MAKIN SERU! Jelang Aksi Geruduk UGM, Muncul Alibi Ijazah Jokowi Hilang, Pembatasan Tamu hingga Tunjuk Tim Hukum
Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
Menjelang agenda publik bertajuk Halal Bihalal Istimewa atau yang lebih populer disebut netizen 62 sebagai “Geruduk UGM” pada Selasa, 15 April 2025 mendatang, atmosfir di sekitar Universitas Gadjah Mada (UGM) kian panas.
Tak hanya di ruang kampus, hiruk-pikuk polemik ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat, memunculkan reaksi yang menunjukkan aroma kepanikan terselubung.
Dari mulai klaim ijazah hilang, argumentasi akademik baru dari guru besar UGM, pembatasan jumlah tamu, hingga penunjukan tim kuasa hukum—semuanya mencerminkan respons yang tidak biasa.
Ini bukan sekadar kontroversi, tapi pertarungan kredibilitas di tengah sorotan publik yang makin tajam.
1. Foto Ijazah dan Klaim Tak Konsisten
Semuanya bermula dari unggahan kader Partai Sebar Ijazah yang menampilkan foto disebut-sebut sebagai “ijazah asli” Presiden Jokowi.
Yang jadi persoalan, foto tersebut tidak disertai legalisasi resmi dari UGM, bahkan dicetak dalam format hitam putih yang tidak lazim.
Lebih runyam lagi, statemen Prof. Dr. Markus Priyo Gunarto, SH, MHum—guru besar hukum pidana UGM—memunculkan tafsir baru bahwa ijazah tersebut kemungkinan besar telah hilang dan dilakukan reprinting.
Padahal, ia sendiri sebelumnya menyatakan ijazah hanya boleh dicetak satu kali—konsep yang dalam istilah Jerman disebut einmalig, yang artinya: tidak dapat digandakan.
2. Analisis Digital Ungkap Kejanggalan
Teknologi turut berbicara. Hasil investigasi independen berbasis teknologi forensik digital seperti Error Level Analysis (ELA) dan perangkat Scientific Crime Identification (SCI) mengungkap fakta mengejutkan.
Pasfoto dalam “ijazah” versi PSI diduga bukan milik Jokowi, melainkan seseorang bernama Dumatno Budi Utomo (DBU)—sepupu Jokowi yang lahir 8 Juli 1977 dan menjabat Direktur PT Bara Toba Energy.
Dalam pengujian AI seperti Face Comparator dan Recognizer, identifikasi wajah dalam pasfoto lebih cocok dengan DBU daripada Jokowi.
Temuan ini memperkuat dugaan adanya penyuntingan dan manipulasi digital.
3. Pembatasan Tamu & Taktik Pengalihan
Surat resmi UGM kepada Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) menyatakan pihak kampus hanya akan menerima 5 delegasi saja, itu pun hanya selama 1 jam di ruang 109 Fakultas Kehutanan—bukan di Gedung Pusat Balairung UGM.
Alasan yang diberikan? Ujian Tengah Semester (UTS). Tapi bagi sebagian pihak, ini terkesan sebagai pembatasan akses terhadap verifikasi dokumen akademik.
Padahal, kedatangan TPUA adalah untuk melihat langsung dokumen seperti skripsi, KHS, bukti yudisium, dan tentu saja ijazah asli Jokowi (jika ada).
4. Dari Premanisme Digital hingga Tim Hukum
Sayangnya, dinamika ini juga diwarnai dengan indikasi intimidasi.
Mobil milik Dr. Rismon Hasiholan Sianipar, tokoh yang aktif mengkritisi kasus ini, dirusak oleh pihak tak dikenal di Balige.
Selain itu, ormas Rampai Nusantara yang dipimpin Mardiansyah Semar mengeluarkan ancaman terhadap alumni UGM yang bersuara kritis—meski Mardiansyah sendiri bukan lulusan UGM.
Di sisi lain, Presiden Jokowi telah menunjuk tim hukum yang terdiri dari Yakup Hasibuan, Andra Reinhard Pasaribu, Firmanto Laksana, dan Rivai Kusumanegara.
Pengacara-pengacara ini digadang-gadang akan menjadi benteng hukum untuk merespons tekanan publik.
5. Hukum Tidak Bisa Dimanipulasi
Perlu ditegaskan, ijazah adalah dokumen resmi negara yang diatur dalam berbagai regulasi, seperti UU No. 20/2003, PP No. 17/2010, hingga UU No. 1/2006.
Upaya memalsukan, mencetak ulang, atau memanipulasi data ijazah bisa dijerat pasal pidana:
- Pasal 263 & 264 KUHP: Pemalsuan dokumen (ancaman 6 tahun)
- Pasal 266 KUHP: Keterangan palsu di akta otentik (ancaman tambahan 4 tahun)
- Pasal 67 PP 17/2010 dan UU Sisdiknas: Larangan ijazah duplikat
- Pasal 1365 KUHPerdata: Ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum
Dengan semua regulasi ini, mustahil ada ruang legal untuk menerbitkan ijazah pengganti tanpa melalui proses hukum dan penetapan pengadilan.
6. Teknologi Bisa Dibungkam, Kebenaran Tidak
Fenomena panik yang terlihat dari berbagai manuver—baik akademik maupun politik—menunjukkan bahwa kasus ini menyentuh titik paling krusial dalam demokrasi: kejujuran pemimpin.
Saat publik makin cerdas dan teknologi mampu menembus manipulasi, kebenaran hanya butuh waktu untuk mengemuka. Kita tidak butuh propaganda.
Yang dibutuhkan adalah transparansi dan pertanggungjawaban.
Dan jika terbukti palsu, solusi satu-satunya bukan sekadar klarifikasi, tetapi: #AdiliJokowi dan #MakzulkanFufufafa.
***
Sumber: PorosJakarta
Artikel Terkait
Hebohnya Video Syur 4 Menit Mirip Lisa Mariana, Pasangannya Pria Bertato, Begini Soal Keasliannya
Towana Looney Cetak Rekor: Hidup 130 Hari dengan Ginjal Babi
Heboh Laporan Bloomberg Bongkar Triliuner Indonesia yang Amankan Duitnya di Luar Negeri, Siapa Mereka?
Viral ART Terekam CCTV Asyik Gasak Emas dan Uang Tunai 5.800 USD di Kembangan!