Sinyal Terulang Peristiwa Reformasi 1998 Sudah Menyala

- Sabtu, 08 Maret 2025 | 13:55 WIB
Sinyal Terulang Peristiwa Reformasi 1998 Sudah Menyala


'Sinyal Terulang Peristiwa Reformasi 1998 Sudah Menyala'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Wacana tentang kemungkinan terulangnya peristiwa Reformasi 1998 kembali mencuat, terutama setelah sejumlah tokoh, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memberikan sinyal bahwa situasi politik dan ekonomi saat ini memiliki kemiripan dengan kondisi menjelang kejatuhan Orde Baru. 


Esensi peristiwa 1998 adalah pemberontakan rakyat terhadap sistem yang korup, kolutif, dan nepotistik (KKN), yang kala itu dipraktikkan oleh Presiden Soeharto dan kroni-kroninya. 


Ironisnya, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik nepotisme justru semakin telanjang dan terang-terangan, seolah-olah tidak ada lagi batas konstitusional yang mampu membendungnya.


Kemiripan Situasi: KKN yang Semakin Menggurita

Reformasi 1998 didorong oleh kemarahan rakyat terhadap praktik KKN yang telah merajalela selama lebih dari tiga dekade pemerintahan Soeharto. 


Kala itu, kesenjangan ekonomi semakin melebar, krisis moneter menghantam keras, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara anjlok. 


Kini, dua dekade lebih setelah Reformasi, kita menyaksikan bahwa praktik yang sama masih terjadi—bahkan dengan skala yang lebih besar.


Nepotisme di era Jokowi tidak lagi bersembunyi di balik tirai kekuasaan, melainkan dengan gamblang menampilkan wajahnya di hadapan rakyat. 


Penempatan anggota keluarga di posisi strategis, baik di pemerintahan maupun di partai politik, adalah bentuk eksploitasi kekuasaan yang mencederai demokrasi. 


Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang baru seumur jagung dalam dunia politik, kini menjadi Wakil Presiden terpilih. 


Sementara itu, putra bungsunya, Kaesang Pangarep, dengan mulus menjadi Ketua Umum PSI—sebuah partai yang kini tampak lebih sebagai kendaraan politik dinasti ketimbang wadah aspirasi publik.


Tak hanya itu, kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada oligarki, eksploitasi sumber daya alam yang semakin rakus, serta tumpulnya hukum terhadap kejahatan korupsi semakin menguatkan anggapan bahwa reformasi telah dikhianati oleh penguasa sendiri.


Kondisi Ekonomi dan Sosial yang Mengkhawatirkan

Sama seperti menjelang 1998, kondisi ekonomi saat ini sedang tidak baik-baik saja. 


Utang negara melonjak drastis, daya beli masyarakat melemah, dan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. 


Krisis ekonomi yang dahulu dipicu oleh jatuhnya nilai tukar rupiah kini berulang dengan bentuk yang berbeda—utang luar negeri yang semakin menggunung tanpa diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang sehat. 


Anggaran negara pun semakin terkuras untuk membiayai proyek-proyek mercusuar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), yang tak lebih dari ambisi segelintir elite.


Dari sisi sosial, ketidakpuasan rakyat semakin meningkat. Kelompok buruh, mahasiswa, petani, hingga akademisi mulai bersuara lantang. 


Demonstrasi menolak berbagai kebijakan pemerintah terus berlangsung, mulai dari omnibus law, revisi KUHP, hingga yang terbaru, protes terhadap dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan secara sistematis. Apakah ini pertanda gelombang perlawanan besar sedang menuju puncaknya?


Nepotisme yang Menelanjangi Konstitusi

Jika dulu nepotisme Soeharto masih berusaha ditutupi dengan berbagai alasan profesionalisme dan keahlian, maka nepotisme di era Jokowi benar-benar telanjang tanpa rasa malu. Bahkan, batasan-batasan konstitusional pun diterobos demi melanggengkan kekuasaan keluarga. 


Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju dalam Pilpres 2024 adalah bukti bahwa aturan bisa dipermainkan demi kepentingan segelintir orang. 


Lebih parahnya lagi, putusan tersebut dihasilkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Anwar Usman, ipar Jokowi sendiri—sebuah praktik nepotisme yang mencoreng marwah demokrasi dan independensi hukum.


Konstitusi yang seharusnya menjadi benteng pertahanan dari praktik korupsi kekuasaan justru dijadikan alat legitimasi bagi kepentingan politik dinasti. 


Inilah kondisi yang membuat publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum dan politik di Indonesia.


Akankah Sejarah Berulang?

Jika kita berkaca pada Reformasi 1998, perubahan besar terjadi karena rakyat bersatu dalam satu gelombang perlawanan yang kuat. 


Mahasiswa, buruh, aktivis, dan masyarakat sipil bergerak bersama, melawan kesewenang-wenangan kekuasaan. Apakah situasi saat ini akan berujung pada ledakan sosial yang sama?


Tanda-tanda ke arah itu semakin jelas terlihat. Ketidakpuasan rakyat yang terus meningkat, ketidakadilan yang semakin nyata, serta kebijakan yang semakin menyengsarakan masyarakat adalah bahan bakar yang bisa menyulut api perlawanan. 


Pertanyaannya bukan lagi “mungkinkah Reformasi 1998 terulang?” tetapi “kapan ledakan itu akan terjadi?”.


Jokowi mungkin bisa mengendalikan kekuasaan dengan tangan besinya, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa rezim yang bertumpu pada kekuatan oligarki dan nepotisme tidak akan bertahan lama. 


Ketika rakyat sudah kehilangan kesabaran, perubahan akan terjadi—entah dalam bentuk reformasi jilid dua atau gerakan yang lebih dahsyat lagi. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar