Eks Presidium GMNI dan Narasi Perlawanan: “Seandainya Rakyat Punya Senjata”

- Rabu, 26 Maret 2025 | 22:50 WIB
Eks Presidium GMNI dan Narasi Perlawanan: “Seandainya Rakyat Punya Senjata”


Dalam dunia politik dan sosial yang semakin kompleks, kritik terhadap ketimpangan kekuasaan antara rakyat dan penguasa sering kali muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya melalui puisi yang ditulis oleh Eks Presidium GMNI Yusuf Blegur berjudul “Seandainya Rakyat Punya Senjata”. Tulisan ini menggambarkan keresahan mendalam mengenai ketidakadilan yang dialami rakyat dan bagaimana mereka terus dipandang sebelah mata oleh para penguasa.

Dengan bahasa yang lugas dan penuh makna, Yusuf Blegur menyusun narasi yang menantang status quo. Ia menyampaikan kegelisahan bahwa rakyat sering kali tidak memiliki daya tawar dalam menghadapi dominasi negara dan aparatnya. Dalam puisinya, ia mengisyaratkan bahwa ketimpangan ini terus terjadi karena rakyat tidak memiliki alat untuk membela diri.

Puisi Yusuf Blegur ini menjadi sorotan karena menyinggung persoalan fundamental dalam relasi antara rakyat dan penguasa. Dalam bait-baitnya, ia menggambarkan bagaimana rakyat terus menerus menjadi korban, terhina, dan teraniaya.

“Seandainya rakyat punya senjata, mungkin rakyat tak akan terus terhina dipandang sebelah mata,” tulisnya dalam bait pertama. Kalimat ini mencerminkan ketidakadilan yang selama ini terjadi, di mana rakyat sering kali hanya dianggap sebagai objek kebijakan tanpa suara yang cukup kuat untuk menolak ketidakadilan yang menimpa mereka.

Lebih jauh, ia juga mengungkapkan bahwa tanpa alat perlindungan yang setara, rakyat sering kali kehilangan hak-haknya. “Seandainya rakyat punya senjata, mungkin rakyat tak sering teraniaya penuh luka, berdarah dan korban nyawa.” Ungkapan ini seolah merujuk pada berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, di mana rakyat kerap menjadi korban tanpa memiliki kemampuan untuk melawan atau mempertahankan diri.

Menyoal Peran Negara dalam Melindungi Rakyat

Yusuf Blegur juga mengangkat pertanyaan besar mengenai peran negara dalam menjaga keamanan dan keadilan bagi rakyatnya. Melalui puisinya, ia mempertanyakan apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi rakyat atau justru memperkuat dominasi atas mereka.

“Seandainya rakyat punya senjata, mungkin rakyat bisa menjaga dan melindungi agama, negara, dan bangsa,” tulisnya. Pernyataan ini membuka diskusi lebih luas mengenai apakah rakyat perlu memiliki alat pertahanan sendiri untuk memastikan keamanan dan keberlangsungan hidup mereka. Dalam sejarah dunia, banyak negara yang memperdebatkan kebijakan terkait kepemilikan senjata oleh warga sipil, dengan alasan perlindungan diri dari ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri.

Dalam konteks Indonesia, isu ini menjadi lebih kompleks karena negara memiliki monopoli atas penggunaan senjata melalui aparat keamanan seperti TNI dan Polri. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah rakyat benar-benar merasa aman di bawah perlindungan negara, atau justru sering kali merasa terpinggirkan dalam sistem hukum yang tidak berpihak pada mereka?

Refleksi tentang Kemerdekaan Rakyat yang Sebenarnya

Salah satu aspek paling menarik dalam puisi ini adalah refleksi mendalam tentang makna kemerdekaan. Yusuf Blegur menyiratkan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya tentang bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari ketidakadilan struktural yang masih membelenggu rakyat.

“Seandainya rakyat punya senjata, mungkin rakyat bisa merasakan arti sesungguhnya merdeka,” tulisnya dalam salah satu baitnya. Kalimat ini menyoroti fakta bahwa meskipun Indonesia telah merdeka secara politik sejak 1945, masih banyak rakyat yang merasa belum sepenuhnya merdeka dari ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum.

Dalam sistem politik yang ada, suara rakyat sering kali tidak didengar. Pemilihan umum yang seharusnya menjadi ajang partisipasi demokratis sering kali hanya menjadi alat legitimasi bagi elite politik, sementara aspirasi rakyat kecil tetap diabaikan. Dengan nada satir, puisi ini mengajak pembaca untuk berpikir ulang tentang apa arti merdeka bagi rakyat kecil yang terus berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.

Lebih dari sekadar sekumpulan bait puitis, tulisan ini adalah refleksi sosial yang menggambarkan kekecewaan dan kegelisahan rakyat terhadap ketidakadilan yang terus terjadi. Apakah rakyat benar-benar memiliki suara dalam menentukan nasib mereka sendiri? Apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi rakyatnya, atau justru hanya menjaga kepentingan segelintir elite?

Puisi ini mungkin tidak memberikan jawaban langsung, tetapi ia berhasil mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting yang seharusnya menjadi bahan refleksi bagi semua pihak, baik rakyat biasa maupun para penguasa.

Sebagai karya sastra yang sarat makna, “Seandainya Rakyat Punya Senjata” bukan hanya sekadar tulisan, tetapi juga panggilan untuk kesadaran sosial yang lebih dalam. Rakyat mungkin tidak memiliki senjata, tetapi mereka memiliki suara—dan suara itu, jika digunakan dengan benar, bisa menjadi kekuatan yang lebih besar daripada peluru.

Foto: Yusuf Blegur (IST)

Komentar