Bukan Tuhan, Rakyat Banten Bisa Kalahkan Aguan dan Batalkan PIK 2

- Kamis, 06 Maret 2025 | 14:50 WIB
Bukan Tuhan, Rakyat Banten Bisa Kalahkan Aguan dan Batalkan PIK 2


“Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.”
– Sebuah mantra perjuangan yang terus diuji oleh zaman. Di utara Tangerang, di mana tanah bertemu laut dan mangrove pernah berjaya, kini menjulang ambisi raksasa bernama Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Proyek reklamasi yang digadang-gadang sebagai “the next Singapore” itu bukan sekadar megaproyek properti, tapi sebuah simbol: simbol kesenjangan, perampasan ruang hidup, dan dominasi pemodal besar atas wilayah yang semestinya menjadi hak rakyat.

Mereka yang melawan PIK 2 tak banyak muncul di media nasional. Padahal, di akar rumput, perlawanan ini adalah kisah tentang keberanian rakyat kecil menantang taipan besar. Ini bukan kisah tentang Tuhan yang turun tangan, melainkan tentang rakyat Banten yang perlahan bangkit dan menyadari bahwa kekuatan ada di tangan mereka.

Mereka bukan konglomerat seperti Sugianto Kusuma alias Aguan, pemilik Agung Sedayu Group, otak di balik proyek PIK 2. Mereka bukan pejabat berkuasa yang bisa menerbitkan izin hanya dengan tanda tangan. Mereka hanyalah nelayan yang kehilangan lautnya, petani yang tanahnya tergusur, dan masyarakat adat yang sejarahnya terancam lenyap oleh tembok beton bernama pembangunan.

PIK 2: Kemewahan di Atas Derita

Pantai Indah Kapuk 2 dibangun dengan menjanjikan kemewahan: kota mandiri dengan jembatan megah, jalan tol langsung ke bandara, pusat hiburan, dan properti bernilai miliaran. Tapi di balik gemerlapnya, ada jejak kehancuran yang tak bisa diabaikan.

Reklamasi itu menggusur masyarakat pesisir. Nelayan di Tanjung Burung, Kosambi, dan sekitarnya kehilangan tempat mencari ikan. Tambak-tambak garam yang dulu menopang ekonomi rakyat berubah menjadi tanah urukan. Rakyat kecil tak hanya kehilangan penghidupan, tapi juga warisan nenek moyang mereka—hubungan dengan laut yang sudah berlangsung berabad-abad.

Ironisnya, proyek ini terus berjalan dengan restu pemerintah. Izin lingkungan? Bisa dinegosiasi. AMDAL? Bisa disesuaikan. Jika ada protes, mereka bilang ini untuk kepentingan investasi, untuk pertumbuhan ekonomi. Tapi pertanyaannya: ekonomi siapa?

Perlawanan dari Bawah: Rakyat Tidak Takut

Namun, rakyat Banten bukan tanpa daya. Sejak awal, berbagai kelompok telah melawan proyek ini, meski suara mereka kerap dibungkam.

Di tahun 2019, sejumlah nelayan dan organisasi lingkungan mengajukan gugatan hukum terhadap reklamasi PIK 2. Mereka menuntut agar proyek ini dihentikan karena merusak ekosistem dan menghilangkan mata pencaharian. Gugatan ini sempat mendapat perhatian, tapi seperti banyak kasus lain, hukum berpihak pada pemodal.

Namun, perlawanan tak hanya ada di pengadilan. Gerakan rakyat mulai tumbuh dari akar. Masyarakat mulai sadar bahwa jika hukum bisa dibeli, maka kekuatan mereka ada di kesolidan dan tekanan publik.

1. Blokade Nelayan

Di beberapa kesempatan, nelayan berani memblokade alat-alat berat yang digunakan untuk reklamasi. Mereka tahu ini berisiko, mereka tahu bisa berhadapan dengan aparat. Tapi bagi mereka, diam berarti mati.

2. Masyarakat Adat Bergerak

Kelompok adat di sekitar pesisir Tangerang dan Banten juga mulai bersuara. Mereka menolak proyek yang merampas tanah dan laut yang menjadi bagian dari identitas mereka. Mereka bukan sekadar korban, tapi pemilik sah tanah ini sejak sebelum republik berdiri.

3. Tekanan Publik dan Media Alternatif

Ketika media arus utama diam atau malah berpihak pada pemodal, aktivis dan jurnalis independen mengambil alih. Media sosial menjadi alat perlawanan baru. Dokumentasi kerusakan akibat PIK 2 mulai menyebar luas. Video nelayan yang menangis karena lautnya berubah menjadi daratan buatan mendapat ribuan simpati.

Aguan mungkin punya uang tak berseri. Dia bisa membeli tanah, pejabat, bahkan hukum. Tapi satu hal yang tidak bisa dia beli adalah kesadaran rakyat yang terus tumbuh.

Sejarah membuktikan bahwa rakyat yang bersatu bisa mengalahkan pemodal besar. Reklamasi Teluk Benoa di Bali pernah dipaksakan, tapi akhirnya dibatalkan setelah bertahun-tahun perlawanan rakyat Bali. Proyek besar seperti Newmont di NTB dan Freeport di Papua pun pernah tertekan karena gerakan rakyat.

Perjuangan ini memang belum usai, tapi ada satu hal yang harus disadari: kemenangan melawan PIK 2 bukan hanya soal membatalkan proyek, tapi juga membangun kesadaran bahwa rakyat bisa melawan ketidakadilan.

Oleh: Desi Husna
Aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar