Drama Dua Kepala Dalam Satu Istana: 'Siapa Yang Mau Dimakzulkan Duluan?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Baru setengah tahun, pemerintahan Prabowo-Gibran sudah seperti rumah tangga tanpa komunikasi.
Prabowo tampak sibuk dengan citra sebagai “Bapak Gizi Nasional”, sementara Gibran—yang kadang lebih terlihat seperti influencer negara—bermain-main dengan panggung simbolik. Di belakang layar, isu pemakzulan mulai sayup-sayup terdengar.
Yang mengejutkan bukan bahwa isu ini muncul, tetapi bahwa ia datang begitu cepat.
Biasanya, suara-suara pemakzulan muncul di tahun keempat, ketika elektabilitas ambruk dan ekonomi stagnan.
Tapi kali ini, baru enam bulan berjalan, kursi presiden dan wakil presiden sudah seperti bangku panas yang bisa terbakar kapan saja.
Di Senayan, beberapa politisi dari partai koalisi sudah mulai bergumam soal “evaluasi kepemimpinan”.
Di eksekutif, menteri-menteri yang dulu dilantik oleh Prabowo lebih sering berfoto di depan pagar rumah Jokowi di Solo daripada di ruang rapat kabinet.
Arah angin politik tampak mulai condong ke selatan: bukan ke Istana, tapi ke rumah mantan presiden.
Di tengah semua ini, muncul pertanyaan absurd tapi relevan: siapa yang lebih dulu akan terpental?
Prabowo, sang presiden yang terlalu tua untuk dikendalikan? Atau Gibran, sang anak emas yang terlalu muda untuk memahami batas kuasa?
Jika Jokowi merasa Prabowo sudah terlalu jauh dari arahan awalnya, ia bisa memainkan pengaruhnya di parlemen—tempat mayoritas masih loyal pada warisan kekuasaan Jokowi.
Prabowo bisa dijegal lewat isu ketidakmampuan fisik, kebijakan zig-zag, atau instabilitas politik yang kian kentara.
Tapi jangan remehkan Prabowo: dia sudah makan asam-garam politik sejak zaman reformasi.
Ia bisa balik menyerang, dengan kartu truf bernama: Gibran tak punya pengalaman dan terlalu banyak gaya.
Di sisi lain, jika Gibran dinilai terlalu berani bermain politik atau menyusun jaringan sendiri, Prabowo bisa mulai meredamnya. Dalam konstitusi, presiden adalah panglima tertinggi—dan itu bukan sekadar dalam militer.
Prabowo bisa pelan-pelan membatasi gerak Gibran, bahkan mendorong opini publik bahwa sang wakil terlalu sering ikut campur.
Keduanya kini berjalan di atas tambang tipis kekuasaan. Di bawah tambang itu, ada jurang pemakzulan. Dan tak ada jaminan bahwa salah satu dari mereka tidak akan terjatuh.
Pertanyaannya tinggal satu:
Siapa yang mendorong lebih dulu, dan siapa yang jatuh lebih cepat?
Bisik-Bisik Pemakzulan: Prabowo dan Dua Wajah Kabinet yang Menyimpan Agenda
Enam bulan sudah Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tapi suasana istana tidak sepenuhnya nyaman. Aroma kekuasaan yang harusnya mengental di sekitar sosok presiden justru terasa kabur.
Alih-alih menunjukkan soliditas, kabinet yang dibentuk Prabowo tampak seperti ladang ranjau politik.
Beberapa nama menterinya, alih-alih patuh dan loyal, justru sibuk menyulam manuver sendiri—terutama dua nama ini: Bahlil Lahadalia dan Zulkifli Hasan.
Bahlil, Menteri Investasi, dikenal sebagai loyalis Jokowi garis keras. Dalam banyak kesempatan, ia lebih terlihat sebagai corong perpanjangan tangan Jokowi ketimbang sebagai pembantu presiden baru.
Bahkan ketika Prabowo sibuk membangun relasi politik dengan Megawati dan SBY, Bahlil justru kedapatan intens berinteraksi dengan Jokowi di luar forum resmi—termasuk dalam kunjungan pasca-pertemuan Prabowo-Megawati.
Sikap Bahlil ini menimbulkan spekulasi: mungkinkah dia sedang memantau, mencatat, dan melaporkan setiap gerak Prabowo?
