Tekanan Politik di Balik Lahirnya Supersemar

- Rabu, 12 Maret 2025 | 08:25 WIB
Tekanan Politik di Balik Lahirnya Supersemar


'Tekanan Politik di Balik Lahirnya Supersemar'


Hampir sepanjang era reformasi, tepatnya sejak tahun 1999, nyaris tidak pernah ada lagi peringatan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), dengan sendirinya ingatan publik terhadap peristiwa tersebut menjadi samar-samar. 


Bagi sebagian besar Gen Z dan Alpha, bisa jadi mereka tidak paham bagaimana persisnya peristiwa tersebut.


Ada adagium yang mengatakan: sejarah ditulis oleh pemenang. Begitu pula yang terjadi pada sejarah lahirnya Supersemar, ketika narasi sejarah versi Orde Baru begitu dominan, kendati menimbulkan banyak keraguan, dan acapkali tidak sesuai nalar. 


Dalam narasi versi Orde Baru, proses terbitnya Supersemar dikesankan berlangsung secara mulus, dalam situasi yang baik-baik saja.


Sebenarnya ada dua peristiwa di bulan Maret, yang sangat identik dengan Soeharto, satu peristiwa lagi adalah Serangan Umum 1 Maret (SO 1 Maret 1949), yang juga sudah tidak pernah diperingati lagi. 


Hanya “nasib” tanggal 1 Maret (1949) masih lebih baik, mengingat tanggal ini kemudian diadopsi sebagai hari jadi Kodam IV/Diponegoro (Jawa Tengah). Artinya masih ada komunitas yang memperingatinya, meskipun dalam lingkup terbatas.


Menekan Bung Karno


Tekanan terhadap Bung Karno bisa dikonfirmasi dalam catatan kenangan Ibu Hartini, yang dikenal sebagai istri terkasih Bung Karno, yang selama Bung Karno berkuasa memang tinggal di Istana Bogor. 


Dalam kenangan Ibu Hartini, Bung Karno sudah dalam kondisi galau seharian itu, artinya saat meneken Supersemar, suasana hati Bung Karno sudah tidak nyaman dan merasa tertekan.


Dalam sejarah versi Orde Baru, kesaksian Ibu Hartini tentu saja tidak akan dipakai, sebab dikhawatirkan akan menjadi bumerang. Sebagai istri terkasih Bung Karno, Ibu Hartini paham betul perilaku keseharian Bung Karno. 


Ketika Bung Karno tidak menghabiskan porsi makan siangnya, sementara Ibu Hartini sudah menyiapkan menu favorit Bung Karno, yaitu sayur lodeh dan tempe goreng.


Bagi publik yang sedikit paham sejarah, menu sayur lodeh inilah yang menjadi awalan kisah-kasih antara Bung Karno dan Ibu Hartini, dalam sebuah pertemuan singkat keduanya di Kota Salatiga, sekitar tahun 1950-an.


Dan sepengetahuan Bu Hartini, biasanya Bung Karno makan dengan lahap, ketika nasi di piringnya ditemani sayur lodeh dan tempe goreng. Mengapa kali ini berbeda, Bung Karno tidak menandaskan makan siangnya, pasti ada sesuatu yang tidak beres, kira-kira begitu yang melintas pada pikiran Ibu Hartini.


Secara lirih Bung Karno bergumam, bahwa situasi memang sedang genting. Bung Karno seperti sudah merasa, bahwa hari-harinya sebagai Presiden RI segera akan berakhir. Saat Bung Karno sedang siesta, secara mendadak tiga orang jenderal utusan Soeharto datang ke Istana Bogor, yakni M Yusuf, Basuki Rahmat, dan Amir Mahmud.


Semuanya telah menjadi sejarah, kita paham tiga orang jenderal itu datang tentu atas perintah Soeharto, untuk menekan Bung Karno, agar segera mengeluarkan surat keputusan peralihan kekuasaan. 


Secarik kertas yang kemudian hari dikenal sebagai Supersemar, merujuk pada tanggal dikeluarkannya surat yang (mungkin) sudah diimpikan Soeharto sejak lama.


Setelah lebih dari setengah abad berlalu, publik seolah baru sadar, ini semua hanyalah akal-akalan Soeharto, yang sengaja mengutus tiga perwira tinggi, yang sebelumnya dikenal sangat setia pada Bung Karno. 


Jadi sebetulnya Bung Karno terkecoh dengan kehadiran tiga perwira tinggi tersebut, yang kini sudah “balik badan” dan sudah terafiliasi pada Soeharto, tanpa pernah disadari Bung Karno. Benar, dalam bahasa yang lebih sederhana, Bung Karno ibarat orang yang sedang ditipu habis-habisan.


Rupanya semesta tidak berdiam diri, ketika “hukum karma” menemukan harinya. Pada Mei 1998, giliran Soeharto yang kena tipu, saat sejumlah anggota kabinetnya yang ternyata lebih memilih berpihak pada Wapres (saat itu) BJ Habibie. 


Dengan dimotori Ginanjar Kartasasmita (saat itu Menko Ekuin, ayah dari Menteri Perindustrian Agus Gumiwang K), sebagian besar anggota kabinet “balik badan” memunggungi Soeharto. Manuver yang dimotori Ginanjar tersebut, turut berkontribusi mempercepat mundurnya Soeharto, pagi hari 21 Mei 1998.


