Gelombang protes yang menolak Undang-Undang TNI di Indonesia mencerminkan pola perlawanan yang pernah terjadi dalam demonstrasi besar di Hong Kong pada 2019-2020. Gerakan protes di kedua wilayah ini memiliki kemiripan, baik dalam strategi, alat yang digunakan, hingga semangat militan yang menyertainya. Namun, perbedaan dalam konteks sosial-politik masing-masing wilayah juga memberi warna tersendiri dalam perlawanan tersebut.
Para demonstran yang menolak UU TNI di Indonesia menggunakan strategi yang mirip dengan aksi massa di Hong Kong. Mereka membekali diri dengan batu, petasan, masker wajah, dan alat bantu pernapasan—sebuah strategi bertahan yang juga diterapkan oleh demonstran Hong Kong dalam menghadapi aparat kepolisian. Di Hong Kong, demonstrasi besar-besaran dipicu oleh kekhawatiran bahwa RUU Ekstradisi akan membuat warga Hong Kong tunduk pada sistem hukum Tiongkok daratan, sehingga mengancam kebebasan sipil mereka. Sementara di Indonesia, penolakan terhadap UU TNI didasarkan pada kekhawatiran bahwa regulasi ini dapat mengancam hak-hak sipil serta meningkatkan peran militer dalam kehidupan publik.
Dalam aksi Hong Kong, taktik yang digunakan mencakup penggunaan teknologi dan koordinasi melalui aplikasi pesan terenkripsi, pemanfaatan simbol seperti payung (Umbrella Movement), hingga metode “be water” yang menekankan mobilitas cepat dan taktis dalam menghadapi aparat. Di Indonesia, meski belum terlihat adanya koordinasi serupa dalam skala yang sama, penggunaan media sosial untuk menyebarkan informasi dan mengatur aksi massa menjadi elemen penting dalam mobilisasi demonstran.
Meskipun ada kemiripan dalam metode perlawanan, perbedaan mendasar tetap terlihat dalam dinamika politik masing-masing wilayah. Demonstrasi di Hong Kong terjadi dalam konteks hubungan dengan pemerintahan pusat di Beijing yang memiliki kendali ketat atas daerah administratif khusus tersebut. Sementara itu, demonstrasi di Indonesia lebih terkait dengan perdebatan internal mengenai peran militer dalam demokrasi.
UU TNI yang mendapat penolakan luas dinilai oleh para aktivis sebagai langkah mundur dalam reformasi militer. Sejak reformasi 1998, Indonesia telah berusaha membatasi peran militer dalam urusan sipil. Namun, dengan regulasi baru yang memberikan kewenangan lebih besar kepada TNI dalam urusan keamanan dalam negeri, muncul kekhawatiran akan kembalinya praktik otoritarianisme gaya Orde Baru.
Di sisi lain, demonstrasi Hong Kong memiliki dimensi geopolitik yang lebih luas, karena berkaitan dengan ketegangan antara sistem hukum liberal Hong Kong dan sistem otoriter Partai Komunis Tiongkok. Di Hong Kong, demonstrasi dipicu oleh keinginan mempertahankan otonomi, sedangkan di Indonesia, aksi unjuk rasa lebih menekankan pada resistensi terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh militer.
Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan suatu gerakan protes sangat bergantung pada konsistensi dan strategi yang digunakan. Demonstrasi di Hong Kong, meskipun sempat memaksa pemerintah mencabut RUU Ekstradisi, pada akhirnya berujung pada tindakan keras Beijing dengan diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional yang semakin mengekang kebebasan politik di wilayah tersebut. Di Indonesia, masa depan gerakan penolakan terhadap UU TNI masih bergantung pada bagaimana respons pemerintah dan seberapa kuat gerakan sipil dalam mempertahankan tekanan politik terhadap kebijakan ini.
Yang jelas, gelombang demonstrasi ini menunjukkan bahwa pola perlawanan terhadap otoritarianisme, baik dalam bentuk langsung maupun terselubung, memiliki pola yang semakin global. Di era digital ini, perlawanan tidak lagi hanya bersifat lokal, tetapi juga mengambil inspirasi dari gerakan protes di belahan dunia lain. Apakah gerakan di Indonesia akan mengalami nasib yang sama seperti di Hong Kong atau berhasil mencapai tujuannya? Waktu yang akan menjawabnya.
Oleh: Muslim Arbi
Pengamat Politik
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Lisa Mariana Dapat DM dari Hotman Paris Diajak Ngopi Bareng, Tegaskan Belum Tunjuk Kuasa Hukum
Diduga Foto Pernikahan Lisa Mariana Beredar, Sama Ridwan Kamil?
Buat Petasan Sambil Merokok, Rumah Nur Imam Berantakan
Dibongkar Tengku Zanzabella, Nathalie Holscher Pernah Main Serong dengan Polisi