Sementara Zulkifli Hasan (Zulhas), sebagai Ketua Umum PAN, Zulhas memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan kekuatan politik di pemerintahan.
Peralihan posisinya ke Kemenko Pangan menunjukkan kepercayaan yang diberikan oleh Presiden Prabowo untuk menangani isu-isu krusial terkait ketahanan pangan nasional.
Namun, dalam konteks isu pemakzulan dan loyalitas menteri, peran Zulhas tetap menjadi sorotan.
Sebagai tokoh senior dengan jaringan politik yang luas, langkah-langkahnya dalam kabinet dapat mempengaruhi stabilitas pemerintahan.
Oleh karena itu, penting untuk terus memantau dinamika politik yang melibatkan tokoh-tokoh kunci seperti Zulhas dalam pemerintahan Prabowo.
Bahlil dan Zulhas, dua nama yang seolah biasa di kertas kabinet, bisa jadi justru dua pion kunci dalam percaturan kekuasaan berikutnya.
Mereka punya akses, jaringan, dan ambisi. Dan yang lebih penting: mereka punya loyalty structure yang tidak jelas berlabuh ke Prabowo.
Wacana pemakzulan bukan isapan jempol jika ketidakloyalan ini mengakar. Dalam politik Indonesia, sejarah sudah mencatat bagaimana presiden bisa dijatuhkan bukan hanya karena kesalahan besar, tapi karena ia kehilangan dukungan elite dan dibenturkan dengan persepsi publik.
Prabowo, yang kini sedang mencari keseimbangan antara menjaga citra nasionalis-militeristik dan stabilitas koalisi, bisa saja dijatuhkan bukan karena kegagalan, tapi karena ia terlalu berhasil keluar dari bayang-bayang Jokowi.
Ketika menteri-menteri seperti Bahlil lebih rajin “menghadap” ke rumah Jokowi di Solo dibanding rapat bersama Presiden di Istana, dan ketika tokoh seperti Zulhas tetap bermain cantik dengan semua pihak, maka kita harus sadar: yang sedang terjadi bukan sekadar kerja pemerintahan. Ini adalah kontestasi kuasa di panggung tertutup.
Pertanyaannya tinggal satu:
Apakah Prabowo bisa membaca permainan ini lebih cepat sebelum permainannya selesai?
Kaki di Dua Perahu: Menteri-Menteri Galau Antara Jokowi dan Prabowo
Panggung politik Indonesia kembali memanas, tak lama setelah pertemuan mengejutkan antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri mencuat ke publik.
Alih-alih meredakan spekulasi, suasana justru makin riuh ketika sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju terlihat sowan ke rumah pribadi Presiden Joko Widodo di Solo.
Di antara mereka, nama Bahlil Lahadalia mencuat sebagai figur yang paling rajin “menghadap.” Bukan ke kantor, bukan ke istana, tetapi ke rumah Jokowi.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kabinet yang Tak Lagi Satu Komando
Secara normatif, para menteri adalah pembantu presiden. Tapi dalam politik Indonesia yang cair, posisi menteri bisa bermakna ganda.
Mereka bisa menjadi operator kebijakan sekaligus aktor politik yang menanamkan kesetiaan pada siapa yang dianggap akan (atau masih) berkuasa.
Kunjungan Bahlil dan beberapa menteri lainnya ke Jokowi bisa dibaca dalam bingkai itulah. Ini bukan sekadar silaturahmi, apalagi basa-basi lebaran.
Dalam konteks suhu politik yang tengah mendidih, langkah itu lebih menyerupai manuver politik—bahkan mungkin sinyal kesetiaan.
Mereka seolah ingin menyatakan bahwa meski Prabowo sedang bersiap mengambil tongkat estafet, loyalitas mereka belum tentu berpindah arah.
Kondisi ini menunjukkan adanya pembelahan yang nyata dalam tubuh kabinet. Sebagian merasa bahwa masa depan mereka masih berada dalam orbit Jokowi.
Sementara sebagian lain mulai menoleh ke arah Prabowo—entah karena peluang kekuasaan, tekanan politik, atau sekadar insting bertahan hidup.
Bahlil dan Loyalitas Berganda
Nama Bahlil Lahadalia menjadi salah satu contoh paling jelas dari dinamika ini.
