Novum Baru: Angkat Bambang Tri Mulyono Menjadi Tokoh Pembela Kebenaran - Hukum Mati Jokowi?

- Senin, 17 Maret 2025 | 17:05 WIB
Novum Baru: Angkat Bambang Tri Mulyono Menjadi Tokoh Pembela Kebenaran - Hukum Mati Jokowi?


Novum Baru: Angkat Bambang Tri Mulyono Menjadi Tokoh Pembela Kebenaran - 'Hukum Mati Jokowi?'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Munculnya novum baru terkait dugaan pemalsuan ijazah S1 Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh Presiden Joko Widodo kembali mengguncang opini publik dan menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai kebenaran dokumen akademik orang nomor satu di Indonesia tersebut. 


Fakta baru yang mengindikasikan adanya kejanggalan dalam ijazah Jokowi berpotensi mengubah jalannya hukum, khususnya terkait dengan nasib Bambang Tri Mulyono, orang yang pertama kali secara lantang menuduh pemalsuan tersebut namun justru dijebloskan ke dalam penjara.


Meninjau Kembali Kasus Bambang Tri Mulyono

Bambang Tri Mulyono dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan menyebarkan berita bohong terkait ijazah Jokowi. 


Dalam konstruksi hukum yang digunakan oleh aparat, tuduhannya dianggap sebagai hoaks yang mencemarkan nama baik presiden. 


Namun, jika novum baru benar-benar membuktikan bahwa ijazah tersebut memang tidak sah, maka skenario hukum yang terjadi sebelumnya layak untuk dievaluasi ulang.


Dalam prinsip hukum, keberadaan novum dapat menjadi alasan kuat untuk peninjauan kembali (PK) atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 


Jika Bambang Tri bisa membuktikan bahwa tuduhannya bukanlah kebohongan, melainkan upaya mencari kebenaran, maka vonis terhadap dirinya dapat dibatalkan. 


Lebih jauh lagi, pertanyaan lebih besar akan muncul: siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus ini?


Opsi Hukum: Menyeret Jokowi ke Ranah Hukum

Jika terbukti bahwa ijazah tersebut memang palsu, maka implikasi hukumnya sangat serius. 


Pertama, Jokowi dapat didakwa atas dugaan pemalsuan dokumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. 


Kedua, hal ini akan mengguncang legitimasi seluruh jabatan yang pernah diembannya, termasuk sebagai Presiden Republik Indonesia. 


Ketiga, jika pemalsuan tersebut benar adanya, maka pihak yang mengesahkan dokumen palsu tersebut juga harus dimintai pertanggungjawaban.


Namun, di Indonesia, hukum sering kali berjalan secara politis. Meskipun ada bukti baru, tidak serta-merta proses hukum terhadap seorang presiden yang sedang menjabat atau telah purna tugas bisa berjalan tanpa tekanan politik. 


Kasus ini bisa saja berhenti di tengah jalan jika tidak ada keberanian dari aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya.


Bambang Tri Mulyono: Dari Narapidana Menjadi Tokoh Pembela Kebenaran?

Jika tuduhan yang selama ini dia lontarkan ternyata benar, maka publik dapat melihat Bambang Tri bukan sebagai penyebar hoaks, melainkan sebagai seseorang yang berani membongkar kebohongan besar. 


Dalam sejarah, tidak sedikit orang yang awalnya dicap sebagai penyebar fitnah justru di kemudian hari diakui sebagai pejuang kebenaran. 


Dalam konteks ini, Bambang Tri bisa dianggap sebagai simbol perjuangan melawan kebohongan yang mengakar dalam sistem kekuasaan.


Jika Bambang Tri akhirnya dibebaskan dan rehabilitasi nama baiknya dilakukan, ia bisa menjadi ikon perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan oleh penguasa. 


Namun, mengingat kondisi politik di Indonesia, kemungkinan besar negara akan berusaha menekan atau membungkam kasus ini agar tidak berkembang lebih luas.


Kesimpulan


Dengan adanya novum baru terkait dugaan pemalsuan ijazah Jokowi, peluang bagi Bambang Tri Mulyono untuk mendapatkan keadilan semakin terbuka. 


Jika hukum benar-benar ditegakkan tanpa intervensi politik, maka dua hal besar bisa terjadi: Bambang Tri dibebaskan dan Jokowi beserta pihak-pihak yang terlibat dalam pemalsuan ijazahnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. 


Namun, realitas politik dan hukum di Indonesia masih menjadi faktor penentu apakah kebenaran ini akan benar-benar ditegakkan atau justru kembali ditutupi oleh kepentingan kekuasaan. 


Saat ini, pertarungan antara keadilan dan kepentingan politik masih terus berlangsung, dan publik hanya bisa berharap bahwa kebenaran akhirnya akan menang.


***


Sumber: FusilatNews

Komentar