BEBERAPA waktu terakhir, publik ramai memperbincangkan dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Perdebatan sengit terjadi di media sosial, pengadilan hingga ruang-ruang diskusi ilmiah. Namun bagi banyak rakyat yang hidup di bawah tekanan ekonomi, isu paling mendasar bukanlah apakah ijazah itu asli atau palsu, melainkan sejauh mana lulusan atau pemilik ijazah tersebut membawa perubahan nyata bagi bangsa ini.
Pertanyaannya yang esensial, apa arti selembar ijazah jika setelah 10 tahun memimpin, rakyat justru semakin susah? Apa gunanya legalitas akademik jika realitas kehidupan rakyat jauh dari kesejahteraan?
Inilah inti yang harus kita renungkan bersama, bukan semata mempertanyaan ijazah Jokowi. Barangkali Jokowi lebih senang ditanya soal keaslian ijazahnya ketimbang ditanya terkait utang negara dan kegagalan ekonomi dll. Selama satu dekade Jokowi memimpin Indonesia (2014-2024), apakah kita sebagai bangsa semakin dewasa, sejahtera, dan merdeka secara ekonomi dan berpikir? Atau justru semakin tergantung pada utang, semakin dalam jurang ketimpangan sosial, dan kian jauh dari cita-cita para pendiri bangsa?
Suka tidak suka, sadar atau tidak, kita sedang hidup di zaman yang getir. Zaman yang membuat banyak keluarga Indonesia, terutama di lapisan bawah, hanya bisa menjalani hari demi hari tanpa sempat merancang masa depan. Hidup terlalu mahal, terlalu keras, dan terlalu sempit untuk sekadar bermimpi.
Dulu, orang tua kita, entah seorang pegawai negeri di kecamatan, seorang guru, atau bahkan petani di desa masih bisa memikirkan satu hal penting dalam hidup yakni pendidikan anak-anaknya. Di meja makan sederhana yang penuh canda dan kehangatan, mereka masih bisa bertanya pada anaknya yang baru lulus SMA, “Mau kuliah di mana, Nak? Atau kamu lebih tertarik masuk Akmil (Akademi Militer) atau Akpol (Akademi Kepolisian)". Pertanyaan sederhana yang penuh harapan.
Kini, meja makan mungkin tak lagi penuh. Bukan karena nggak ada anak-anak, tapi karena tak ada yang bisa dimakan bersama. Banyak dari kita yang hidup di era ini bahkan tak mampu merencanakan satu minggu ke depan, apalagi membayangkan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Bisa makan hari ini dan esok saja sudah cukup membuat kita bersyukur.
Jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2024 mencapai 25,22 juta orang (BPS). Angka ini stagnan sejak 2019, bahkan cenderung meningkat jika menghitung mereka yang hidup nyaris miskin (near poor).
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2024 berada di 5,32 persen atau sekitar 7,2 juta orang. Kebanyakan adalah lulusan SMA/SMK, usia muda, usia produktif.
Biaya kuliah makin mahal: Di universitas negeri, UKT semester awal bisa mencapai Rp7-15 juta. Gaji minimum (UMR) di banyak daerah masih hanya sekitar Rp2,5 juta.
Rasio Gini Indonesia pada 2023 sebesar 0,388, menandakan ketimpangan yang tinggi. Di Jakarta bahkan mencapai 0,419 (BPS), artinya sebagian kecil orang menguasai sebagian besar kekayaan kota.
Sekitar era tahun 70 hingga awal 2000-an, seorang petani atau buruh masih bisa membiayai anaknya kuliah. Tak banyak, tapi cukup untuk bermimpi. Sekarang?
Pendapatan petani Indonesia rata-rata hanya Rp1,8 juta per bulan (Susenas, 2023). Harga pupuk naik, hasil panen tak stabil, pasar dikuasai tengkulak. Anak-anak mereka bahkan sulit menyelesaikan SMA, apalagi kuliah.
Pemerintah memang masih memberikan Bansos, KIP Kuliah atau beasiswa, tapi akses dan kuotanya terbatas. Tidak semua yang miskin bisa kuliah. Bahkan yang cerdas pun harus berjuang sendiri.
Alih-alih membereskan pendidikan, pertanian, dan kesehatan, pemerintahan Jokowi justru memilih megaproyek infrastruktur raksasa: jalan tol, kereta cepat, bandara, dan tentu saja pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan.
Laporan Bank Dunia (2023) menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur Indonesia belum cukup inklusif dan tidak serta-merta mengurangi kemiskinan. Proyek besar menguntungkan investor dan elite, tetapi tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat kecil.
Belajar dari Vietnam dan Bangladesh
Vietnam berhasil menurunkan kemiskinan dari 58 persen (1993) menjadi di bawah 2 persen (2020), bukan dengan jalan tol atau kereta cepat, tapi dengan subsidi pertanian, pendidikan gratis, dan koperasi petani.
Bangladesh yang dulunya salah satu negara termiskin di dunia kini menjadi pusat industri tekstil Asia. Mereka fokus pada pemberdayaan perempuan, pendidikan dasar gratis, dan pemberian modal mikro bagi rakyat kecil.
Penutup
Kita bisa perdebatkan ijazah Jokowi, tapi yang lebih penting adalah menilai hasil nyata dari 10 tahun pemerintahannya, Apakah rakyat lebih pintar? Apakah kita lebih berdaulat secara pangan dan energi? Apakah anak-anak Indonesia bisa bermimpi kuliah dengan tenang?
Jika jawabannya tidak, maka rakyat berhak marah, bukan karena ijazah, tapi karena harapan yang dirampas, cita-cita yang ditunda, dan mimpi yang mati perlahan.
Mungkin kita tidak bisa kembali ke masa 1990-an, tapi kita bisa belajar dari semangat orang tua kita dulu percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan. Maka perjuangan hari ini adalah memastikan anak-anak kita bisa kembali bermimpi.
Bangkit bukan pilihan, tapi keharusan. Kita harus sadar, bersatu, dan memperjuangkan masa depan yang adil dan setara. Bukan dengan harapan palsu atau pencitraan politik, tapi dengan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.
OLEH: AGUSTO SULISTIO
Penulis adalah Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
Artikel Terkait
Terungkap! Ternyata Ridwan Kamil Sudah Laporkan Lisa Mariana ke Polisi Seminggu Lalu
Pertanyaan IQ 58: Kalau Ijazah Jokowi Ternyata Asli Bagaimana? Kau Mau Bilang Apa?
Viral Pria Berbaju Timnas Indonesia Injak Situs Artefak Batu Kenteng Songo di Puncak Merbabu
Permainan Politik Tingkat Tinggi