Ketika Rektor UGM Dituntut Atas Keterangan Palsu: 'Sebuah Gagasan Yang Layak Diuji?'
Di tengah polemik politik yang semakin panas, muncul sebuah gagasan yang cukup berani: Bagaimana jika Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) dilaporkan atas dugaan pemberian keterangan palsu terkait status Jokowi sebagai alumnus UGM?
Ide ini bukan sekadar provokasi, tetapi refleksi atas rasa frustrasi publik terhadap sistem hukum yang tampak tak berdaya menghadapi kekuasaan.
Jika Jokowi kini benar-benar “kebal hukum”, baik secara de facto maupun de jure, maka mereka yang terlibat dalam membangun narasi tentang dirinya harus siap bertanggung jawab atas pernyataan yang telah mereka buat.
Di sini, Rektor UGM—sebagai sosok yang mengesahkan status akademik Jokowi—bisa menjadi sasaran utama jika ada indikasi manipulasi data atau ketidaksesuaian fakta yang disampaikan ke publik.
Apakah Ada Dasar Hukum untuk Melaporkan Rektor UGM?
Pasal 242 KUHP tentang pemberian keterangan palsu di bawah sumpah bisa menjadi rujukan dalam kasus ini.
Jika terbukti bahwa keterangan tentang kelulusan Jokowi dari UGM tidak didukung oleh bukti yang sah, maka secara teori, ada peluang hukum untuk mempersoalkan pernyataan tersebut.
Namun, tantangan utamanya adalah membuktikan bahwa rektor (baik yang menjabat saat ini atau sebelumnya) dengan sengaja memberikan informasi yang keliru, bukan sekadar kelalaian administratif.
Di sisi lain, UGM sebagai institusi tentu memiliki rekam akademik yang seharusnya dapat diverifikasi. Jika ada celah, misalnya ketidaksesuaian antara dokumen akademik dan klaim publik, maka ini bisa membuka ruang bagi gugatan hukum.
Implikasi Politik dan Hukum
Menggugat Rektor UGM bisa menjadi preseden menarik dalam dinamika politik dan hukum di Indonesia.
Jika laporan semacam ini diajukan dan diproses, itu akan membuktikan bahwa masih ada ruang bagi supremasi hukum untuk menelusuri keabsahan klaim akademik para pemimpin bangsa.
Namun, kenyataannya, dengan kondisi politik saat ini, langkah tersebut bisa saja dimentahkan oleh kekuatan politik yang melindungi Jokowi dan para pendukungnya.
Jika Jokowi benar-benar kebal hukum, maka siapapun yang berada dalam lingkarannya juga bisa mendapatkan perlindungan serupa.
Di sisi lain, jika langkah ini berhasil, bukan hanya rektor yang harus bertanggung jawab, tetapi juga sistem pendidikan tinggi Indonesia yang perlu diaudit ulang.
Kasus ini bisa membuka tabir atas berbagai kemungkinan penyimpangan akademik lainnya, bukan hanya terkait Jokowi tetapi juga figur-figur lain yang pernah atau sedang berkuasa.
Kesimpulan: Gagasan Berani yang Layak Dicoba
Meskipun gagasan melaporkan Rektor UGM atas dugaan pemberian keterangan palsu terdengar radikal, ia merupakan respons yang logis terhadap ketimpangan hukum yang terjadi saat ini.
Jika hukum benar-benar masih berlaku untuk semua warga negara tanpa kecuali, maka tidak ada salahnya menguji gagasan ini.
Namun, apakah ini akan membuahkan hasil? Itu tergantung pada sejauh mana integritas sistem hukum kita masih bisa ditegakkan, atau justru semakin tunduk di bawah bayang-bayang kekuasaan.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Gibran Curhat Pernah Disuruh Angkat Meja dan Kursi oleh Senior Hipmi
Tangis Keluarga Pecah saat Jenazah 3 Polisi yang Gugur Ditembak Tiba di RS Bhayangkara Lampung
Gawat, Ada Dugaan Korupsi PT Pupuk Indonesia, Negara Rugi Rp 8,3 Triliun
Aktor Mat Solar Meninggal Dunia