Laut dan Tanah Negara Disertifikasi Kepada Individu/Korporasi Swasta: Ini Kejahatan Model Apa?

- Selasa, 11 Maret 2025 | 13:50 WIB
Laut dan Tanah Negara Disertifikasi Kepada Individu/Korporasi Swasta: Ini Kejahatan Model Apa?


Laut dan Tanah Negara Disertifikasi Kepada Individu/Korporasi Swasta: 'Ini Kejahatan Model Apa?'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam narasi besar pemerintahan Jokowi, sertifikasi tanah dianggap sebagai program yang berpihak kepada rakyat. 


Rakyat kecil yang selama ini tak memiliki kepastian hukum atas tanahnya diberi legalitas dalam bentuk sertifikat, bahkan dengan biaya yang digratiskan. Ini seolah menjadi simbol keberpihakan negara kepada rakyat kecil. 


Namun, di balik gegap gempita program ini, muncul ironi yang menggelitik: ketika tanah rakyat disertifikasi, mengapa jutaan hektare tanah negara justru jatuh ke tangan korporasi atau segelintir individu berkuasa?


Sertifikasi Tanah: Antara Janji dan Kenyataan

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digagas Jokowi disebut sebagai upaya memberantas ketimpangan agraria. 


Targetnya, rakyat mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka, sehingga konflik pertanahan bisa diminimalkan. 


Namun, dalam praktiknya, sertifikasi tanah ini justru memuluskan privatisasi dan pelepasan hak atas tanah negara untuk kepentingan segelintir elite ekonomi dan politik.


Kasus demi kasus memperlihatkan bahwa tanah negara, termasuk kawasan hutan, tanah eks-HGU, atau tanah yang dikelola negara, tiba-tiba memiliki sertifikat hak milik atas nama individu atau korporasi. 


Pertanyaannya: bagaimana mungkin tanah yang seharusnya menjadi aset publik bisa berpindah kepemilikan secara sah? Jika rakyat harus melalui proses panjang untuk mendapatkan sertifikat tanah, mengapa korporasi bisa dengan mudah mengantongi legalitas atas lahan yang jauh lebih luas?


Kejahatan Model Apa?

Fenomena ini bisa dikategorikan sebagai state capture, sebuah bentuk korupsi sistemik di mana kebijakan dan sumber daya negara dikuasai oleh segelintir elite demi kepentingan pribadi atau kelompok. 


Negara seolah-olah menjadi agen dari kepentingan oligarki, bukan lagi penjaga keadilan sosial bagi seluruh rakyat.


Jika ditelaah lebih lanjut, ini bukan sekadar kasus perampasan tanah (land grabbing), tetapi juga bentuk manipulasi kebijakan publik untuk melegalkan praktik penguasaan tanah oleh korporasi atau individu berkuasa. 


Negara, melalui aparatnya, terlibat dalam transaksi yang merugikan kepentingan publik, baik secara langsung maupun terselubung.


Dampak: Rakyat Kehilangan Tanah, Oligarki Semakin Kuat

Ketimpangan penguasaan tanah yang semakin lebar akibat praktik semacam ini memunculkan berbagai dampak:


1. Penggusuran dan konflik agraria

Ketika tanah negara disertifikatkan untuk kepentingan korporasi, rakyat yang telah lama menggarap lahan tersebut sering kali terpaksa terusir. Konflik agraria pun semakin marak, karena rakyat berhadapan dengan kekuatan modal dan hukum yang sudah direkayasa.


2. Privatisasi sumber daya alam

Banyak lahan yang seharusnya berstatus tanah negara atau kawasan hutan berubah menjadi perkebunan atau kawasan industri milik swasta. Ini tidak hanya mengancam lingkungan tetapi juga meminggirkan hak-hak masyarakat adat dan petani kecil.


3. Penguatan oligarki tanah

Dengan legalitas berupa sertifikat, tanah yang dikuasai korporasi bisa dijadikan jaminan untuk memperoleh kredit besar, memperkuat kekuasaan ekonomi mereka, sementara rakyat tetap terjebak dalam kemiskinan tanah.


Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Dalam kasus ini, negara bukan hanya gagal melindungi rakyat, tetapi justru menjadi aktor utama dalam pengalihan aset publik ke tangan swasta. 


Apakah ini murni kebijakan yang salah arah, ataukah memang ada niat tertentu untuk menguntungkan oligarki yang bersekutu dengan penguasa?


Program sertifikasi tanah yang diklaim untuk rakyat kecil nyatanya bisa menjadi alat legitimasi bagi perampasan tanah berskala besar. 


Jika tanah rakyat bisa disertifikasi, mengapa tanah negara bisa dengan mudah jatuh ke tangan korporasi? 


Inilah pertanyaan yang seharusnya menjadi bahan evaluasi serius terhadap kebijakan agraria di era Jokowi.


Rakyat harus sadar bahwa kejahatan semacam ini bukan sekadar maladministrasi, tetapi bagian dari skenario besar yang menguntungkan segelintir elite. 


Jika dibiarkan, keadilan agraria hanya akan menjadi jargon politik tanpa makna, sementara tanah yang seharusnya menjadi hak rakyat akan terus berpindah ke tangan mereka yang berkuasa. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar