Bukan Alat Aguan Untuk Menumpuk Kekayaan: Jauhkan TNI Polri Dari Oligarki!

- Rabu, 12 Maret 2025 | 06:50 WIB
Bukan Alat Aguan Untuk Menumpuk Kekayaan: Jauhkan TNI Polri Dari Oligarki!


Bukan Alat Aguan Untuk Menumpuk Kekayaan: 'Jauhkan TNI Polri Dari Oligarki!'


Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H

Advokat, Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)


Penulis mendapatkan sejumlah dokumen foto-foto mesra pejabat Polri dengan Sugiyanto Kusuma alias AGUAN. 


Terlihat ada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Irjen Pol Karyoto, Irjen Pol Fadil Imran, ada Eks Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnain, dan sejumlah petinggi Polri lainnya.


Foto-foto tersebut, infonya adalah foto-foto saat acara Groundbreaking Pembangunan Batalyon A Pelopor Satuan Brimob Polda Metro Jaya, di PIK-2, pada Rabu, 5 April 2023 yang lalu. 


Melihat foto-foto tersebut, juga cerita Tempo yang menulis Aguan dikawal oleh Polisi dan naik kendaraan berpelat TNI, penulis jadi bertanya-tanya: Apakah hal ini ada kaitannya dengan kasus sertifikat laut dan pagar laut yang hanya berhenti mentersangkakan ARSIN Kades Kohod?


Secara konstruksi hukum, semestinya kasus ini tidak boleh hanya berhenti di Arsin Kades Kohod. 


Sesuai dengan perannya masing-masing, seluruh pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat diatas laut dari tingkat Desa, Notaris, KJSB, BPN hingga Korporasi yang mendapat manfaat (menadah) sertifikat laut harus turut dijadikan tersangka.


PT Intan Agung Makmur (PT IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa (PT CIS) selaku anak usaha Agung Sedayu Group, yang berperan sebagai pemilik dan penerima manfaat sertifikat laut untuk kepentingan proyek reklamasi PIK-2, melalui modus tanah musnah memanfaatkan Pasal 66 PP No 18 Tahun 2021, seharusnya juga wajib menjadi tersangka.


Akan tetapi, begitu melihat foto-foto mesra Aguan bersama sejumlah petinggi Polri, apalagi Mako Brimob mendapatkan Hibah tanah dari Agung Sedayu Group, rasanya agak sulit untuk memisahkan kedekatan Aguan dengan pejabat Polri dikaitkan dengan sterilnya (lolosnya) anak usaha Agung Sedayu Group dari penyidikan kasus sertifikat laut.


Fenomena Pengusaha yang dekat pejabat Polri seperti yang dilakukan Aguan ini juga dilakukan oleh Tomy Winata (Pemilik Artha Graha Group). Belakangan, Dato Tahir (Pemilik Mayapada Group) juga ikut-ikutan latah mendekati pejabat Polri.


Kedekatan sejumlah pengusaha dengan pejabat Polri, membuat Polri tidak bisa independen menjalankan fungsinya menegakkan hukum saat kasus yang ditangani berkaitan dengan kepentingan bisnis pengusaha tersebut. 


Kasus sertifikat laut yang terkait proyek PIK-2 milik Aguan dan Anthony Salim, menjadi contoh kongkrit betapa hukum menjadi tumpul kepada entitas Korporasi Agung Sedayu Group dan hanya tajam kepada Kades Kohod.


Kedekatan Pengusaha dengan pejabat Polri bisa membuat instusi Polri melayani kepentingan pejabat tersebut, meskipun Polri dibiayai oleh APBN. 


Pengusaha yang memberi sedikit bantuan pada institusi Polri, mendapatkan manfaat yang banyak untuk melindungi bisnis dan kepentingannya yang melanggar hukum, meskipun pengusaha tersebut tidak pernah menggaji anggota Polri.


Karena itu, untuk menghindari konflik kepentingan TNI Polri dalam menjalankan tugasnya, penulis memberikan saran sebagai berikut:


Pertama, pejabat TNI Polri harus menjaga jarak dengan pengusaha. Bukan tidak boleh berinteraksi, tetapi membatasi interaksi pada kegiatan yang hanya terkait dengan peran fungsinya saja. 


Agar setiap jabatan (bintang) diperoleh secara terang, karena kapasitas dan pengabdian, bukan karena isitas (duit) dan bekingan pengusaha.


Kedua, Negara melarang setiap bantuan apapun dari pengusaha untuk kepentingan institusi TNI Polri. Karena setiap bantuan, pasti mengandung kepentingan bisnis bagi si pengusaha.


Institusi Negara hanya dibiayai dari uang negara (APBN), sehingga akan setia dan hanya bekerja pada Negara.


Ketiga, para pengusaha juga tidak boleh mendekati pejabat dan memanfaatkan TNI Polri, untuk memuluskan bisnisnya. 


Karena bisnis seperti ini, hakekatnya hanya bisnis memanfaatkan kekuasaan (korupsi), bukan bisnis yang lahir dari profesionalisme.


Keempat, rakyat harus mengontrol institusi TNI Polri. Jangan diberi kebanggaan kepada pengusaha yang mampu mengendalikan pejabat TNI Polri. 


Sebaliknya, permalukan pejabat dan pengusaha yang memanfaatkan instusi TNI Polri bukan untuk kepentingan Negara.


Penulis kira, empat hal diatas bisa menjadi sarana proteksi bagi institusi TNI Polri dari kooptasi pengusaha. 


Dengan tak memanfaatkan pejabat TNI Polri, pengusaha juga akan berbisnis jujur dan profesional. ***

Komentar