PARADAPOS.COM - Awal Ramadan 2025 diwarnai gelombang PHK besar-besaran. Ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian.
Dampaknya semakin terasa karena terjadi menjelang Idul Fitri, saat banyak dari mereka ingin pulang kampung dan butuh kestabilan finansial.
Ironis. UU Cipta Kerja yang diklaim pemerintah sebagai solusi penciptaan lapangan kerja justru jadi alat pemutusan hubungan kerja.
Alih-alih melindungi pekerja, regulasi ini memberi celah bagi perusahaan untuk memberhentikan pekerja tanpa tanggung jawab.
Sritex, raksasa tekstil Indonesia, jadi contoh nyata. Setelah puluhan tahun beroperasi, PT Sri Rejeki Isman Tbk akhirnya bangkrut.
Krisis keuangan yang berlangsung selama satu dekade mencapai puncaknya pada Mei 2021, saat Pengadilan Niaga Semarang memutuskan Sritex pailit. Dampaknya, per 1 Maret 2025, sekitar 12 ribu pekerja kehilangan pekerjaan.
Pemerintah mencoba meredam situasi. Mereka mengklaim dalam dua minggu ke depan para pekerja Sritex akan dipekerjakan kembali di bawah perusahaan baru. Namun, belum ada kejelasan mengenai status dan hak pekerja.
Gelombang PHK tak berhenti di Sritex. PT Yamaha Musik bersiap melepas sekitar 1.100 pekerja.
PHK akan dilakukan bertahap di dua pabrik, yakni di Kawasan Industri MM2100, Bekasi, dan Pulo Gadung, Jakarta Timur.
PT Sanken pun bernasib serupa. Setelah lebih dulu memecat 500 pekerja, produsen elektronik asal Jepang ini akan kembali merumahkan 400 pekerja pada Juni 2025.
Pepesan Kosong UU Cipta Kerja
Gelombang PHK yang masif bukan sekadar dampak ekonomi. Pakar hukum ketenagakerjaan dari UGM, Nabiyla Risfa Izzati, menilai ada korelasi erat antara maraknya PHK dan Undang-Undang Cipta Kerja.
Sejak proses penyusunannya, UU Cipta Kerja sudah menuai gelombang protes.
Unjuk rasa berlangsung di berbagai wilayah, bahkan sejak Agustus 2019, saat pemerintah mewacanakan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai fondasi undang-undang ini.
Para demonstran khawatir aturan ini akan merugikan banyak pihak.
Bagi pekerja, UU Cipta Kerja berarti pesangon yang lebih kecil, cuti wajib yang dipangkas, jam kerja lebih panjang, serta peluang perusahaan menggantikan pekerja penuh waktu dengan tenaga kontrak atau paruh waktu.
Dampaknya tak hanya dirasakan pekerja. Aktivis lingkungan memperingatkan bahwa undang-undang ini bisa mempercepat deforestasi, melemahkan upaya pengendalian gas rumah kaca, dan memperburuk krisis iklim.
Serikat pekerja menilai aturan ini berpihak pada investor dan mengabaikan kepentingan buruh. Sebaliknya, pemerintah berdalih bahwa UU Cipta Kerja diperlukan untuk memulihkan ekonomi yang terdampak pandemi COVID-19.
Pada awal perumusannya pemerintah mengklaim bahwa UU Cipta Kerja akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Klaim itu pernah disampaikan Joko Widodo saat masih menjabat presiden.
"UU Cipta Kerja bertujuan menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi pencari kerja dan pengangguran," kata Joko Widodo pada Oktober 2020 saat ia masih menjabat presiden, menanggapi demonstrasi penolakan pengesahan undang-undang ini.
Faktanya, UU Cipta Kerja justru mempermudah perusahaan melakukan PHK.
"Janji pemerintah bahwa UU ini akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya, ternyata pepesan kosong," ujar Nabiyla, Senin (3/3/2025).
Sudah empat tahun berlalu, tetapi investasi tak meningkat signifikan. Lapangan kerja yang dijanjikan pun tak kunjung terbuka luas.
'Cilaka' UU Cipta Kerja
Regulasi ini, lanjut Nabiyla justru memberi pengusaha keleluasaan untuk memberhentikan pekerja tanpa tanggung jawab. Pasal-pasal yang direvisi justru mempermudah PHK.
"Dalam UU Cipta Kerja, banyak perubahan pasal yang membuat PHK lebih mudah," kata Nabiyla, Senin (3/3/2025).
Ia menambahkan, tingginya angka PHK memang dipengaruhi banyak faktor, termasuk ekonomi pasca-Covid-19.
