'Untuk Apa Mempersoalkan Ijazah Jokowi?'
Oleh: Among Kurnia Ebo
Ijazah Joko Widodo dipersoalkan lagi. Di Solo, pengacara Taufik mendaftarkan gugatan Ijazah Palsu Jokowu ke pengadilan negeri.
Di Yogya, Roy Suryo dkk menggeruduk kampus UGM untuk memastikan kepalsuan ijazah Jokowi ini dengan kajian akademik.
Kalangan UGM terbelah jadi dua. Sebagian percaya ijazah Jokowi asli dengan alasan UGM sudah MEYAKINI ijazah Jokowi asli, KPU sudah meloloskan Ijazah itu saat pendaftarannya jadi Pejabat, dan sudah ada penjelasan dari teman-teman kuliahnya bahwa Ijazah Jokowi itu ada dan asli.
Tanpa pernah ditunjukkan sama sekali bentuk ijazah asli itu ke publik (padahal sebagai pejabat publik harus transparan ke publik. Bahkan punya harta berapa, utang berapa, sesuai undang-undang rakyat harus diberitahu).
Sebagian lagi mempertanyakan dengan serius ijazah itu bahkan ada yang berani menyatakan Ijazah Jokowi itu seratus milyar persen palsu. Argumentasinya pun banyak dan siap diadu dibuktikan secara ilmiah katanya.
Alasan mendasar, tentu saja karena Jokowi tak pernah menunjukkan ijazah aslinya. Alasan lainnya, karena banyak sekali yang yang janggal dari ijazah dan skripsi Jokowi. Banyak yang tidak masuk akal.
Ijazah Jokowi potonya berkaca mata, skripsinya juga dianggap tidak lazim karena tanda tangan pejabat kampusnya janggal dan font yang dipakai dianggap datang dari masa depan.
Termasuk tanggal pengeluaran ijazahnya lebih awal daripada tanggal kelulusan dalam skripsinya.
Yang merasa ahli digital forensik meyakinkan publik dengan menunjukkan fakta-fakta analisis digitalnya.
Dengan banyak software. Dianalisis mulai kesamaan foto di ijazah dengan foto asli Jokowi, tak ada yang sama (missmatch).
Dianalisis dari jenis tanda tangan, jenis font yang dipakai, jenis kertas luar dan dalam skripsi yang berbeda, nama-nama dosen pembimbing dan penguji yang janggal secara akademik, dan banyak lagi.
Banyaknya kejanggalan itulah yang meyakinkan mereka bahwa ijazah Jokowi itu palsu. Hari ini (Selasa, 15/4/2025) mereka akan mendatangi UGM untuk menanyakan semua itu agar jelas.
Mereka berprinsip kejujuran adalah segala-galanya di dunia akademik. Nama UGM dipertaruhkan. Sebagai alumni UGM mereka ingin semuanya jelas. Transparan.
***
Dalam tulisannya di Disway Pak Dahlan Iskan menulis dengan ambigu keterbelahan sikap soal ijazah Jokowi ini. Untuk apa mempersoalkan ijazah Jokowi? Dia sudah selesai dari jabatannya.
Kalau terbukti palsu pun tak guna juga untuk menurunkannya. Sang pemilik ijazah sudah menikmati kekuasaannya dan segala fasilitas di dalamnya. Dua periode lebih. Jadi, tujuan memastikan ijazah Jokowi itu asli atau palsu itu untuk apa?
Bagi saya (penulis) tetap saja persoalan ijazah Jokowi yang mengganggu nalar publik begini harus klir. Jangan terkatung-katung dalam perdebatan dan keterbelahan yang tak berujung.
Itu contoh buruk bagi bangsa ini di masa depan. Seolah-olah hal yang tidak tuntas itu wajar. Yang mengambang itu hal biasa. Yang tidak jelas itu tidak penting untuk diperjelas.
Ini lebih kepada pendidikan moral kepada anak bangsa. Itu perspektif saya. Kecuali, negara ini mau dijadikan sebagai negara tanpa landasan moral. Entah jadi negara komunis atau negara atheis atau apa. Moralitas tidak penting.
Pendidikan moral juga tidak penting. Yang penting, kekuasaan didapat, apa pun caranya, halal haram tidak penting.
Jokowi adalah pejabat publik. Bahkan pemimpin tertinggi sebuah negara. Sepatutnya ia mencontohkan hal-hal baik kepada rakyatnya, terutama generasi mudanya.
