Pemimpin Geng Paling Kejam Ini Jadi Lembut setelah Mendengar Adzan dan Masuk Islam

- Rabu, 19 Maret 2025 | 14:55 WIB
Pemimpin Geng Paling Kejam Ini Jadi Lembut setelah Mendengar Adzan dan Masuk Islam


PARADAPOS.COM -
 SEORANG mantan pemimpin brandal yang kini telah berganti nama menjadi Abdul Aziz bercerita bagaimana suara adzan telah membawanya mengenal Islam dan menjadi sosol lebih baik. Inilah kisahnya.

Saya adalah seorang pemimpin geng selama lebih dari satu dekade. Saya memimpin geng di Bronx, Queens, dan Brooklyn. Dunia saya dipenuhi kekerasan—perampokan bersenjata, perang geng, dan berbagai tindakan kriminal lainnya.

Saya lahir di Brooklyn, New York, dan tumbuh besar di Bronx pada awal 80-an. Lingkungan saya keras, dipenuhi oleh geng dan kekerasan.

Saya tidak memiliki figur ayah dan ibu —Ayah meninggal ketika saya baru berusia tiga minggu. Ibu saya pergi meninggalkan saya dalam asuhan nenek.

Sejak kecil, saya tumbuh tanpa sosok ibu maupun ayah di rumah. Tidak ada panutan laki-laki yang membimbing saya.

Saya tumbuh tanpa jawaban atas pertanyaan mendasar tentang diri saya.

Tanpa cinta dan bimbingan di rumah, saya mencari tempat bersandar, dan di terima di komunitas jalanan. Komunitas geng menjadi keluarga saya.

Sejak itu hidup habis dalam dunia kriminal—menjual narkoba, melakukan perampokan bersenjata, dan perang geng— membua saya pernah ditembak, ditusuk, diserang berkali-kali.

Meski demikian saya terus menjalani kehidupan itu karena saya pikir itulah satu-satunya jalan.

Di jalanan, saya menghadapi banyak situasi berbahaya. Pernah suatu kali saya terpojok dan ditembak, tetapi peluru meleset.

Di lain waktu, seorang pria menodongkan pistol ke kepala saya dan menarik pelatuknya, namun pistol itu gagal meletus. Saya sudah berkali-kali nyaris kehilangan nyawa.

Saya pernah disergap, dikeroyok, dan dilarikan ke rumah sakit. Hidup saya selalu dalam kejaran. Namun, saat itu, saya sama sekali tidak takut mati.

Hidup di jalanan membentuk saya—tanpa bimbingan, tanpa arah. Saya memang ditakuti, tetapi apakah itu benar-benar memuaskan saya?

Dalam dunia geng, satu hal yang paling penting adalah rasa takut. Saya melakukan segala cara agar orang takut kepada saya—merampok pengedar narkoba, menembaki musuh, memicu pertarungan.

Saya ingin dikenal sebagai seseorang yang tak bisa disentuh. Ketika saya dan geng saya berjalan ke suatu tempat, orang-orang pada menyingkir.

Saat itu kami menguasai jalanan, dan saya menikmati kekuasaan itu. Saya menikmati kekacauan yang kami ciptakan sendiri.

Namun, semakin lama, saya mulai merasakan kehampaan. Semua itu terasa hampa. Hingga akhirnya, dalam keterpurukan.

Pemberontakan Agama


Seperti yang diajarkan kepada saya sejak kecil, di sinilah kontradiksi mulai muncul. Ajaran-ajaran Ibu sejak kecil kadang melintas dipikiran saya.

Yesus dikatakan sebagai Anak Tuhan, tetapi di saat yang sama juga disebut sebagai Tuhan. Saya dihadapkan pada dilema—harus memilih satu di antara keduanya.

Namun, tidak hanya itu yang membingungkan. Konsep Trinitas semakin menambah kerumitan: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Jika ada Bapa dan Anak, lalu sekarang ada Roh juga?

Di sinilah pertentangan mulai muncul dalam pikiran saya. Akibatnya saya mulai memberontak terhadap agama, hingga mencapai titik di mana saya benar-benar tidak percaya pada keberadaan pencipta.

Saya tidak percaya pada Tuhan. Jika Tuhan ada, mengapa saya harus mengalami penderitaan ini?