Namun, aturan baru membuat PHK berskala kecil hingga besar lebih leluasa dilakukan.
"Setelah UU Cipta Kerja, PHK memang lebih gampang dilakukan," tegasnya.
Dampaknya tergambar jelas dalam data Kementerian Ketenagakerjaan.
Sejak UU Cipta Kerja disahkan pada 2020, sebanyak 669.819 pekerja kehilangan pekerjaan dalam kurun 2021–2024.
Tahun 2021 mencatat angka tertinggi, dengan 538.305 pekerja terdampak, diperburuk oleh pandemi.
Pada 2022, jumlahnya turun drastis menjadi 25.114 pekerja, sedikit meningkat pada 2023 dengan 26.400 pekerja hingga Juli.
Namun, pada 2024, angka PHK melonjak lagi, mencapai 80.000 pekerja.
Ketua Umum KASBI, Nining Elitos, mengamini hal ini. Menurutnya, gelombang PHK besar-besaran terjadi karena UU Cipta Kerja memberi kemudahan bagi perusahaan untuk melepas pekerja dan menghindari tanggung jawab.
"Pengusaha semakin gampang lari dari kewajibannya," ujarnya.
Salah satu contoh nyata terjadi di PT Danbi Manunggal, Garut. Sebanyak 2.079 pekerja kehilangan pekerjaan setelah perusahaan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta, 10 Februari 2025. Tanpa kepastian, tanpa kompensasi yang layak.
Peringatan ini sebenarnya sudah muncul sejak lama. Pada 2021, pakar hukum ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan menegaskan bahwa UU Cipta Kerja membuat PHK lebih murah bagi perusahaan.
Setelah UU Cipta Kerja disahkan, aturan turunannya, PP Nomor 35 Tahun 2021, semakin memperjelas bagaimana pesangon pekerja dipangkas.
Jika dulu pekerja yang terkena PHK bisa berharap mendapat hak yang layak, kini mereka harus menerima kenyataan pahit: pesangon yang jauh lebih kecil.
Dalam aturan baru ini, PHK karena perusahaan sudah merugi hanya memberi pesangon sebesar 0,5 kali gaji.
Sementara itu, jika PHK dilakukan sebagai langkah pencegahan sebelum kerugian terjadi, pesangon yang diberikan hanya 1 kali gaji.
Angka ini jauh lebih kecil dibanding ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003.
Buruh yang kehilangan pekerjaan kini harus berjuang lebih keras, sementara perusahaan justru lebih leluasa melepas tanggung jawab.
Nining juga menilai kondisi saat ini membuktikan kekhawatiran publik sejak awal.
"Dari awal Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah diragukan. Kini terbukti, undang-undang ini malah melahirkan fleksibilitas tenaga kerja yang lebih murah, minim perlindungan, dan minim kesejahteraan," tegasnya.
Hak Pekerja Perlu Dilindung
Merespons situasi ini, Komnas HAM mendesak perusahaan untuk tidak melakukan PHK dan meminta pemerintah memastikan hak-hak pekerja tetap dilindungi.
"Komnas HAM meminta korporasi tidak melakukan PHK dan negara, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, memastikan hak-hak pekerja dihormati dan dilindungi," ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, dalam keterangannya.
Jika kasus PHK diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial, Komnas HAM menuntut transparansi, independensi, dan imparsialitas.
Selain itu, pemerintah diminta memastikan hak normatif pekerja tetap terpenuhi. Jaminan sosial harus diberikan hingga pekerja mendapatkan pekerjaan baru. Tunjangan hari raya juga wajib dibayarkan sesuai tenggat yang telah ditetapkan.
Nining pun mendesak pemerintah untuk hadir dan memastikan hak buruh terlindungi.
"Negara harus ada di barisan buruh. Jangan sampai pekerja yang telah puluhan tahun mengabdi malah dibiarkan terpuruk," tegasnya.
"Ini bukan soal buruh yang tidak produktif. Bisa jadi masalahnya ada pada buruknya tata kelola dan manajemen perusahaan," tambahnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Nasib Nikita Mirzani dan Vadel Badjideh di Saat Ramadan, Sama-sama Tersangka dan Masuk Bui
Nikita Mirzani Ditahan 20 Hari di Polda Metro Jaya, Barang Bukti Ini Jadi Alasannya!
Resmi Ditahan, Nikita Mirzani: Santai, Sesuai Kemauan Lo!
Viral Kasus BBM Oplosan, PB HMI Minta Pertamina Setop Jualan Pertamax