RUU Polri Dwifungsi Gaya Baru?

- Senin, 24 Maret 2025 | 08:50 WIB
RUU Polri Dwifungsi Gaya Baru?


RAPAT Paripurna DPR pada Mei 2024 secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) sebagai usul inisiatif DPR. Namun, alih-alih menjadi langkah reformasi kepolisian yang transparan dan profesional, RUU ini justru menuai kritik tajam karena berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga “superbody” dengan kewenangan yang tak terkendali.

Sejumlah pasal dalam rancangan tersebut dinilai mengarah pada perluasan kewenangan kepolisian secara berlebihan (excessive power) tanpa disertai mekanisme pengawasan yang kuat. Ironisnya, RUU ini justru mengabaikan berbagai problem mendasar dalam tubuh Polri, termasuk lemahnya akuntabilitas, maraknya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang selama ini kerap terjadi.

Polisi atau Negara dalam Negara?

Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga negara telah lama mengkritisi tren otoritarianisme dalam institusi kepolisian. Data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan bahwa dalam periode 2020–2024, terdapat ribuan kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Sepanjang Juli 2020–Juni 2021 saja, tercatat 651 kasus, yang meningkat menjadi 677 kasus pada periode berikutnya.

Bentuk pelanggaran yang dilakukan kepolisian pun beragam, mulai dari penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing). Fakta ini diperkuat oleh laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang mencatat 67 kasus kematian akibat extrajudicial killing sepanjang 2019, serta 130 kasus lainnya yang mencakup kriminalisasi, salah tangkap, hingga intimidasi terhadap masyarakat sipil.

Data Komnas HAM juga menunjukkan bahwa Polri secara konsisten menjadi institusi negara yang paling banyak dilaporkan terkait pelanggaran HAM. Pada tahun 2023, tercatat 771 pengaduan terhadap Polri dari total 2.753 kasus yang masuk ke Komnas HAM. Laporan Ombudsman RI dalam empat tahun terakhir pun mengonfirmasi tren serupa, di mana Polri menempati peringkat teratas sebagai lembaga negara dengan laporan maladministrasi tertinggi.

Dengan berbagai catatan hitam tersebut, publik kini mempertanyakan: Apakah RUU Polri ini akan memperbaiki institusi kepolisian atau justru melanggengkan impunitas dan memperkuat dominasi Polri dalam struktur kekuasaan negara?

Kewenangan Tanpa Batas

Salah satu pasal kontroversial dalam RUU Polri adalah Pasal 16 Ayat (1) Huruf (q), yang memberikan Polri kewenangan luas dalam pengawasan ruang siber, termasuk pemblokiran dan pembatasan akses internet. Sejarah mencatat bahwa pembatasan akses internet pernah digunakan untuk meredam kritik dan aksi protes masyarakat, seperti yang terjadi di Papua pada 2019. Jika kewenangan ini disahkan tanpa kontrol yang jelas, maka kebebasan berekspresi di era digital berisiko dikekang atas nama “keamanan nasional”

Tidak hanya itu, RUU Polri juga memperluas kewenangan intelijen kepolisian secara drastis. Melalui Pasal 16A, Polri diberikan hak untuk melakukan “penggalangan intelijen,” sebuah tindakan yang bertujuan mempengaruhi individu atau kelompok demi kepentingan tertentu. Padahal, di negara demokratis, fungsi intelijen umumnya dibatasi pada lembaga khusus seperti BIN atau BAIS.

Sementara itu, Pasal 16B memungkinkan kepolisian melakukan “penangkalan dan pencegahan” terhadap aktivitas yang dianggap mengancam kepentingan nasional—suatu istilah yang multitafsir dan rentan disalahgunakan untuk membungkam oposisi atau kelompok kritis terhadap pemerintah.

Parahnya lagi, RUU ini juga memberikan kewenangan penyadapan kepada Polri tanpa mekanisme izin pengadilan yang jelas, berbeda dengan KPK yang wajib memperoleh izin dari Dewan Pengawas sebelum melakukan penyadapan. Dengan kewenangan sebesar ini, Polri berpotensi menjadi alat politik yang dapat digunakan untuk mengawasi, mengintimidasi, dan bahkan mengkriminalisasi siapa saja yang dianggap mengganggu stabilitas kekuasaan.

Dwifungsi Gaya Baru?

RUU Polri ini juga dikhawatirkan membuka jalan bagi kebangkitan “dwifungsi” dalam institusi keamanan, di mana Polri tidak hanya berperan sebagai aparat penegak hukum, tetapi juga sebagai aktor politik yang dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan. Dengan semakin luasnya kewenangan dalam bidang intelijen, pengawasan digital, serta pengendalian kebebasan sipil, Polri dapat dengan mudah dimanfaatkan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, prinsip checks and balances antara lembaga negara harus dijaga agar tidak ada satu institusi pun yang memiliki kekuatan absolut. Namun, alih-alih merancang mekanisme pengawasan yang lebih ketat terhadap Polri, RUU ini justru memperbesar kewenangan tanpa diimbangi dengan kontrol publik yang memadai.

Jika RUU ini disahkan tanpa revisi yang signifikan, maka Indonesia berisiko mengalami kemunduran demokrasi dengan semakin besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan di tubuh Polri. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang berupaya membangun institusi penegak hukum yang transparan, profesional, dan akuntabel.

Reformasi Polri yang Sebenarnya

Dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, Polri adalah alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, melindungi masyarakat, serta menegakkan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat).

Oleh karena itu, revisi terhadap UU Polri seharusnya berfokus pada: Pertama, penguatan mekanisme pengawasan. Membangun sistem kontrol yang ketat terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh aparat kepolisian.

Kedua, membatasi kewenangan intelijen dan penyadapan guna memastikan bahwa tindakan intelijen dan penyadapan dilakukan dengan izin pengadilan dan dalam batasan hukum yang jelas.

Ketiga, memperjelas batasan wewenang di ruang siber guna mencegah kepolisian menjadi alat sensor yang dapat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Keempat, menjamin hak asasi manusia guna memastikan bahwa RUU ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia.

Tanpa perbaikan fundamental, RUU Polri ini hanya akan memperkuat kekuasaan tanpa batas dan berpotensi menjadikan kepolisian sebagai alat represif negara. Jika ini terjadi, maka reformasi yang diperjuangkan selama lebih dari dua dekade akan sia-sia, dan Indonesia bisa kembali ke era otoritarianisme dalam wajah baru.

Sekarang saatnya publik bersuara. Apakah kita akan membiarkan RUU ini melenggang tanpa kritik, atau justru menuntut revisi demi kepentingan demokrasi yang sehat? rmol.id

Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla
Penulis adalah pemerhati masalah kebangsaan
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini