Fenomena Yusuf Mansur: 'Antara Ilusi Keajaiban dan Realitas Gagal'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Yusuf Mansur pernah menjadi ikon keajaiban spiritual di tengah umat.
Dengan lantang, ia mengajarkan dzikir-dzikir yang diyakini bisa melapangkan rezeki, dan shalawat-shalawat yang diklaim membuka pintu langit keberuntungan.
Bagi banyak orang, ia bukan hanya ustaz, tetapi motivator spiritual yang menjanjikan kesuksesan dunia dan akhirat, hanya dengan bermodal keyakinan dan repetisi lafaz-lafaz tertentu.
Dalam lanskap keislaman populer Indonesia, ia muncul sebagai tokoh flamboyan yang memadukan agama dan motivasi bisnis.
Namun, waktu adalah penguji segala hal. Klaim keajaiban tidaklah cukup berdiri sendiri tanpa bukti konkret di ranah dunia nyata.
Pelan tapi pasti, publik mulai menyadari bahwa narasi yang dibangun Yusuf Mansur tampak lebih sebagai ilusi dibandingkan kenyataan.
Beberapa proyek investasi yang digagasnya—dengan mengatasnamakan umat dan dibiayai oleh dana umat—berujung pada kegagalan bahkan kebangkrutan.
Mulai dari proyek hotel, batu bara, koperasi, hingga patungan usaha, satu demi satu runtuh tanpa hasil nyata. Uang umat menguap, sebagian tak kembali.
Janji keuntungan dunia disandingkan dengan pahala akhirat, namun kenyataan berkata sebaliknya: nihil profit, nihil pertanggungjawaban.
Tak hanya dalam dunia bisnis, upaya Yusuf Mansur menapaki jalur politik pun tak membuahkan hasil. Pencalonannya sebagai anggota DPR RI gagal total.
Rakyat, tampaknya, tak percaya bahwa spiritualitas semu bisa diterjemahkan menjadi kebijakan publik yang rasional dan adil.
Bahkan, wacana yang sempat ia utarakan tentang keinginannya menjadi presiden terdengar lebih sebagai fantasi daripada visi yang matang dan logis. Ia yang mengklaim mampu ‘menembus langit’ justru tak mampu menembus bilik suara rakyat.
Kegagalan demi kegagalan ini menohok satu pertanyaan mendasar: Jika semua ‘ilmu keajaiban’ yang diajarkan benar-benar manjur, mengapa tidak terlihat dampaknya dalam kehidupan pribadinya sendiri?
Mengapa ia sendiri tak berhasil menjadi simbol keberhasilan dari doktrin yang ia sebarkan? Di titik inilah publik mulai membuka mata.
Keajaiban bukanlah alat untuk menipu logika. Spiritualitas tidak bisa menjadi kedok untuk kegagalan manajerial, dan agama tidak boleh menjadi komoditas investasi yang menjerumuskan.
Yusuf Mansur adalah cermin dari bagaimana agama bisa dijual sebagai produk instan kesuksesan—dengan iming-iming keajaiban dan kecepatan hasil.
Tapi realitas adalah guru yang kejam. Ia membongkar semua ilusi dan menguak yang tersembunyi. Dalam kasus Yusuf Mansur, ilusi itu runtuh oleh dirinya sendiri.
Pada akhirnya, umat harus belajar membedakan antara harapan spiritual dan jebakan retorika religius.
Keajaiban sejati bukanlah janji yang digantungkan di atas proposal bisnis, tetapi hasil dari kejujuran, kerja keras, dan akhlak dalam bertindak.
Dan Yusuf Mansur? Ia akan dikenang bukan sebagai pembawa keajaiban, melainkan sebagai peringatan: bahwa iman pun bisa terjerat jika dijual atas nama keuntungan semu.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Permadi Arya Dikabarkan jadi Komisaris PT Jasamarga Tollroad Operator
Ratusan Jemaah Salat Jumat Meninggal Dunia di Masjid
Viral, Motor Driver Ojol Dibawa Kabur Maling di Depan Polisi, Netizen: Kok Bisa?
Pasar Bintaro Terbakar, 20 Mobil Pemadam Diterjunkan