Polemik Revisi UU TNI Meruncing: Antara Profesionalisme Militer dan Supremasi Sipil

- Kamis, 13 Maret 2025 | 06:00 WIB
Polemik Revisi UU TNI Meruncing: Antara Profesionalisme Militer dan Supremasi Sipil


Polemik Revisi UU TNI Meruncing: 'Antara Profesionalisme Militer dan Supremasi Sipil'




Pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak yang menyebut kelompok penentang penempatan prajurit aktif di jabatan sipil sebagai “kampungan” memicu reaksi luas. 


Pro-kontra terhadap revisi Undang-Undang (UU) TNI terus bergulir, menyoroti prinsip fundamental pemisahan antara ranah sipil dan militer dalam sistem demokrasi.


Sejumlah pihak menilai bahwa usulan dalam revisi UU TNI bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut prinsip dasar negara hukum. 


Kritik utama datang dari kelompok akademisi, pegiat demokrasi, dan organisasi masyarakat sipil yang menegaskan bahwa keberadaan militer dalam jabatan sipil berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dan profesionalisme TNI.


Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas melarang prajurit aktif menduduki jabatan sipil, kecuali pada posisi tertentu seperti di Kementerian Pertahanan dan lembaga yang berkaitan langsung dengan pertahanan negara. 


Ketentuan ini bertujuan menjaga netralitas dan profesionalisme militer, agar tidak terseret ke dalam dinamika politik dan birokrasi sipil.


Demokrasi dan Ancaman Militerisasi Birokrasi


Di berbagai negara demokrasi, supremasi sipil atas militer adalah prinsip yang tidak dapat ditawar. 


Militer bertugas menjaga kedaulatan dan pertahanan negara, sementara urusan pemerintahan menjadi domain pejabat sipil yang dipilih melalui mekanisme demokratis. 


Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam birokrasi sipil dapat berujung pada militerisasi pemerintahan, yang berpotensi mengancam sistem demokrasi.


Sebagai solusi alternatif, mekanisme alih status dapat diterapkan bagi prajurit yang ingin menempati jabatan sipil. 


Dengan mengundurkan diri dari dinas aktif, mereka dapat berkontribusi di pemerintahan tanpa membawa kultur komando yang bertentangan dengan prinsip birokrasi sipil.


Proses Demokrasi Tidak Bisa Diabaikan


Menanggapi pernyataan KSAD yang menyebut polemik ini sebagai “kurang kerjaan,” para akademisi dan pengamat politik menegaskan bahwa perdebatan ini justru esensial dalam negara hukum. 


Proses revisi undang-undang tidak boleh sekadar didasarkan pada kebutuhan institusi tertentu, melainkan harus mempertimbangkan aspek demokrasi dan supremasi hukum secara menyeluruh.


Dalam demokrasi, perbedaan pendapat bukanlah gangguan, melainkan bagian dari mekanisme checks and balances yang memastikan setiap kebijakan dibuat berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. 


Oleh karena itu, revisi UU TNI harus dikaji secara matang dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan militer dan kepentingan supremasi sipil dalam sistem pemerintahan.


Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan supremasi hukum, Indonesia perlu memastikan bahwa setiap kebijakan, termasuk revisi UU TNI, disusun melalui proses yang transparan, akuntabel, dan menghormati prinsip-prinsip dasar negara hukum. ***

Komentar