'Prabowo dan Ketakutannya Terhadap Demonstrasi Mahasiswa'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pernyataan mantan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang dipecat oleh Presiden Prabowo bahwa sang presiden sangat terganggu dengan demonstrasi mahasiswa merupakan sebuah pengakuan yang menarik dan mengungkap banyak hal tentang cara berpikir serta mentalitas seorang Prabowo Subianto.
Jika kita mencoba memahami apa yang ada dalam benak Prabowo, setidaknya ada tiga faktor utama yang menjelaskan mengapa demonstrasi mahasiswa begitu mengganggunya.
Pertama, Prabowo adalah Seorang Pembaca Buku
Sebagai seorang yang dikenal gemar membaca, Prabowo tentu memahami sejarah dan pola gerakan mahasiswa di berbagai belahan dunia.
Ia tahu bahwa demonstrasi mahasiswa bukan sekadar luapan emosi sesaat, tetapi bisa menjadi titik awal perubahan besar dalam sejarah politik suatu negara.
Dari Revolusi Mei 1968 di Prancis hingga Reformasi 1998 di Indonesia, mahasiswa selalu menjadi garda depan perubahan.
Prabowo, yang kini berada di tampuk kekuasaan, menyadari bahwa demonstrasi semacam ini dapat berkembang menjadi ancaman serius bagi stabilitas pemerintahannya.
Dulu, ia mungkin memandang gerakan mahasiswa sebagai bagian dari dinamika politik yang menarik untuk dianalisis.
Namun, kini, sebagai pemimpin yang berkuasa, ia melihatnya sebagai tantangan langsung terhadap otoritasnya.
Kedua, Program yang Dihembuskannya Menjadi Hambar
Sejak awal kepemimpinannya, Prabowo berusaha membangun citra sebagai pemimpin yang progresif dengan berbagai program populis.
Ia mengumbar janji dan kebijakan yang tampak ambisius, tetapi ketika mahasiswa turun ke jalan dengan kritik tajam, program-program tersebut kehilangan nilai dan kredibilitasnya.
Demonstrasi mahasiswa mengingatkan publik bahwa ada ketimpangan antara janji politik dan realitas di lapangan.
Narasi besar yang ia bangun mulai kehilangan daya tarik karena mahasiswa, sebagai elemen kritis masyarakat, berani mengungkap ketidaksesuaian antara retorika dan implementasi kebijakan.
Ketiga, Doktrin Militer yang Masih Melekat Kuat
Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan militer, Prabowo memiliki cara pandang yang kaku terhadap disiplin dan hierarki.
Dalam dunia militer, perintah harus dijalankan tanpa pertanyaan. Namun, mahasiswa bukan prajurit.
Mereka justru dididik untuk berpikir kritis, mempertanyakan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, dan menentang otoritarianisme.
Hal ini tentu bertentangan dengan jiwa Prabowo yang terbiasa dengan ketertiban dan kontrol penuh atas situasi.
Demonstrasi mahasiswa, yang bersifat spontan dan sulit dikendalikan, menjadi sesuatu yang mengganggu psikologinya.
Dalam pandangan militeristik, gerakan mahasiswa yang tidak bisa dikontrol adalah ancaman. Maka, tidak mengherankan jika Prabowo merasa perlu meresponsnya dengan cara-cara yang represif.
Bagi seorang yang pernah menjadi bagian dari institusi yang menuntut kepatuhan mutlak, melihat mahasiswa berani menantangnya di jalanan tentu saja menimbulkan kegelisahan yang mendalam.
Kesimpulan
Ketakutan Prabowo terhadap demonstrasi mahasiswa adalah refleksi dari kesadarannya akan dampak gerakan tersebut terhadap stabilitas kekuasaannya.
Ia memahami sejarah dan potensi perubahan yang bisa dipicu oleh gerakan mahasiswa, melihat kredibilitas program-programnya yang mulai terkikis, serta masih terjebak dalam mentalitas militeristik yang sulit menerima perbedaan pendapat.
Dengan kombinasi ketiga faktor ini, tidak heran jika demonstrasi mahasiswa menjadi momok yang menghantui kepemimpinan Prabowo sejak hari pertama ia menjabat sebagai presiden. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Janji Prabowo dan Perintah Konstitusi Tegakkan Keadilan: Tangkap & Adili Jokowi
[BREAKING NEWS] KPK Geledah Rumah Ridwan Kamil Terkait Kasus Korupsi Bank BJB
Masih terus bayarin hidup keluarga besar, Nunung Srimulat ditegur teman-teman: Salah hidupmu
Sah! Prabowo Umumkan Aturan Pemberian Bonus Hari Raya Untuk Ojol dan Kurir Online