'Strategi Pembersihan Senyap di Kabinet Warisan Jokowi'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Politik Indonesia kerap bergerak dalam dua dimensi: yang tampak di layar publik dan yang digelar di ruang-ruang senyap.
Pertemuan Dasco dengan Eggi Sudjana cs barangkali hanyalah fragmen dari strategi yang lebih besar: operasi senyap Prabowo dalam menata ulang komposisi kekuasaan yang terlalu lama dikunci oleh oligarki Jokowi.
Pasca kemenangan Pilpres 2024, wajah kabinet memang belum berubah. Namun getaran di dalamnya mulai terasa: pertemuan informal, komunikasi lintas faksi, hingga sejumlah manuver politik yang belum masuk headline.
Semua itu menunjukkan satu arah: terjadi pergeseran kuasa yang pelan tapi pasti.
Langkah Pertama: Mendengar suara dari luar lingkaran istana
Inilah yang membuat kehadiran Eggi dan para aktivis oposisi menjadi penting. Mereka adalah suara yang selama ini dibungkam atau ditekan.
Kini justru dipanggil masuk, bukan sekadar simbol keberagaman, tapi menjadi saluran alternatif untuk merancang konfigurasi politik baru—yang tak tersandera balas jasa politik masa lalu.
Sufmi Dasco memainkan peran sebagai operator senyap. Ia tidak frontal. Tidak membawa palu godam. Tapi gerakannya presisi.
Alih-alih menyingkirkan para loyalis Jokowi secara terbuka, ia membangun poros tandingan dengan menyusun jejaring baru di luar radar: aktivis, teknokrat, bahkan kelompok masyarakat sipil yang selama ini “dibuang” dari percakapan kekuasaan.
Langkah Kedua: Menggeser dengan narasi, bukan konfrontasi
Inilah keunggulan strategi senyap Prabowo. Ia tak menjatuhkan pendahulunya lewat kritik keras. Ia tak menggiring wacana pertentangan.
Tapi diam-diam, ia mengikis legitimasi lawas dengan narasi baru: nasionalisme dengan pendekatan teknokratik, pembangunan desa berbasis industrialisasi, dan pembukaan lapangan kerja dari luar IKN.
Eggi Sudjana menyebutnya “model percontohan Lahat.” Boleh jadi ini bukan soal Lahat semata, melainkan pintu masuk menuju rekonstruksi arah pembangunan nasional pasca-era Jokowi.
Ketika desa dihidupkan, kota ditata ulang, dan orientasi politik tak lagi pada proyek mercusuar bernama Nusantara.
Langkah Ketiga: Menyelami jaringan lawas, memetakan loyalitas
Pembersihan bukan berarti pemecatan massal. Prabowo dan timnya tahu bahwa sistem terlalu kompleks untuk dibongkar secara frontal.
Maka yang dilakukan adalah menyelam ke dalam struktur, memetakan siapa yang sungguh setia, siapa yang menunggu momentum untuk berpaling, dan siapa yang masih menjalankan agenda Jokowi.
Loyalis seperti Luhut, Sri Mulyani, dan Mahfud mungkin masih dianggap aset.
Tapi bila mereka terlalu erat dengan agenda masa lalu, besar kemungkinan mereka akan “dinaikkan ke rak paling tinggi”—diberi posisi kehormatan, namun jauh dari pusat pengaruh.
Sementara itu, tokoh-tokoh baru seperti Bursah Zarnubi, Fandi Wijaya, atau Abdullah Rasyid bisa jadi sedang diukur kapasitasnya—apakah mereka hanya simbol keberagaman diskusi, atau calon-calon aktor di panggung kabinet mendatang?
Pembersihan senyap adalah seni menghindari perlawanan
Ini bukan kudeta internal. Ini pergeseran yang menggunakan ketenangan sebagai alat utama.
Sebab Prabowo belajar dari sejarah: mereka yang tergesa dan menggertak di awal, akan habis di tengah jalan.
Maka Dasco tak perlu mengangkat suara. Ia hanya perlu menyusun irama baru.
Sebuah catatan kecil:
Jika benar Eggi Sudjana bisa duduk berdampingan dengan kekuasaan yang dulunya ia lawan habis-habisan, maka dua hal telah terjadi sekaligus:
Pertama, kekuasaan telah membuka pintunya.
Kedua, sistem Jokowi perlahan kehilangan perisai suci bernama “tidak tergantikan”.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Geng Solo, Geng Trunojoyo, dan Oligarki
IJAZAH JOKOWI: Api Dalam Sekam Tak Pernah Padam, Deretan Penggugat Makin Panjang
Asas Hukum Pembuktian Afirmatif & Negatif: Polemik Ijazah Eks Presiden Joko Widodo
Aktivis Palestina Tagih Andika Kangen Band Bikin Lagu untuk Palestina!