Sebagai Menteri Investasi yang dikenal dekat dengan Jokowi, Bahlil bukan hanya pembantu presiden, tetapi juga loyalis yang kerap menjadi juru bicara tak resmi kebijakan strategis pemerintah.
Ia hadir dalam banyak momentum penting Jokowi, dan dalam berbagai kesempatan, menyampaikan pujian terbuka terhadap gaya kepemimpinan sang presiden.
Namun, pasca-Pilpres 2024, arah angin mulai berubah. Ketika Prabowo dipastikan menang, publik tentu bertanya: akan ke mana Bahlil?
Apakah ia akan bermigrasi secara utuh ke barisan Prabowo, atau tetap memelihara kedekatan dengan Jokowi?
Kunjungan ke Solo menjawab sebagian dari pertanyaan itu. Di tengah spekulasi pergeseran politik nasional, Bahlil tampaknya masih menaruh kepercayaan dan kesetiaan kepada Jokowi.
Bahkan, ia seolah menempatkan Jokowi bukan sebagai “mantan presiden,” tetapi sebagai patron politik yang tetap harus dilapori dan dimintai restu.
Kabinet dalam Ketegangan Transisi
Situasi ini menimbulkan dilema baru dalam proses transisi kekuasaan. Kabinet Jokowi belum resmi berakhir, tetapi atmosfernya sudah tak lagi utuh.
Beberapa menteri mulai memainkan dua kaki: melaksanakan tugas kenegaraan sembari membangun jejaring baru untuk masa depan mereka sendiri.
Yang lebih serius, sejumlah di antara mereka bahkan terang-terangan menunjukkan loyalitas personal yang belum tentu linier dengan struktur formal kekuasaan pasca-2024.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana Prabowo akan membangun kabinet yang solid jika sejumlah menteri warisan Jokowi masih merasa berutang loyalitas kepada sang patron lama?
Dalam sistem presidensial, loyalitas terhadap presiden seharusnya bersifat tunggal dan tak terbagi. Tapi di Indonesia, loyalitas menteri seringkali menjadi persoalan politik tersendiri.
Ketika seorang menteri lebih patuh kepada orang yang mengangkatnya ketimbang kepada pemimpin baru, maka stabilitas pemerintahan bisa terganggu sejak awal.
Politik Personal dan Bayang-Bayang Jokowi
Fenomena loyalitas menteri kepada Jokowi menunjukkan bahwa politik Indonesia masih sangat bertumpu pada figur, bukan institusi.
Presiden bukan hanya pemegang kekuasaan eksekutif, tetapi juga simbol perlindungan politik bagi banyak elite.
Maka tak heran jika Jokowi tetap menjadi pusat gravitasi, bahkan ketika masa jabatannya hampir habis.
Namun, ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Prabowo. Jika ia ingin membangun pemerintahan yang efektif dan otonom, ia harus memastikan bahwa menteri-menterinya tunduk kepada garis komando yang baru. Bukan pada patron yang telah usai, betapapun kuat pengaruhnya secara politik maupun emosional.
Penutup: Transisi yang Tak Sesederhana Prosesi
Kunjungan menteri-menteri ke rumah Jokowi menjadi penanda bahwa transisi kekuasaan bukan sekadar prosesi administratif, tetapi pertarungan pengaruh yang sesungguhnya.
Ketika loyalitas tidak berpindah seiring mandat rakyat, maka stabilitas pemerintahan di masa depan bisa terganggu bahkan sebelum ia dimulai.
Prabowo tentu menyadari hal ini. Dan jika ia ingin membangun pemerintahan yang solid, langkah pertama yang harus ia ambil bukan sekadar memilih menteri yang pintar, tetapi memastikan mereka memiliki loyalitas yang tak bercabang.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Elite PKS Ajak Umat Islam Taati Seruan Ulama soal Palestina
Terungkap! 5 Fakta di Balik 3 Mobil Polisi Terbakar di Pondok Ranggon Depok
Viral! Tulisan Lorem Ipsum di Tugu Titik Nol IKN Jadi Sorotan Warganet, Asli Atau Editan?
Cerita Mentan Amran Pernah Ditegur Wapres Gara-Gara Tutup Perusahaan Mafia Beras