Supersemar tidak lahir secara tiba-tiba, bahwa itu adalah bagian dari skenario besar Soeharto mencapai kekuasaan, sebuah strategi yang kemudian dikenal sebagai “kudeta merangkak”. Istilah ini muncul, karena proses menggapai kekuasaan dilakukan secara bertahap, dengan durasi hampir setengah tahun, terhitung sejak 1 Oktober 1965, hingga terbitnya Supersemar. 


Aspirasi kekuasaan Soeharto, bahkan mungkin bisa ditarik lebih jauh lagi, ketika masih menjabat Pangdam Diponegoro pada pertengahan tahun 1950-an.


Strategi “kudeta merangkak” sejatinya diadopsi Soeharto dari taktik satuan tempur. Dalam operasi tempur, pihak yang menguasai ketinggian, semisal perbukitan, diasumsikan dalam posisi unggul. Itu sebabnya, satuan tempur (infanteri), selalu berusaha merebut posisi ketinggian. 


Apabila posisi ketinggian masih dalam penguasaan pihak lawan, harus direbut dengan cara “merangkak” atau menyusup secara perlahan, bukan melalui serbuan frontal.


Kudeta Soeharto memang tipikal, yang boleh jadi hanya Soeharto yang pernah melakukan ini, yang belum pernah ada rujukannya, dan tidak bisa diulang atau ditiru. 


Berbeda dengan kudeta (militer) yang biasa kita pahami selama ini, ketika sepasukan tentara merangsek ke simbol-simbol negara, seperti istana atau gedung parlemen, dengan dukungan kendaraan tempur, seperti yang biasa kita saksikan di Thailand, Filipina dan negara-negara Amerika Latin. 


Dan operasi “kudeta” ini biasanya hanya berlangsung dalam hitungan hari, bahkan jam, layaknya operasi cepat khas pasukan komando.


Antara beasiswa Supersemar dan program MBG


Setelah resmi berkuasa, Soeharto memiliki imajinasi bagaimana agar jenama Supersemar tetap lestari, salah satunya dengan cara menjadikannya sebagai nama program beasiswa. Seolah terjadi paralelisme sejarah, ketika pemerintahan Prabowo meluncurkan program makan bergizi gratis (MBG). 


Kedua program tersebut memiliki kemiripan, yaitu sama-sama menyelamatkan anak bangsa dari kemungkinan keterpurukan dari pendidikan tinggi dan kecukupan nutrisi.


Saya sendiri tidak hendak mengatakan, bahwa MBG terinspirasi oleh program beasiswa Supersemar, saya kira MBG adalah konsep Prabowo yang genuine. Program MBG sepertinya adalah kelanjutan dari pembawaan Prabowo sendiri. 


Sejak masih aktif sebagai komandan pasukan di masa lalu, Prabowo dikenal gemar “memanjakan” anak buah. Sudah jamak diketahui, Prabowo memiliki kecenderungan filantropi sejak lama.


Harus diakui, beasiswa Supersemar di masa lalu banyak membantu biaya pendidikan, utamanya bagi mahasiswa dari keluarga kelas bawah. 


Apa yang terjadi saat ini, mungkin bisa disebut kemunduran, ketika banyak orang tua atau mahasiswa tidak sanggup membayar biaya kuliah, sementara empat dasawarsa yang lalu Pak Harto sudah meluncurkan beasiswa Supersemar.


Sungguh realitas yang membuat kita miris, bagaimana mahasiswa-mahasiswa sampai terpaksa berutang pada pinjaman daring (pinjol) untuk membayar kuliah, yang ujung-ujungnya diteror jasa peminjam, karena mahasiswa tidak sanggup mengangsur, mengingat pinjol berbunga tinggi.


Ini sebuah kenyataan pahit, di tengah berlangsungnya periode bonus demografi, sebuah periode yang diharapkan akan muncul generasi muda yang kompeten dan produktif. 


Tanpa pendidikan yang memadai, termasuk asupan nutrisi yang cukup, dikhawatirkan bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045 tinggal menjadi angan-angan belaka.


Kendati bukan kelanjutan dari program beasiswa Supersemar, masih ada yang pelajaran atau nilai yang bisa dipetik darinya, oleh program MBG dan program sejenis, yakni tetap menjaga sikap kritis penerima manfaat. 


Seperti di masa Orde Baru dulu, kendati tidak terlalu banyak, tetap saja ada mahasiswa penerima beasiswa Supersemar yang tetap bersikap kritis terhadap rezim Soeharto, dan terlibat langsung dalam aksi protes di jalanan.


Sikap kritis terhadap kekuasaan adalah sebuah capaian positif. Beasiswa Supersemar murni program bantuan pendidikan, tanpa ada maksud mengekang aspirasi pihak penerima. Beasiswa Supersemar, maupun MBG saat ini, sama sekali bukan “gratifikasi” bagi sebuah generasi. 


Bila generasi baru tetap bersikap kritis, harus dibaca sebagai indikator keberhasilan sebuah program (dalam hal ini MBG), bahwa generasi yang bersikap kritis, berarti adalah generasi yang cerdas dan memiliki kepedulian.


Sementara sebuah generasi yang sekadar ikut-ikutan, cuma mengikuti arah angin bertiup, sama sekali bukan harapan bangsa ini, dan jauh pula dari angan-angan Presiden Prabowo, selak pemrakarsa program MBG. ***


Sumber: Inilah

Komentar