MIRIS! Politik, Ijazah, dan Legitimasi: 'Mengapa Gelar Akademik Masih Dipalsukan?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam sistem demokrasi, politik seharusnya menjadi hak semua individu tanpa memandang latar belakang pendidikan.
Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam politik, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon pemimpin.
Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa latar belakang akademik masih menjadi tolok ukur utama dalam menilai kredibilitas seseorang di dunia politik.
Hal ini menciptakan fenomena di mana politisi merasa perlu memiliki gelar akademik yang mentereng—terlepas dari apakah mereka benar-benar layak mendapatkannya atau tidak.
Dua kasus yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Jokowi serta kasus Bahlil Lahadalia yang disertasinya dianulir karena terbukti melakukan plagiarisme.
Kedua kasus ini mencerminkan bagaimana politik di Indonesia masih sangat bergantung pada simbol akademik, sering kali lebih daripada kompetensi kepemimpinan yang sesungguhnya.
Jokowi dan Dugaan Ijazah Palsu: Mencari Legitimasi atau Menutup Kekurangan?
Isu ijazah palsu Jokowi menjadi perbincangan hangat karena jika benar terjadi, ini bukan hanya masalah administrasi, tetapi juga menyangkut kejujuran seorang pemimpin.
Jika memang politik adalah hak setiap warga negara dan tidak memerlukan gelar akademik, lalu mengapa ada kebutuhan untuk menyajikan ijazah yang meragukan?
Apakah karena masyarakat masih menilai pemimpin dari titel akademiknya?
Ataukah ada kepentingan lain yang membuat Jokowi (atau pihak di belakangnya) merasa perlu menggunakan ijazah yang dipertanyakan keasliannya?
Jika seseorang memiliki kapasitas memimpin, seharusnya latar belakang akademik bukanlah hambatan.
Justru upaya menyamarkan atau bahkan memalsukan ijazah bisa menunjukkan bahwa kepemimpinan tersebut dibangun di atas kebohongan dan pencitraan semata.
Ini menjadi pertanyaan besar bagi demokrasi kita: apakah kita lebih menghargai kompetensi atau sekadar formalitas akademik?
Bahlil Lahadalia dan Plagiarisme: Ketika Akademisi Palsu Ingin Berkuasa
Kasus yang lebih baru dan tidak kalah mencoreng dunia akademik adalah pembatalan disertasi Bahlil Lahadalia karena terbukti melakukan plagiarisme.
Sebagai seorang menteri yang sedang dalam radar untuk naik ke posisi lebih tinggi, gelar akademik tentu menjadi nilai tambah dalam persaingan politik.
Namun, alih-alih meraih gelar dengan usaha intelektual yang sah, Bahlil justru terbukti menjiplak karya orang lain.
Plagiarisme adalah bentuk manipulasi intelektual yang mencerminkan mentalitas instan—ingin diakui sebagai intelektual tanpa melalui proses akademik yang sebenarnya.
Jika seorang pejabat tinggi terbukti melakukan kecurangan akademik, bagaimana kita bisa mempercayainya dalam membuat kebijakan yang adil dan transparan?
Lebih jauh lagi, kasus Bahlil menunjukkan bahwa gelar akademik telah menjadi alat politik, bukan lagi simbol intelektualitas.
Seseorang yang sudah memiliki jabatan tinggi tetap merasa perlu memiliki gelar doktor, meski harus mendapatkannya dengan cara tidak jujur.
Ini membuktikan bahwa dunia politik kita masih lebih tertarik pada legitimasi akademik daripada rekam jejak kepemimpinan yang sebenarnya.
Politik Seharusnya Berdasarkan Kapasitas, Bukan Ijazah
Dua kasus ini menunjukkan bahwa banyak politisi di Indonesia masih bergantung pada formalitas akademik untuk memperkuat citra mereka.
Padahal, jika politik benar-benar terbuka bagi siapa saja, seharusnya kejujuran dan integritas lebih diutamakan daripada sekadar gelar akademik.
Dalam sejarah dunia, banyak pemimpin besar yang tidak memiliki gelar tinggi tetapi mampu memimpin dengan bijaksana.
Abraham Lincoln hanya memiliki pendidikan dasar, tetapi ia menjadi salah satu presiden terbaik dalam sejarah Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, kita melihat pejabat tinggi seperti Jokowi dan Bahlil yang justru menghadapi kontroversi akademik, menunjukkan bahwa gelar akademik belum tentu mencerminkan kualitas kepemimpinan.
Jika masyarakat masih terjebak dalam mitos bahwa pemimpin harus memiliki gelar tinggi untuk dianggap layak, maka dunia politik kita akan terus dipenuhi dengan pencitraan dan kebohongan akademik.
Yang kita butuhkan bukanlah pemimpin yang memiliki gelar akademik tinggi, tetapi pemimpin yang jujur, kompeten, dan benar-benar bekerja untuk rakyat.
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita renungkan bukanlah apakah seorang pemimpin memiliki gelar atau tidak, tetapi apakah ia memiliki kapasitas dan integritas untuk memimpin.
Jika seorang pemimpin merasa perlu menutupi identitas akademiknya atau bahkan memanipulasinya, maka yang harus kita curigai bukan hanya ijazahnya, tetapi juga kredibilitas kepemimpinannya secara keseluruhan. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Detik-detik Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman Naik Pitam Saat Rapat dengan DPR
Ungkap Kekecewaan Pada Fenomena BBM Oplosan, Said Aqil: Rugikan Rakyat
Kakak-Adik Masuk Islam, Seorang Cewek Ikrar Syahadat Air Matanya Langsung Mengalir
Rekrutmen Guru Sekolah Rakyat Akan Dibuka Sekitar April 2025