Durna Dalam Bayang Jokowi: Ketika Legitimasi Disembunyikan, Anak Bangsa Bertikai

- Jumat, 18 April 2025 | 14:25 WIB
Durna Dalam Bayang Jokowi: Ketika Legitimasi Disembunyikan, Anak Bangsa Bertikai


Durna Dalam Bayang Jokowi: 'Ketika Legitimasi Disembunyikan, Anak Bangsa Bertikai'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam jagat pewayangan, Durna dikenal sebagai guru para kesatria dari dua kubu yang saling bertikai: Pandawa dan Kurawa. Ia cerdas, berilmu tinggi, dan dihormati sebagai pendidik. 


Namun, di balik sosok bijaksananya, tersimpan tabiat manipulatif dan loyalitas yang condong kepada kekuasaan. 


Durna bukan sekadar simbol kebijaksanaan, tetapi juga representasi dari kaum intelektual yang kehilangan arah karena terjebak dalam pesona kekuasaan.


Analoginya begitu kuat ketika kita melihat sosok Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, dalam realitas politik Indonesia kontemporer. 


Di tengah pencitraannya sebagai pemimpin sederhana dan merakyat, Jokowi menyimpan satu misteri yang hingga kini belum terpecahkan—ijazahnya yang tidak kunjung diperlihatkan kepada publik secara terbuka dan tuntas. 


Ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi menyentuh akar legitimasi seorang pemimpin negara. 


Layaknya Durna yang menyembunyikan kebenaran demi menjaga posisi dan kenyamanan di lingkar kekuasaan, Jokowi juga dinilai menutup akses publik terhadap satu hal fundamental: bukti otentik bahwa ia layak secara hukum dan akademik untuk memimpin negeri ini.


Persoalan ijazah ini bukanlah isapan jempol. Ia telah menimbulkan perdebatan panjang di ruang publik, bahkan masuk ke ranah hukum. 


Rakyat terbelah, opini berseteru, dan berbagai kelompok masyarakat saling menyerang hanya untuk memperjuangkan atau membantah keabsahan pendidikan sang presiden. 


Yang menyedihkan, bukannya meredakan konflik ini dengan cara transparan dan elegan, Jokowi justru membiarkannya bergulir seperti bola salju yang terus membesar. 


Persis seperti Durna yang mengetahui kebenaran tentang siapa yang benar di antara Pandawa dan Kurawa, namun memilih bungkam karena kenyamanan berada di sisi para penguasa.


Dalam falsafah Jawa, seorang pemimpin idealnya adalah “hasto broto”, yaitu mereka yang bisa bersikap laksana bumi yang memberi kehidupan, atau air yang mengalir memberi manfaat. 


Tapi apa jadinya jika pemimpin justru menyembunyikan kebenaran? Ketika rakyat mempertanyakan ijazah Jokowi, sesungguhnya itu adalah hak sah mereka sebagai warga negara. 


Transparansi adalah nafas demokrasi. Tapi ketika pertanyaan itu dijawab dengan pengalihan isu, pelaporan hukum kepada pengkritik, hingga pembungkaman wacana, maka yang kita hadapi bukan lagi pemimpin, melainkan figur yang terjebak dalam watak Durna: pintar namun memanipulasi, tahu namun menyembunyikan.


Pertikaian antara anak bangsa saat ini, termasuk perpecahan politik yang begitu tajam, sebagian besar bersumber dari absennya teladan kejujuran dari pucuk pimpinan. 


Kepercayaan publik runtuh bukan karena rakyat tidak rasional, tetapi karena terlalu sering dibenturkan dengan narasi yang direkayasa. 


Seperti halnya Pandawa dan Kurawa yang saling berperang karena kebijakan Durna yang tak adil, kini masyarakat Indonesia terpecah karena sebuah pertanyaan sederhana yang tak pernah dijawab dengan jujur: di mana ijazahmu, Pak?


Jika Durna dalam kisah Mahabharata berakhir tragis karena ketidakberpihakannya pada kebenaran, maka kita patut bertanya, akan ke mana arah bangsa ini jika pemimpinnya terus meneladani karakter serupa? 


Jalan keluar dari pertikaian bukan dengan menyalahkan rakyat yang bertanya, tetapi dengan menjawab secara jujur, gamblang, dan terbuka. 


Karena pemimpin sejati bukan yang membungkam suara, tetapi yang bersedia ditelanjangi kebenaran demi keutuhan bangsa.


Penutupnya sederhana: Durna adalah cermin masa lalu. Jangan biarkan bayangannya menjadi nadi masa depan.


***


Sumber: FusilatNews

Komentar