Kepentingan di Balik Pertemuan Prabowo dan Para Taipan: 'Membangun Ekonomi atau Mengukuhkan Oligarki?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pada 6 Maret 2025, Presiden Prabowo Subianto mengundang delapan pengusaha besar ke Istana Kepresidenan Jakarta.
Di antara mereka terdapat nama-nama yang sudah tidak asing lagi dalam dunia bisnis Indonesia, seperti Anthony Salim, Sugianto Kusuma (Aguan), Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata.
Pertemuan ini digadang-gadang sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk membahas isu-isu krusial terkait ekonomi, investasi, dan pembangunan nasional.
Namun, apakah ini benar-benar sebuah langkah strategis demi kesejahteraan rakyat, atau justru menegaskan dominasi oligarki dalam pemerintahan?
Pemerintah dan Konglomerat: Simbiosis Mutualisme?
Tidak dapat disangkal bahwa para taipan yang hadir dalam pertemuan ini memiliki peran besar dalam perekonomian nasional.
Mereka menguasai berbagai sektor strategis seperti perbankan, properti, industri makanan, energi, dan infrastruktur.
Dalam sistem ekonomi yang kapitalistik, pemerintah dan pengusaha memang harus berkolaborasi untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana hubungan ini berdampak positif bagi masyarakat luas, dan sejauh mana justru menguntungkan segelintir elite bisnis?
Dalam pertemuan ini, Prabowo dikabarkan membahas beberapa agenda penting, termasuk program Makan Bergizi Gratis, swasembada pangan dan energi, serta industrialisasi.
Jika agenda ini benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka pertemuan tersebut bisa dilihat sebagai upaya positif.
Namun, skeptisisme publik tetap tinggi, mengingat sejarah panjang hubungan erat antara politik dan bisnis di Indonesia yang sering kali berujung pada praktik korupsi dan monopoli ekonomi.
Ekonomi untuk Siapa?
Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang terlalu berpihak pada segelintir elite justru memperlebar kesenjangan sosial.
Investasi dan industrialisasi yang dikelola oleh segelintir kelompok bisnis bisa saja mempercepat pertumbuhan ekonomi, tetapi sering kali tidak memberikan manfaat langsung bagi kelas pekerja dan masyarakat miskin.
Alih-alih menciptakan pemerataan ekonomi, kebijakan semacam ini justru dapat memperkuat cengkeraman oligarki dalam berbagai sektor kehidupan.
Pertemuan antara Prabowo dan para taipan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dalam pengambilan kebijakan.
Bagaimana pemerintah memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan kelompok bisnis tertentu?
Apakah ada mekanisme untuk memastikan bahwa program yang dirancang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya menguntungkan segelintir elite ekonomi dan politik?
Demokrasi vs. Oligarki
Salah satu tantangan terbesar dalam pemerintahan Prabowo adalah bagaimana ia menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan nilai-nilai demokrasi.
Jika pemerintah terlalu bergantung pada konglomerat dalam menjalankan program-program strategis, maka kebijakan negara bisa dengan mudah dikendalikan oleh kepentingan bisnis. Ini bukan sekadar ancaman bagi ekonomi, tetapi juga bagi demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan kekuatan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Jika pengambilan keputusan terlalu dipengaruhi oleh para taipan, maka ruang bagi partisipasi publik akan semakin menyempit.
Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakan ekonomi yang diambil.
Kesimpulan: Harapan atau Ancaman?
Pertemuan antara Prabowo dan delapan pengusaha besar ini menandai babak baru dalam hubungan antara pemerintah dan sektor bisnis di Indonesia.
Jika dikelola dengan baik dan transparan, kerja sama ini dapat menjadi peluang bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Namun, jika kepentingan oligarki lebih dominan, maka ini bisa menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.
Masyarakat harus tetap kritis dan waspada terhadap setiap kebijakan yang lahir dari hubungan erat antara politik dan bisnis.
Pemerintah harus menunjukkan komitmen yang kuat dalam memastikan bahwa kebijakan ekonomi benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada segelintir elite yang telah lama menguasai sumber daya negara.
Jika tidak, pertemuan ini hanya akan menjadi satu lagi bukti bahwa oligarki semakin mengukuhkan cengkeramannya di negeri ini. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Korupsi, Danantara, dan Ancaman Negara Gagal
Dibikin Mabuk, ABG 14 Tahun di Lombok Diperkosa 9 Orang Bergilir
Bantah Anggaran Makan Bergizi Dipangkas jadi Rp 8 Ribu, Istana: Kapan dan Di Mana Terjadi?
Gegerkan Ilmuwan, Klaim Ini Sebut Manusia Adalah Campuran Babi dan Simpanse?