Aktivis Politik: Deddy Corbuzier Hanya Penjilat dan Tak Punya Kapasitas Keilmuan Bahas RUU TNI

- Senin, 17 Maret 2025 | 10:45 WIB
Aktivis Politik: Deddy Corbuzier Hanya Penjilat dan Tak Punya Kapasitas Keilmuan Bahas RUU TNI


Kontroversi seputar Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali memanas setelah pernyataan keras dari aktivis politik Rahman Simatupang. Ia menuding Deddy Corbuzier sebagai sosok yang hanya menjadi penjilat dan tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam membahas RUU tersebut.

Rahman Simatupang mengungkapkan bahwa komentar Deddy yang menyebut aksi sejumlah aktivis, termasuk dari KontraS, sebagai tindakan anarkis dan ilegal adalah bentuk ketidaktahuannya terhadap substansi yang lebih dalam. “Yang anarkis justru adalah anggota Komisi I DPR yang membahas RUU TNI secara tertutup dan tanpa transparansi. Mereka yang sebenarnya melanggar semangat reformasi,” tegas Rahman kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (17/3/2025).

RUU TNI menuai kontroversi karena beberapa ketentuannya dinilai melanggar prinsip reformasi TNI yang telah disusun sejak era Reformasi 1998. Salah satu poin utama yang dipersoalkan adalah usulan agar perwira aktif TNI dapat mengisi posisi di lembaga sipil. Hal ini dianggap bertentangan dengan semangat supremasi sipil dalam demokrasi serta berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang pernah dikritik pada era Orde Baru.

Para pengkritik RUU ini, termasuk akademisi, aktivis hak asasi manusia, serta kelompok masyarakat sipil, menilai bahwa keterlibatan militer aktif dalam jabatan sipil akan memperburuk dinamika sipil-militer dan berpotensi mengancam demokrasi. “TNI adalah alat pertahanan negara, bukan alat politik. Jika mereka kembali masuk ke birokrasi sipil, kita mundur ke era sebelum reformasi,” ujar Rahman Simatupang.

Deddy Corbuzier, seorang figur publik yang memiliki pengaruh besar melalui podcast-nya, ikut bersuara dalam perdebatan ini. Ia mengkritik tindakan para aktivis yang menerobos rapat RUU TNI sebagai tindakan yang tidak beretika. Namun, kritik terhadap Deddy muncul karena dianggap tidak memahami konteks permasalahan yang lebih luas.

“Deddy hanya melihat dari permukaan. Ia punya platform besar, tetapi tidak memiliki dasar akademik atau pengalaman di bidang hukum, militer, atau kebijakan publik untuk berbicara soal ini,” tambah Rahman. Menurutnya, pendapat Deddy cenderung membela pemerintah dan pihak militer tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap demokrasi di Indonesia.

RUU TNI yang kini sedang dibahas di DPR sejatinya memiliki beberapa poin yang mengkhawatirkan. Selain masalah perwira aktif di lembaga sipil, ada juga kekhawatiran terkait peningkatan kewenangan TNI dalam menangani ancaman dalam negeri. Beberapa pasal dalam RUU ini dinilai dapat memberikan legitimasi lebih besar kepada TNI untuk ikut campur dalam ranah sipil, yang seharusnya menjadi tanggung jawab kepolisian dan lembaga sipil lainnya.

Rahman menilai bahwa tanpa adanya pengawasan sipil yang kuat, perluasan kewenangan TNI dapat membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan. “Sejarah mencatat, ketika militer diberi ruang terlalu besar dalam ranah sipil, yang terjadi adalah pengikisan demokrasi dan meningkatnya represi terhadap masyarakat sipil,” kata Rahman.

Kontroversi seputar RUU TNI bukan sekadar masalah perdebatan opini, tetapi menyangkut arah demokrasi Indonesia ke depan. Kritik yang dilontarkan aktivis seperti Rahman Simatupang terhadap Deddy Corbuzier mencerminkan keresahan banyak pihak terhadap kurangnya pemahaman mendalam dari figur publik yang memiliki pengaruh luas. Sementara itu, DPR dan pemerintah harus memastikan bahwa RUU ini tidak menjadi alat untuk mengembalikan peran militer ke ranah sipil secara berlebihan.

Sebagai bangsa yang telah melewati berbagai fase reformasi, Indonesia perlu menjaga keseimbangan antara kekuatan militer dan supremasi sipil. Jika tidak, ada risiko bahwa reformasi TNI yang telah diperjuangkan sejak 1998 akan mengalami kemunduran yang signifikan.

Staf Khusus Menteri Pertahanan Deddy Corbuzier angkat bicara seputar aksi sejumlah aktivis yang menggeruduk rapat pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont pada akhir pekan lalu.

Menurut Deddy, sekelompok orang tak dikenal dengan cara berteriak-teriak hingga telah mencoba menerobos ruang rapat secara paksa.

“Bagi kami gangguan yang terjadi sudah mengarah pada sebuah tindak kekerasan anarkis,” ujar dalam keterangan video beredar, Ahad (16/3/2024).

Kemenhan, kata Deddy, akan selalu menghargai menghormati dan mempertimbangkan segalam macam bentuk kritik dan masukan dari mana pun. Namun, yang terjadi kemarin bukan merupakan kritik yang membangun tapi sebuah tindakan ilegal dan melanggar hukum.

“Ilegal dan melanggar hukum, dan mengancam sebuah proses demokrasi,” kata pria bernama lengkap Deodatus Andreas Deddy Cahayadi Sunjoyo itu.

Deddy menjelaskan rapat di hotel pada akhir pekan lalu resmi konstitusional dan tidak lagi membahas hal-hal seperti dwifungsi TNI. Bahkan, kata ia, Menhan telah berkali-kali menegaskan bahwa dwifungi TNI itu sudah dikubur sejak dulu dan arwahnya sudah tidak ada.

“Bahkan jasadnya juga sudah tidak ada,” katanya.

Foto: Deddy Corbuzier (IST)

Komentar