PARADAPOS.COM - Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah alumni dan tokoh nasional dijadwalkan berkumpul dalam agenda silaturahmi dan halal bi halal di kampus tersebut.
Namun, temu kangen kali ini tak sekadar nostalgia—ada desakan serius untuk membuka kejelasan terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.
Ahmad Khozinudin, pengamat politik yang juga turut menggagas acara ini, menyatakan keraguan terhadap keaslian ijazah Jokowi bukan hanya dilontarkan oleh Bambang Tri Mulyono.
Sejumlah alumni UGM telah menyuarakan penolakan secara terbuka.
Rismon Hasiholan Sianipar, alumni sekaligus ahli forensik digital, menyebut ijazah Jokowi "11.000 triliun persen palsu".
Pernyataan itu disambut oleh Roy Suryo, mantan Menpora dan pakar telematika, yang menilai ijazah tersebut "99,9 persen palsu".
“Roy Suryo mewakili gaya Jawa yang halus, sementara Rismon mewakili gaya Sumatera yang blak-blakan. Tapi substansinya sama: mereka sama-sama meragukan keaslian ijazah Presiden,” kata Khozinudin, Senin 14 April 2025.
Khozinudin menyindir sikap UGM yang dinilainya pasif dan hanya mengandalkan testimoni para petinggi universitas seperti Rektor Ova Emilia dan Dekan FH Sigit Sunarta.
Ia mendesak UGM untuk lebih terbuka, bahkan menyarankan agar kampus menghadirkan “meja verifikasi ijazah” yang bisa diuji secara ilmiah di hadapan publik.
“UGM itu lembaga akademik, bukan lapak jualan jamu. Jangan sampai reputasi kampus tercoreng karena mempertahankan sesuatu yang tak bisa dibuktikan,” tegasnya.
Menurutnya, kejujuran akademik jauh lebih penting ketimbang loyalitas pada figur publik.
“Lebih baik kehilangan Jokowi daripada kehilangan reputasi akademik. Alumni akan lebih bangga jika kampus berdiri di atas kejujuran dan keberanian akademis,” tutupnya.
UGM Batasi Akses, Roy Suryo Ingatkan Kebenaran Harus Lebih Tinggi dari Kekuasaan
Agenda klarifikasi keaslian ijazah Presiden Joko Widodo yang akan digelar di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 15 April 2025 dipenuhi berbagai pembatasan.
UGM dikabarkan hanya mengizinkan lima orang tamu dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) hadir selama satu jam.
Tempat pertemuan pun dialihkan ke ruang kecil di Fakultas Kehutanan, bukan di Gedung Balairung seperti yang diajukan. Alasannya karena ada ujian tengah semester.
Namun bagi Roy Suryo, pakar telematika sekaligus alumnus UGM, pembatasan itu justru mempertegas bahwa kebenaran kini sedang dihadapkan langsung pada kekuasaan.
Ia mempertanyakan mengapa institusi sebesar UGM terlihat defensif terhadap permintaan verifikasi data akademik yang seharusnya terbuka untuk publik.
Kami akan tetap datang. Biar cuma satu jam, itu cukup untuk menyuarakan kebenaran. UGM bukan milik segelintir elite.
"Ini rumah intelektual, tempat kejujuran harus ditegakkan,” kata Roy dalam wawancara di podcast DiskursusNet, Sabtu 12 April 2025.
Bersama Dr. Rismon Hasiholan, ahli forensik digital, dan dr. Tifa, aktivis TPUA, Roy memimpin inisiatif moral ini sebagai bentuk tanggung jawab alumni terhadap almamater.
Mereka menegaskan, kehadiran mereka bukan demi polemik politik, tapi semata demi transparansi.
Roy mengkritik keras pernyataan Guru Besar Hukum Pidana UGM, Prof. Markus Priyo Gunarto, yang menyebut ijazah bisa saja hilang dan dicetak ulang.
Menurut Roy, ini adalah bentuk pembenaran yang mengkhianati logika akademik.
“Ijazah adalah dokumen negara, bukan kartu parkir. Prosesnya harus jelas, bisa diverifikasi, dan tak bisa diganti begitu saja tanpa dasar hukum. Kalau memang asli, tunjukkan. Kalau tidak, jangan manipulasi,” tegasnya.
Dr. Rismon mendukung hal itu dengan hasil analisis digital terhadap foto ijazah Jokowi.
Berdasarkan teknologi face recognition, wajah dalam ijazah tersebut lebih menyerupai kerabat Presiden, bukan Presiden sendiri. Meski
Mobil pribadinya sempat dirusak oleh orang tak dikenal di Balige, Rismon menegaskan tidak akan mundur.
“Ini bukan soal siapa yang berkuasa, tapi apa yang benar. Kami ingin kebenaran ilmiah dibuka, bukan dikunci di balik protokol,” katanya.
dr. Tifa pun memperkuat desakan itu. Ia menyebut bahwa ijazah bukan milik pribadi, tapi dokumen negara yang tunduk pada UU No. 20/2003, PP 17/2010, dan KUHP.
Jika ditemukan pemalsuan atau reprinting tanpa prosedur sah, maka ancamannya serius: hingga enam tahun penjara.
“UGM harus sadar, ini bukan tentang alumni gaduh. Ini tentang sejarah, tentang integritas. Kalau hari ini kita diam, maka besok kampus bisa jadi alat kekuasaan,” ujarnya.
Kini, sorotan tertuju pada Selasa, 15 April. Bagi sebagian orang, itu hanya halal bihalal biasa.
Tapi bagi Roy Suryo dan kawan-kawan, hari itu adalah ujian moral bagi kampus dan bangsa.
“Kami datang bukan untuk menuding, tapi untuk menagih kejujuran. Karena dalam demokrasi, kebenaran harus lebih tinggi dari kekuasaan,” pungkas Roy.
👇👇
Sumber: Sawitku
Artikel Terkait
Massa Dikabarkan Geruduk Rumah Jokowi Soal Ijazah Palsu, Hercules: Itu Asli, Jangan Cari Masalah!
6 Fakta Dokter Kandungan Lecehkan Pasien di Garut: Istri dan Banyak Korban Buka Suara
TEKOR! Jika Kalah di Pengadilan, Jokowi Akan Tanggung Utang Negara Rp 7.000 Triliun Karena Jabatannya 2 Periode Tidak Sah
Banyak yang Tersinggung dengan Walid di Series Bidaah, Begini Kata Ustadz Abdul Somad