Saya marah. Saya bahkan mengutuk Tuhan. Saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu saya membunuh ayah saya, lalu menghilang begitu saja. Hidup saya terasa hampa. Saya meragukan segala sesuatu, termasuk keberadaan Sang Pencipta.

Saya mulai berpikir bahwa saya sendirilah pencipta takdir saya. A’udhubillah, saya bertindak seolah tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari diri saya sendiri.

Karena saya merasa muda, penuh amarah, dan merasa tidak membutuhkan siapa pun. Saat itu saya berusia sekitar 18 atau 19 tahun.

Dalam hidup saya, tidak ada tempat untuk kelemahan. Saya ingin dikenal sebagai sosok yang ditakuti.

Saya mulai berpikir bahwa sayalah penguasa hidup saya, sang kreator. Saya pernah bersumpah, “Saya tidak akan pernah menjadi Muslim. Saya tidak akan pernah menundukkan wajah saya ke tanah (sujud, red).”

Tertangkap Polisi


Hidup yang saya jalani dahuku adalah satu-satunya kehidupan yang saya tahu. Saya menikmatinya, bukan karena hal itu benar, tetapi karena saya tidak mengenal kehidupan lain.

Bagaimana dengan agama? Saat itu, agama tidak memiliki arti dalam hidup saya. Apa yang diajarkan kepada saya tidak pernah saya terima.

Selain memiliki geng di Bronx, Queens, dan Brooklyn, saya juga terhubung dengan jaringan geng di Manhattan, Jersey, Philadelphia, dan Connecticut.

Mereka semua adalah bagian dari dunia saya—dunia yang saya ciptakan dengan kekerasan dan ketakutan. Ketika kami mengadakan pertemuan, mereka datang dari berbagai penjuru, siap untuk menjalankan perintah saya.

Kekacauan selalu memberi saya kepuasan sebagai ‘Raja Jalanan’. Namun, ketika malam tiba dan saya benar-benar merasa sendirian dan kekosongan.

Setiap pagi, saya terbangun untuk mengisi kekosongan itu lagi—seperti mobil yang kehabisan bensin dan harus terus diisi ulang. Begitu hari dimulai, saya kembali tenggelam dalam kekacauan, merasa tak tersentuh, merasa berkuasa.

Di siang hari, semuanya terasa memuaskan. Orang-orang takut, dan saya merasa seperti penguasa dunia saya sendiri.

Tapi di malam hari, kesunyian berbicara. Ada sesuatu yang salah. Jiwa saya berontak, dan jauh di dalam hati, saya tahu saya berada di jalan yang keliru.

Hingga suatu hari, dalam sebuah perampokan terhadap seorang pengedar narkoba, saya ditangkap polisi. Sejak itu hidup saya berubah drastis.

Ketika akhirnya saya ditangkap, saya tidak melawan. Polisi menangkap saya hanya beberapa jam sebelum saya berencana mengakhiri hidup saya.

Penjara mengubah segalanya. Semua hal yang dulu saya gunakan untuk melarikan diri—narkoba, alkohol, pesta, dan kekerasan—berhenti seketika.

Saya tidak bisa lagi menghindari kenyataan. Saya terjebak dalam pikiran saya sendiri, dipaksa untuk merenung. Dan di sanalah, dalam keterasingan itu, saya mulai melihat segalanya dengan lebih jernih.

Dari Kegelapan Menuju Cahaya


Saya mulai mencari jawaban. “Pasti ada sesuatu yang lebih besar dari semua ini.”

Saya menyadari bahwa penciptaan tidak bisa terjadi begitu saja tanpa tujuan. Lalu saya mendengar adzan. Suaranya begitu indah, menggema di dalam hati saya.

Saya menangis saat mendengar adzan berkumandang. Itu bukan sekadar panggilan untuk berdoa, tetapi juga panggilan yang membangunkan saya.

Seolah-olah Tuhan sedang mencari saya, mengajak saya untuk kembali kepada-Nya. Seolah-olah itu adalah jawaban yang selama ini saya cari.

Saat itu, saya menunggu seorang saudara di asrama untuk kembali. Ketika dia tiba, saya langsung bertanya, karena awalnya saya mengira adzan adalah sebuah lagu. Karena suaranya begitu indah, terdengar seperti lantunan melodi.

Saya bertanya, “Lagu apa itu yang berasal dari masjid?”

