'Jokowi dan Proyek Membodohi Bangsa'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Rakyat Indonesia tak lagi buta. Mereka telah cukup lama menjadi penonton sekaligus korban dari drama panjang kekuasaan Joko Widodo. Kini, layar pertunjukan terbuka lebar.
Semua bisa melihat dengan jelas siapa sebenarnya Presiden dua periode ini: sosok yang dibalut citra sederhana, namun belakangan tampak begitu lihai memainkan kekuasaan demi kelanggengan pengaruhnya.
Dulu, rakyat dibuat percaya bahwa Jokowi adalah antitesis dari elit lama—pemimpin dari rakyat jelata, bersih, sederhana, dan mengerti derita wong cilik. Tapi waktu mengikis mitos.
Kredensial pendidikannya biasa-biasa saja, integritasnya terkikis oleh kompromi politik, dan prestasinya sebagai kepala negara lebih banyak berhenti di beton dan semen, bukan pada penguatan sistem atau perbaikan kualitas manusia Indonesia.
Dan kini, panggung politik nasional dipaksa menerima babak baru yang jauh lebih sumbang: kemunculan Gibran Rakabuming Raka, sang putra mahkota.
Belum genap selesai menapaki tangga wali kota, tiba-tiba ia diangkat naik ke orbit kekuasaan tertinggi, mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden.
Apa keistimewaannya? Rekam jejaknya tipis. Visi kebangsaannya kabur. Keahlian dalam pemerintahan nyaris tak terdengar.
Semua orang tahu: ini bukan tentang Gibran. Ini tentang Jokowi. Tentang seorang ayah yang tengah menyusun batu loncatan kekuasaan bagi putranya, dan tentang rakyat yang dipaksa menerima seolah ini adalah proses wajar dalam demokrasi.
Seolah-olah bangsa ini amnesia. Seolah-olah nalar publik bisa dibeli dengan retorika dan baliho.
Gibran tidak sedang memimpin. Ia sedang diseret. Ia bukan tokoh dengan gagasan, tapi produk dari rekayasa politik.
Dan tanpa ia sadari, langkah-langkahnya menjadi bahan tertawaan—bukan karena dia lucu, tapi karena sistem yang membawanya ke sana begitu buruk.
Ia dijadikan simbol betapa murahnya marwah kekuasaan di negeri ini.
Di warung kopi, di forum akademik, di linimasa media sosial—Gibran adalah bahan cemooh. Ia ditertawakan oleh rakyat yang sudah muak.
Tapi yang lebih menyakitkan: di balik tawa itu tersembunyi rasa getir. Bangsa ini seperti ditampar berkali-kali, lalu diminta tersenyum.
Jika Jokowi membayangkan akan dikenang sebagai bapak pembangunan, sejarah mungkin akan mencatat hal lain.
Ia akan dicatat sebagai presiden yang membuka pintu lebar bagi dinasti politik, membonsai demokrasi, dan membiarkan logika kepemimpinan dijajah oleh kepentingan keluarga.
Apakah bangsa ini sedang dibodohi? Jawaban itu tak lagi perlu ditanya. Yang lebih penting: sampai kapan rakyat akan diam?
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Gaji Ribuan Kepala Dapur MBG Belum Dibayar 3 Bulan, Kepala BGN Sebut Kewajibannya Sudah Tuntas
Tahanan Dugem di Dalam Sel, 14 Napi dan Kepala Rutan Pekanbaru Diperiksa
Mel Gibson Desak Pemerintah Amerika Jujur Soal Tragedi 9/11
Orang RI Mulai Cemas, Kudu Mikir 1.000 Kali Untuk Belanja! Sri Mulyani Justru Diam Seribu Bahasa