Mayor Tedy dan Karpet Merah yang Terlalu Licin

- Kamis, 20 Maret 2025 | 04:00 WIB
Mayor Tedy dan Karpet Merah yang Terlalu Licin



OLEH: PAUL EMES
DALAM sejarah militer Indonesia, kenaikan pangkat dan jabatan adalah sesuatu yang setidaknya dalam buku aturan harusnya melewati mekanisme ketat berbasis prestasi, pengalaman, dan kecakapan tempur. 

Tapi, tentu saja, aturan hanyalah dekorasi jika yang berbicara adalah kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.


Mayor Teddy, seorang perwira yang lebih dikenal sebagai ajudan seorang calon presiden, tiba-tiba meroket bak roket uji coba. Pangkatnya melesat menjadi Letnan Kolonel dalam waktu yang membuat banyak perwira lain yang bertahun-tahun berkeringat di medan tempur hanya bisa mengelus dada.

Dan sebagai klimaks dari drama pangkat ekspres ini, ia kini duduk di kursi Sekretaris Kabinet, sebuah jabatan sipil setingkat menteri yang, dalam dunia normal, seharusnya tak bisa ditempati seorang prajurit aktif.

Tapi ini bukan dunia normal. Ini adalah dunia di mana aturan dibuat untuk dilanggar, asal yang melanggar adalah penguasa dan orang dalam.

Bayangkan perasaan para prajurit yang menghabiskan hidupnya di medan pertempuran, bertaruh nyawa di hutan-hutan Papua atau pegunungan perbatasan, hanya untuk melihat seorang ajudan melompat lebih cepat dari bayangan mereka. Bukan karena kepahlawanan, bukan karena kemenangan di garis depan, tapi karena kedekatan dengan penguasa.

Dulu, ada nama-nama seperti Jenderal Benny Moerdani, seorang legenda pasukan khusus yang lebih memilih berkubang di lumpur pertempuran ketimbang duduk nyaman di balik meja istana kekuasaan. Ia bahkan menolak menjadi ajudan presiden Soekarno setelah menuntaskan pendidikan tempurnya di Amerika. Baginya, seorang prajurit sejati bukanlah pelayan politisi, melainkan pelindung negara di garis depan palagan.

Kini, nilai-nilai itu tampaknya sudah dikubur. Seorang lulusan pasukan khusus kini lebih dihargai karena keterampilan “buka tutup pintu” di istana ketimbang “buka tutup pertempuran” di garis depan.

Menurut Undang-Undang TNI, seorang prajurit aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil tanpa lebih dulu pensiun atau diberhentikan dari dinas militer. Tapi, seperti yang kita lihat, aturan ini hanyalah aksesoris. Jika penguasa ingin seseorang naik jabatan, maka hukum cukup ditekuk sedikit, atau kalau perlu, dipatahkan sekalian.

Pantas saja pengamat politik sampai kehabisan kata-kata selain “tak tahu diri dan tak tahu malu”.

Bayangkan jika sistem seperti ini terus dibiarkan. Jangankan bermimpi menjadi pemimpin di medan perang, prajurit muda mungkin lebih tertarik menjadi ajudan politisi, pejabat elit, berharap suatu hari bisa melompat ke kursi kekuasaan dengan jalur pintas.

Dulu, prajurit seperti Benny Moerdani atau bahkan Prabowo Subianto mengukir sejarah dengan darah dan keringat di medan tempur. Kini, Mayor Teddy mengukir sejarah dengan protokol dan privilege.

Dan begitulah negeri ini dikendalikan dengan cara suka-suka. 

(Penulis adalah pemerhati kebijakan publik)

Komentar