Sidang Perdana Hasto Kristiyanto, Dakwaan KPK Ungkap Peran Lindungi Harun Masiku

- Sabtu, 15 Maret 2025 | 03:30 WIB
Sidang Perdana Hasto Kristiyanto, Dakwaan KPK Ungkap Peran Lindungi Harun Masiku


PARADAPOS.COM - Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristianto, telah menjalani sidang perdana dugaan korupsi Harun Masiku pada Jumat (14/3/2025).

Dalam agenda pembacaan dakwaan tersebut, sejumlah tuduhan serius dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap terkait Hasto dan keterlibatannya dalam kasus yang telah berlanjut sejak 2019.

Hasto didakwa telah melakukan sejumlah tindakan untuk menghalangi penyidikan terkait kasus korupsi pergantian antar-waktu (PAW) Anggota DPR RI.

"Dengan sengaja telah melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku," ungkap jaksa dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Dalam pembacaan dakwaan, jaksa menyoroti tindakan Hasto yang diduga memerintahkan Nur Hasan untuk meminta Harun Masiku merendam telepon genggamnya ke dalam air.

Perintah ini disampaikan setelah KPK melakukan tangkap tangan terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, pada 8 Januari 2020.

Pasalnya, Harun Masiku diketahui tengah dikejar oleh tim penyidik KPK dalam penyelidikan kasus suap PAW DPR RI.

Perintahkan sembunyi ke Kantor DPP PDI-P

Tak hanya itu, Hasto juga diduga meminta Harun untuk bersembunyi di Markas Partai.

Jaksa menjelaskan, tujuan tindakan itu adalah agar Harun tidak terdeteksi oleh petugas KPK.

"Terdakwa memerintahkan Harun Masiku untuk menunggu (stand by) di Kantor DPP PDI Perjuangan dengan tujuan agar keberadaannya tidak bisa diketahui oleh Petugas KPK," ujarnya.

Dari investigasi yang dilakukan oleh tim KPK, diketahui bahwa Harun Masiku kemudian bertemu dengan Nur Hasan di Hotel Sofyan Cikini, sebelum berpindah ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

"Namun, ketika petugas KPK mendatangi PTIK, mereka tidak berhasil menemukan Harun Masiku," kata jaksa.

Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHAP.

Sentilan kubu Hasto

Setelah pembacaan dakwaan, kuasa hukum Hasto, Febri Diansyah, menyampaikan pandangannya kepada media.

Febri menyentil dakwaan tersebut tidak disusun dengan hati-hati, mengingat terdapat kesalahan penulisan undang-undang.

"Salah satu pasal yang paling penting yang didakwakan pada dakwaan ke-1 ternyata salah menggunakan undang-undang," kata Febri.

Febri menunjukkan bahwa seharusnya jaksa mencantumkan Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) alih-alih Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Jadi, pasal itu diabaikan, tidak dilaksanakan demi mempercepat proses pelimpahan perkara," ujarnya.

Meskipun kesalahan terletak pada satu huruf, kata Febri, hal itu menjadi sangat berbeda.

Pasal 65 KUHAP, kata dia, mengatur tentang hak terdakwa untuk menghadirkan saksi dan ahli yang meringankan.

Di sisi lain, persoalan hak Hasto untuk menghadirkan saksi dan ahli meringankan inilah yang diabaikan KPK ketika melakukan penyidikan.

"Jadi, pasal itu diabaikan, tidak dilaksanakan demi mempercepat proses pelimpahan perkara," ujar mantan Juru Bicara KPK tersebut.

"Nah, sekarang justru pasal itu yang salah tulis begitu. Nah, itu catatan kami tentu saja yang pertama," tambah dia.

Inkonsistensi materi dakwaan jadi sorotan

Tak hanya itu, Febri juga menyoroti inkonsistensi dalam materi dakwaan terkait sumber uang Rp 400 juta yang digunakan Harun Masiku untuk menyuap Wahyu Setiawan.

Ia menjelaskan, dakwaan tersebut merupakan gabungan dari beberapa surat dakwaan yang berbeda.

Menurut dia, terdapat ketidaksesuaian antara keterangan yang diajukan dalam surat dakwaan yang berbeda oleh KPK.

"Kami menemukan inkonsistensi," ungkapnya.

Dia menuturkan, dakwaan yang dibacakan jaksa KPK merupakan gabungan dari tiga surat dakwaan Wahyu Setiawan dan eks anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, Saeful Bahri, dan Hasto.

Mantan Juru Bicara KPK itu mengatakan, dalam surat dakwaan Wahyu, disebutkan pada kurun sekitar 17 atau 19 Desember 2019, uang Rp 400 juta diberikan Harun Masiku kepada Saeful Bahri.

Adapun Wahyu dan Tio saat ini sudah berstatus terpidana dan menghirup udara bebas.

Sementara, dalam dakwaan yang dibacakan hari ini disebutkan, uang Rp 400 juta seolah-olah berasal dari Hasto.

Adapun perkara Hasto dan Wahyu Setiawan merupakan satu rangkaian dan masih dalam kasus suap Harun Masiku.

Ia mempertanyakan bagaimana KPK bisa membuat dua dakwaan dengan fakta yang saling bertolak belakang.

"Apakah sedemikian rupa mengubah dakwaan hanya untuk menjerat Hasto Kristiyanto?" ucapnya.

Sumber: kompas

Komentar