berdiri di atas hukum, maka kecurigaan terhadap keaslian ijazah seorang kepala negara — siapa pun dia — seharusnya disambut dengan penyelidikan yang terbuka, jujur, dan tanpa keberpihakan.
Rakyat tidak ingin penguasa yang dipuja dengan baliho raksasa, tetapi rapuh di hadapan pertanyaan dasar tentang kredibilitas pendidikannya.
Apalagi bila persoalan ini sudah masuk ranah pengadilan, maka harapan rakyat hanya satu: penegakan hukum yang adil, jujur, dan tidak pandang bulu.
Kalau benar ada pemalsuan, maka si pemalsu harus diseret ke meja hijau, dan siapa pun yang terlibat — dari pejabat rektorat hingga pihak-pihak yang mencoba menutup-nutupi — harus ikut mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Negara ini tidak boleh terus-menerus memberi ruang aman bagi para pendusta, apalagi bila dusta itu digunakan untuk meraih tampuk kekuasaan tertinggi.
“Tanpa kejujuran, negara hanya akan menjadi ladang bagi para pencari kuasa dan penguasa culas,” begitu kata Mohammad Hatta, sang proklamator yang menolak kekuasaan absolut dan membela nilai-nilai etik.
Namun sayangnya, dalam kasus ini seperti halnya banyak kasus lain yang menyangkut orang-orang besar, rakyat hanya dijejali dalih prosedural, pengalihan isu, dan sikap defensif dari para pembela kekuasaan. Ada upaya mengaburkan esensi perkara.
Ada pula mereka yang justru menyerang balik para penggugat sebagai penyebar kebencian. Padahal yang dituntut rakyat bukanlah provokasi, melainkan transparansi.
Di sini kita masuk pada wilayah yang lebih dalam: integritas seorang pemimpin.
Apa artinya pemimpin jika persoalan paling mendasar seperti kejujuran dalam latar belakang pendidikan saja tidak dapat dijawab dengan terang-benderang?
Integritas bukan hanya tentang bersih dari korupsi, tapi juga tentang kejujuran di masa lalu, tentang konsistensi moral, dan tentang kesiapan menghadapi kebenaran — betapa pun menyakitkannya.
Kalau untuk soal ijazah saja negara gagap membuktikan kebenaran, bagaimana mungkin rakyat percaya kasus-kasus yang lebih besar akan diusut dengan benar?
“Pemimpin itu tidak hanya harus bersih, tapi juga terlihat bersih,” kata Mahfud MD, yang pernah menjabat Menko Polhukam dan Ketua MK.
Tapi, di hadapan kasus seperti ini, ucapan itu seperti menampar wajah hukum kita yang semakin kusam.
Kita bicara tentang KKN keluarga Jokowi. Rakyat tidak buta. Mereka menyaksikan bagaimana anak-anak dan menantu Presiden menapaki karier politik dengan kecepatan kilat, melampaui norma dan nalar demokrasi. Ada anak yang langsung jadi wakil presiden.
Ada yang menjadi ketua partai tanpa pengalaman politik. Ada pula yang hendak didorong menjadi gubernur, semua seolah dihamparkan karpet merah oleh kekuasaan.
Ini bukan sekadar perbincangan publik; ini soal rasa keadilan sosial yang tercabik-cabik.
“Ini bukan meritokrasi. Ini nepotisme berbalut demokrasi,” ujar Rocky Gerung, filsuf publik yang konsisten menggugat kekuasaan dengan nalar tajam.
Ia menambahkan, “Ketika demokrasi hanya dijalankan sebagai formalitas lima tahunan, maka yang berkuasa bukan lagi rakyat, melainkan keluarga elite.”
Dan jika semua itu dibiarkan, tanpa ada institusi yang berani mengoreksi, maka kita sedang menyaksikan pembusukan demokrasi secara sistematis.
Kita sedang membiarkan lahirnya dinasti dalam balutan demokrasi semu. Kita sedang menyuburkan apa yang pernah kita lawan dulu: nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan.
Rakyat bertanya: di mana hukum yang katanya panglima tertinggi?
Mengapa yang diperiksa dan dipenjara hanya mereka yang lemah, sementara yang kuat malah terus mengangkangi negara dengan gaya patriarki kekuasaan? Apakah republik ini hanya panggung sandiwara besar, di mana rakyat adalah penonton yang dibodohi saban hari?
Kasus ijazah Jokowi ini mungkin terlihat kecil di mata sebagian elit, tapi bagi rakyat, ini adalah simbol dari kerapuhan kejujuran nasional.
Ia adalah ujian, apakah negara ini masih punya nurani untuk menegakkan kebenaran, atau sudah tenggelam dalam lumpur kekuasaan yang busuk.
Dan kalau ujian sekecil ini pun gagal dijawab dengan adil, maka jangan harap kasus-kasus besar seperti KKN keluarga presiden akan pernah tersentuh hukum.
Rakyat tak butuh pemimpin yang pandai pidato atau gemar pencitraan. Yang dibutuhkan hanyalah satu: pemimpin yang jujur dan siap diperiksa.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Geger, Hercules Ultimatum Gubernur Jabar Dedi Mulyadi: Jangan Pernah Ganggu GRIB Jaya!
Pihak Keluarga Laporkan Kapolres Jaktim ke Divpropam terkait Penghentian Kasus Kematian Mahasiswa UKI
CLEAR! Tak Ada Jurusan Teknologi Kayu di Fakultas Kehutanan UGM Dalam Arsip Universitas Leiden Belanda
Kasus Ijazah Jokowi: Dari Akademisi Dikriminalisasi Hingga Ancaman Investigasi Internasional