Negara Gagal Menjawab: Di Mana Ijazah Jokowi? Sang Raja Dusta!

- Selasa, 08 April 2025 | 15:00 WIB
Negara Gagal Menjawab: Di Mana Ijazah Jokowi? Sang Raja Dusta!


Negara Gagal Menjawab: Di Mana Ijazah Jokowi? Sang Raja Dusta!


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Tahun 2019, sebuah permohonan informasi publik diajukan ke Universitas Gadjah Mada oleh seseorang yang ingin tahu satu hal sederhana: Benarkah Joko Widodo pernah menjadi mahasiswa di kampus itu? 


Permintaan itu ditujukan lewat saluran resmi Komisi Informasi Daerah, lalu disusul gugatan ke Komisi Informasi Pusat. 


Tapi, seperti banyak kisah di negeri ini, transparansi malah dijawab dengan keheningan dan tembok birokrasi.


UGM menolak. Alasannya: privasi. Padahal, dalam Pasal 17 huruf a angka 3 UU KIP jelas disebut bahwa pengecualian informasi pribadi tidak berlaku jika menyangkut “jabatan publik dan/atau calon pejabat publik.” 


Dengan kata lain, ijazah seorang presiden adalah dokumen publik.


“Ini bukan soal pribadi. Ini menyangkut kredibilitas pejabat negara yang dipilih oleh rakyat,” ujar Alvon Kurnia Palma, pengacara publik dari YLBHI, dalam sebuah diskusi hukum terbuka tahun lalu.


Gaya Tutup Pintu


KPU yang seharusnya memverifikasi ijazah calon presiden pun menyodorkan dokumen salinan, bukan dokumen asli. 


Salinan itu diunggah ke situs KPU, namun ketika sejumlah ahli forensik mencoba menelaah, ditemukan kejanggalan pada tanda tangan, format, dan tinta cetaknya. 


Salah satunya adalah Dr. Zakir Rasyidin, pakar hukum pidana dan forensik dokumen, yang mengatakan bahwa “Ijazah itu terlalu sempurna untuk ukuran tahun 1985.” 


Ia merujuk pada jenis cetakan digital dan kualitas kertas yang belum lazim di era itu.


Ketika isu ini makin panas, Presiden Jokowi menjawab dengan santai. “Silakan dicek saja ke UGM,” katanya. 


Tapi UGM sendiri—lembaga yang disebut-sebut sebagai sumber kebenaran itu—justru berlindung di balik dalih kerahasiaan dan menyerahkan sepenuhnya kepada negara.


Anehnya, saat ijazah Sandiaga Uno dipertanyakan, lembaga pendidikannya—George Washington University—segera mengonfirmasi status alumninya secara terbuka. Publik bisa mengakses informasi itu langsung dari situs kampus.


Bahkan ijazah palsu yang digunakan oleh beberapa kepala daerah lain seperti Bupati Sabu Raijua dan anggota DPR dari NTT dibongkar habis-habisan dan dijatuhi sanksi hukum.


Mengapa standar itu tidak berlaku untuk Presiden?


Celah Hukum atau Kejahatan Konstitusi?


Dalam salah satu putusan menarik tahun 2020, Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat menyatakan bahwa ijazah kepala daerah adalah “bagian dari dokumen publik dan tidak bisa dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan.” Putusan itu seharusnya bisa menjadi yurisprudensi, apalagi dalam kasus presiden.


Namun di Mahkamah Agung, gugatan-gugatan terkait ini kandas. Tak pernah sampai pada titik pemeriksaan isi. 


Sebagian ditolak karena alasan formal, sebagian lain hanya disapu bersih dengan kalimat singkat: “tidak memenuhi syarat.”


Keterbatasan akses informasi, ditambah sikap elitis lembaga negara, membuat rakyat berada di lorong gelap. 


Mereka hanya bisa bertanya-tanya, dan setiap kali bertanya, jawaban yang datang adalah intimidasi, bukan penjelasan.


Ketika Akademisi Bicara


Di media sosial, video lawas Prof. Eddy Haryono, mantan Dekan Fakultas Hukum UGM, kembali viral. 


Dalam video itu, ia mengatakan tidak pernah mengenal Jokowi sebagai mahasiswa UGM. Padahal Jokowi mengklaim lulus dari Fakultas Kehutanan pada tahun 1985. 


“Saya hafal betul nama-nama mahasiswa waktu itu. Tapi nama itu (Joko Widodo) tidak pernah saya temui,” katanya.


Lalu muncul lagi rekaman video dari mahasiswa angkatan 1980-an yang mengaku tidak pernah satu kelas dengan sosok yang kini menjabat presiden dua periode itu. 


Seorang dosen lain mengatakan bahwa skripsi Jokowi tidak ditemukan di perpustakaan. Ada yang bilang sempat hilang, ada juga yang menyebut belum pernah dicetak.


Semakin dicari, semakin hilang.


Kebenaran yang Dibelokkan


Setiap kritik terhadap keabsahan ijazah Jokowi dibalas bukan dengan fakta, melainkan dengan delegitimasi. 


Para pengkritik dicap penyebar hoaks, dijerat UU ITE, bahkan diproses hukum dengan pasal-pasal karet. Diskusi dibubarkan, akun diblokir, berita dihapus.


Padahal, UU KIP adalah benteng hukum rakyat untuk tahu. Ia diciptakan justru agar informasi tak menjadi milik segelintir elit kekuasaan. 


Negara, dalam hal ini istana dan lembaga pendukungnya, sedang mempertontonkan ketakutan akan kebenaran. 


Dan ketakutan semacam itu biasanya muncul bukan karena fitnah, tetapi karena rahasia.


Dalam demokrasi, tak ada ruang bagi rahasia yang menyangkut syarat dasar seorang pemimpin. Jika ijazah itu benar, maka bukalah. Jika tidak, maka ini adalah penipuan publik terbesar sejak reformasi.


Penutup: Ujian Terakhir Sebuah Rezim


Presiden Joko Widodo mungkin akan mengakhiri masa jabatannya dalam hitungan bulan. Namun teka-teki soal ijazahnya bisa menjadi warisan pahit bagi demokrasi Indonesia. 


Sebab bila negara terus diam, maka rezim ini akan dikenang bukan karena pembangunan atau infrastruktur, melainkan karena satu dosa besar yang tak pernah dituntaskan: pemalsuan integritas.


Dan sejarah, seperti yang selalu kita pelajari di sekolah-sekolah, tidak menoleransi pembohongan publik.


***


Sumber: FusilatNews

Komentar