Gawat! Pajak Indonesia Terburuk: Bank Dunia Sebut Negara Kehilangan Hampir Rp1 Kuadriliun

- Kamis, 27 Maret 2025 | 06:30 WIB
Gawat! Pajak Indonesia Terburuk: Bank Dunia Sebut Negara Kehilangan Hampir Rp1 Kuadriliun




PARADAPOS.COM - Bank Dunia atau World Bank menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kinerja terburuk dalam hal pemungutan pendapatan pajak secara global. 


Rasio penerimaan pajak Indonesia dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) termasuk yang paling rendah.


Dalam laporan berjudul 'Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia', Bank Dunia mengungkapkan bahwa rasio pajak terhadap PDB pada 2021 hanya mencapai 9,1%.


“Indonesia masih kalah dalam hal rasio pajak terhadap PDB dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Diperlukan reformasi struktural untuk meningkatkan pendapatan pajak secara besar-besaran,” jelas Bank Dunia dalam laporannya.


Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Kamboja dengan rasio pajak terhadap PDB sebesar 18,0%, Malaysia 11,9%, Filipina 15,2%, Thailand 15,7%, dan Vietnam 14,7%.


Bank Dunia juga mencatat bahwa dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya, rasio pajak Indonesia pada 2021 turun sekitar 2,1 poin persentase. 


Pandemi Covid-19 disebut memperburuk rasio pajak Indonesia terhadap PDB, dengan penurunan drastis menjadi 8,3% pada 2020.


"Kesenjangan kepatuhan meningkat signifikan pada 2020, kemungkinan besar akibat dampak ekonomi pandemi COVID-19, yang mendorong meningkatnya insentif untuk menghindari atau menunda pembayaran pajak," jelas Bank Dunia, dalam laporannya yang dikutip pada Kamis (27/3/2025).


World Bank menyusun laporan ini berdasarkan data kajian kesenjangan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) untuk periode 2016–2021.


Menurut Bank Dunia, salah satu masalah utama yang diidentifikasi adalah kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan badan (PPh Badan) yang belum optimal.


Pada 2021, kontribusi kedua jenis pajak ini hanya mencapai 66% dari total penerimaan pajak atau setara dengan 6% dari PDB. 


Meskipun lebih produktif dibanding instrumen pajak lainnya, angka ini masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga.


"Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk tingkat kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif kecil, dan basis pajak yang terbatas," papar Bank Dunia.


Selain itu, dalam analisisnya, Bank Dunia mengungkapkan bahwa rasio pajak terhadap PDB Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara berkembang lainnya. 


Rendahnya rasio ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu memaksimalkan potensi penerimaan pajak. 


Salah satu faktor utamanya adalah tingkat kepatuhan pajak yang rendah di kalangan wajib pajak, terutama dari pelaku usaha besar dan individu berpenghasilan tinggi.


Salah satu kritik utama dalam laporan Bank Dunia adalah kebijakan perpajakan yang masih bias terhadap kelompok tertentu. 


Beberapa insentif pajak untuk korporasi besar sering kali tidak berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi yang merata. 


Sebaliknya, beban pajak lebih banyak ditanggung oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, terutama melalui pajak konsumsi seperti PPN.


Bank Dunia juga menyoroti perbedaan perlakuan pajak antar sektor ekonomi. Sektor informal, yang menyerap banyak tenaga kerja, masih belum terjangkau sistem perpajakan dengan baik, sementara sektor formal justru dibebani tarif pajak yang lebih tinggi.


Secara keseluruhan, kondisi ini diperkirakan menyebabkan Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp 944 triliun selama 2016–2021. 


Kerugian ini mencakup hilangnya pendapatan akibat ketidakpatuhan (compliance gap) dalam PPN dan PPh Badan, serta kebijakan fiskal yang dipilih pemerintah (policy gap).


"Perkiraan kesenjangan PPN dan PPh Badan tersebut, rata-rata, mencapai 6,4% dari PDB atau Rp 944 triliun antara 2016 dan 2021," lapor Bank Dunia.


Secara rinci, Indonesia diperkirakan kehilangan Rp 387 triliun dan Rp 161 triliun akibat ketidakpatuhan dalam PPN dan PPh Badan. 


Sementara itu, Rp 138 triliun dan Rp 258 triliun lainnya hilang karena kebijakan perpajakan yang ditetapkan pemerintah.


Informasi lengkap terkait laporan ini bisa klik di sini.


Sumber: Suara

Komentar