Nilai-nilai baik itulah yang harus diteruskan dari generasi ke generasi. Bukan sebaliknya, contoh buruk dan generasi berikutnya menjadikannya sebagai preferensi.
Bayangkan! Jika ratusan juta anak-anak muda IndOnesia terang terangan sudah diajari oleh pemimpin tertingginya: curang nggak papa, menipu nggak papa, ingkar janji nggak papa, halalkan segala cara ndak papa, yang penting jabatan bisa diraih.
Bila perlu korbankan orang lain termasuk institusi terhormat, anggap aja mereka itu hanya batu lompatan untuk meraih karir politik...
Apa jadinya Indonesia masa depan? Itu kalau masa depan Indonesian dipikirkan. Kalau tidak?
Ya sudahlah! Ramai-ramai saja siapa pun bikin ijazah yang tidak jelas dan yang tak perlu dibuktikan kejelasannya!
Toh kata Rocky Gerung, ijazah itu hanyalah tanda orang pernah selesai kuliah, bukan tanda orang bisa berpikir apalagi dengan pikiran yang jernih dan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik nalar berpikirnya...
Betapa mengerikannya jika ada ajaran seperti itu. Betapa mengerikannya jika semua orang tua mengajarkan anaknya perilaku semacam itu: halalkan apa pun caranya, yang penting berkuasa!
"Budi pekerti itu nggak penting, nak. Lakukan apa saja yang penting tujuanmu tercapai. Bila perlu dengan cara-cara kontroversial. Bila perlu dengan cara-cara tak jujur. Politik seperti itu memang. Ingkar janji dan mengorbankan orang lain itu biasa. Wajar. Kamu nggak usah merasa bersalah atau merasa berdosa. Dalam politik salah dan dosa itu tidak ada. Tidak penting. Kalau bisa mengorbankan orang orang, bisa menipu rakyat, kenapa harus mengorbankan diri sendiri. Nikmati aja fasilitas negara, duit rakyat, dan empuknya kursi kekuasaan. Nggak perlu pusing dengan konstitusi, undang-undang, apalagi moral. Bila perlu undang-undang itu yang kita ubah sesuka hati kita. Fokus aja pada tujuan. Soal moral anggap aja itu hanya dongeng untuk rakyat jelata..... "
Betapa mengerikannya kalau ada seratus orang tua yang punya pemikiran seperti itu dan mewariskan pikirannya itu kepada anak-anaknya.
Anda bayangkan saja pada suatu hari Anda mengajari anak Anda doktrin seperti itu. Lalu anak Anda mengangguk-angguk menerimanya. Siap mempraktikkannya...
Jujur
Pintar
Amanah
Semua itu tidak penting dalam hidup penting.
Karena yang terpenting adalah berkuasa!!! Pada saat uang saya korbankan siapa saja, tipu siapa saja.
Yang penting jangan kamu yang rugi. Korbankan sebanyak-banyaknya orang tidak masalah yang penting jangan kamu yang jadi korban.
Saya jadi ingat dengan Taman Siswa dan Ki Hajar Dewantara.Bagaimana pendidikan tinggi Taman Siswa menyikapi fenomena seperti itu?
Menurut saya, inilah momentum yang tepat untuk kembali memperjuangkan mata pelajaran budi pekerja sebagai kurikulum penting dalam pendidikan nasional seperti ajaran Ki Hajar Dewantara. Budi pekerti yang hilang dari bangsa ini harus dikembalikan lagi.
Atau, bahkan Taman Siswa pun tidak lagi menganggap penting budi pekerti?
Ajaran Ki Hajar Dewantara tentang budi pekerti dianggap tidak relevan lagi di jaman sekarang ini? Entahlah...
***
Artikel Terkait
Gaji Ribuan Kepala Dapur MBG Belum Dibayar 3 Bulan, Kepala BGN Sebut Kewajibannya Sudah Tuntas
Tahanan Dugem di Dalam Sel, 14 Napi dan Kepala Rutan Pekanbaru Diperiksa
Mel Gibson Desak Pemerintah Amerika Jujur Soal Tragedi 9/11
Orang RI Mulai Cemas, Kudu Mikir 1.000 Kali Untuk Belanja! Sri Mulyani Justru Diam Seribu Bahasa