Dia tersenyum dan menjawab, “Itu bukan lagu. Itu adzan.”

Saya penasaran. “Adzan? Apa itu?”

Dia menjelaskan, “Itu panggilan untuk shalat, panggilan untuk memberi tahu bahwa waktu shalat telah tiba.”

Saya belum pernah mendengar sesuatu seperti itu sebelumnya. Lalu dia berkata, “Coba saya tebak, kamu tidak pernah punya waktu untuk belajar dari orang lain, bukan?”

Saya mengangguk. “Benar.”

Namun, masih banyak pertanyaan dalam benak saya. Salah satunya, “Mengapa ada lebih dari satu Tuhan?”

“Tidak, tidak ada lebih dari satu Tuhan. Yang ada hanya ada satu Tuhan.”

Rupanya Islam memberikan jawaban yang jelas dan tegas. Saat mendengar itu, saya berpikir, “Wow, inilah yang saya cari,” katanya dalam sebuah wawancara di Kanal YouTube Towards Eternity, Agustus 2024.

Tidak ada konsep Yesus sebagai Anak Tuhan dalam Islam, tetapi yang ada keyakinan bahwa Yesus (Isa) adalah nabi dan utusan Allah. Rupanya hal itu bisa saya terima.

Ketika saya pindah ke bagian utara, saya kembali bertanya, “Mengapa Anda hanya berdoa pada hari Ahad?”

Jawabannya mengejutkan saya, “Tidak, kami berdoa 5 kali sehari.”

Lima kali sehari dalam sehari. Saya berpikir, “Ini masuk akal.”

Tidak seperti yang saya lihat sebelumnya, di mana seseorang bisa berpesta dari Senin hingga Sabtu, lalu pergi ke gereja pada hari Minggu untuk mendapatkan pengampunan atas semua dosa yang telah dilakukan. “Itu tidak masuk akal bagi saya.”

Itulah sebabnya saya memberontak terhadap agama yang dulu, hingga akhirnya menemukan kebenaran Islam.

Islam mengajarkan bahwa ini adalah agama terakhir yang dikirimkan. Manusia selalu berbuat kesalahan, dan para nabi diutus untuk membimbing mereka.

Nabi Muhammad ﷺ adalah nabi terakhir, utusan terakhir yang membawa petunjuk. Saat itu, saya merasa seperti menemukan jawaban yang selama ini saya cari.

Islam menyelamatkan saya—mencegah saya masuk lebih dalam ke dunia gelap, menjauhkan saya dari penjara, dan membimbing saya ke jalan yang lebih baik.

Sejak saya mengenl Islam, saya berhenti minum, berhenti menggunakan narkoba, dan mulai menjalani hidup yang lebih baik.

Bagaimana perasaan saya?


Saya merasa luar biasa. Seperti memulai hidup baru. Saya diberitahu bahwa Islam menghapus semua dosa masa lalu. “Itu adalah hal terindah yang pernah saya dengar.”

Saya dulu berpikir bahwa dosa saya tak terampuni. Saya percaya bahwa pembunuhan adalah dosa yang tidak bisa dihapus.

Namun, Islam mengajarkan bahwa ada ampunan bagi siapa pun yang benar-benar bertobat.

Sejak mengenal Islam, saya mulai pergi ke masjid, dan dari sana, “Alhamdulillah, saya memeluk Islam dengan sepenuh hati dan mengucapkan syahadat.”

Duli, sebelum mengenak Islam,  saya tidak bisa langsung mengadu pada Tuhan. Ibarat ingin membeli mobil dari seseorang, mengapa saya harus berbicara kepada orang lain untuk menyampaikannya? Mengapa saya tidak bisa berbicara langsung untuk membelinya?

Itulah yang selalu hilang dalam hidup saya—hubungan langsung dengan Sang Pencipta. Dan pencarian itu membawa saya kepada kebenaran yang akhirnya mengubah segalanya.

Saat mengenal Islam keangkuhanku yang dulu kembali muncul, bahwa saya pernah berjanji, “Saya tidak akan pernah menjadi seorang Muslim. Saya tidak akan pernah menundukkan wanjah saya ke tanah.”

Namun, akhirnya, Islamlah yang membuka mata saya. Saya tertarik pada Islam saat saya masuk penjara dan setelah keluar (penjara), hidup saya telah berubah selamanya.*

Sumber: hidayatullah

Komentar