Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu: Pilihan Strategi Resistensi dan Kewajiban Kepemimpinan Etis

- Senin, 03 Maret 2025 | 14:50 WIB
Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu: Pilihan Strategi Resistensi dan Kewajiban Kepemimpinan Etis



OLEH: RILDA A OELANGAN TANEKO
   
INDONESIA memiliki kepemimpinan baru. Pada Minggu, 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke delapan dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Pelantikan ini disambut dengan demonstrasi di berbagai daerah, salah satunya di Yogyakarta.

Gabungan elemen masyarakat dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Muhammadiyah Yogya (UMY), Universitas Sanata Dharma dan perkumpulan aktivis Forum Cik Ditiro menyuarakan keresahan mereka, terutama terkait mundurnya indeks demokrasi Indonesia.


Dikutip dari wawancara Kompas per tanggal yang sama, Koordinator Lapangan Aksi Parade, Sirillus Maximilian, menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap pemerintahan presiden sebelumnya, Joko Widodo, yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung dari Wapres yang baru dilantik, antara lain mengenai praktik nepotisme dan pengkhianatan terhadap demokrasi.

“Banyak keluarga Jokowi masuk ke pemerintahan, harapannya tidak dilanjutkan oleh Presiden terpilih Prabowo,” ujarnya.

Jokowi yang dulu pernah dianggap rakyat Indonesia sebagai ‘The New Hope’, harapan baru bagi Indonesia, karena berasal dari luar dinasti politik dan membangun imej sebagai pemimpin yang merakyat, nyatanya telah menjelma menjadi dinasti yang lain, bahkan banyak pengamat menilai kepemimpinannya lebih buruk dari dinasti-dinasti sebelumnya.

Demonstrasi-demonstrasi anti-Jokowi dan keluarganya ini terus berlanjut, salah satunya lewat yel-yel dari gubahan lagu ‘Menanam Jagung’ yang menjadi viral di seluruh daerah: ‘Ganyang Fufufafa’. Namun, tampaknya harapan masyarakat pada pemerintah yang baru untuk tegas mengadili Jokowi dan memutus rantai nepotisme pupus di acara HUT ke-17 Partai Gerindra di Sentul, Sabtu, 15 Februari 2025.

Alih-alih menunjukkan keberpihakan pada tuntutan rakyat dan meneriakkan ujaran ‘Hidup Rakyat!’, Prabowo memilih untuk menunjukkan kesetiaannya pada Jokowi. ‘Hidup Jokowi!’ pekik Prabowo, dan ini disambut oleh kader Partai Gerindra dengan nyanyian ‘terima kasih Jokowi’.

Gelombang demonstrasi makin membesar dan bergulir tagar Indonesia Gelap. Berhari-hari massa aksi memenuhi jalan-jalan di banyak kota, antara lain Jakarta, Yogyakarta, Medan, Palembang, Lampung, Bandung, Salatiga, Surabaya, Makassar, Mataram dan berbagai kota di Papua.

Elemen mahasiswa dan pelajar dari berbagai daerah bergerak menyuarakan kegelisahan rakyat. Tidak hanya satu atau dua masalah yang mendera kehidupan rakyat.

Tuntutan rakyat mulai dari adili Jokowi, evaluasi naiknya pajak, evaluasi efisiensi dana anggaran yang tajam ke bawah, merampingkan kabinet yang gemuk, hapus korupsi besar-besaran dan tegakkan supremasi hukum, hapus fasilitas VIP pejabat yang merugikan publik, evaluasi program makan bergizi gratis yang tidak tepat sasaran, cegah maraknya PHK massal, penjelasan nasib IKN dan food estate, cegah maraknya judi online, sikapi antrean beli gas, menambah lapangan kerja, hapus diskriminasi fisik dan umur pelamar kerja, hentikan penggusuran rumah rakyat dan masyarakat adat, usut kasus pagar laut, usut praktik oplosan bensin, evaluasi Danantara dan masih banyak lagi segudang masalah lain.

Selain Indonesia Gelap, mencuat juga tagar Kabur Aja Dulu sebagai respons kekecewaan rakyat pada banyaknya masalah di Indonesia. Namun, respons rakyat ini direspons balik oleh presiden dan beberapa pejabat pemerintahan dengan perkataan seperti ‘ndasmu’, ‘kau yang gelap, bukan Indonesia …’ dan ‘kabur sajalah, kalau perlu jangan balik lagi.’

Tulisan singkat ini mencoba memahami gerakan Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu dari sisi strategi resistensi (strategies of resistance) dan mengurai kaitannya dengan kewajiban kepemimpinan etis.

Pilihan Strategi Resistensi

Prof David Collinson, pendiri kajian Critical Leadership Studies (CLS), dalam jurnal Strategies of Resistance: power, knowledge and subjectivity in the workplace dan bab di buku Resistance and Power in Organizations, membagi strategi resistensi menjadi dua, yaitu resistance through distance (resistensi melalui jarak) dan resistance through persistence (resistensi melalui kegigihan).

Menurut beliau, kedua strategi perlawanan ini kadang saling berkait dan saling melengkapi.

Secara gampang, gerakan Kabur Aja Dulu bisa dikategorikan dalam resistance through distance, karena keputusan individu atau kelompok untuk lari, mengambil jarak dan menghindar dari tekanan kekuasaan. Pilihan strategi resistensi melalui jarak ini biasanya diambil karena kekecewaan yang teramat dalam dan tidak adanya kejelasan informasi dan aturan untuk bisa terus berada di dalam organisasi atau negara dan melawan.

Di negara yang peraturan hukumnya bisa diubah sesuai kepentingan penguasa, bertahan di dalam dan melawan kekuasaan memang menjadi amat sulit dan memerlukan kegigihan yang besar. Perlawanan melalui kegigihan ini yang kemudian disebut dengan resistance through persistence dan contoh gampangnya adalah demonstrasi Indonesia Gelap.

Mahasiswa dan pelajar yang terus bergerak dan bersuara-berteriak untuk Indonesia yang lebih baik, berhari-hari, di bawah terik dan hujan, adalah wujud nyata dari perjuangan dan perlawanan melalui kegigihan. Mereka terus menuntut akuntabilitas, memonitor praktik dan penerapan kebijakan, juga berani mempertanyakan dan menantang proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah.

Lebih lanjut lagi, resistance through persistence bisa kembali dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Perlawanan melalui kegigihan bisa dilakukan dari dalam negara atau organisasi, maupun dari luar.

Dalam konteks ini, selain sebagai resistensi melalui jarak, gerakan Kabur Aja Dulu bisa juga dikategorikan sebagai strategi awal perlawanan melalui kegigihan dari luar atau eksternal. Individu-individu atau kelompok yang memutuskan untuk meninggalkan Indonesia bisa kembali bergabung dengan gerakan kolektif yang berjuang dari luar.

Kelompok-kelompok diaspora dan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di luar negeri, misalnya, bukan hanya diam menyaksikan segala permasalahan yang terjadi di Tanah Air. Berbagai diskusi dan aksi digelar di berbagai negara untuk mencermati dan menganalisis berbagai skandal yang terjadi di Indonesia. Tak sedikit juga yang kemudian bersuara di berbagai media sosial mereka.

Misalnya saja, PPI-United Kingdom yang menggelar sarasehan suara mahasiswa Indonesia di UK pada 21 Februari lalu. Dari forum ini, lahir pernyataan sikap dengan dua belas poin tuntutan, di antaranya meminta pemerintah mengevaluasi ‘efisiensi anggaran’, mengevaluasi program makan bergizi gratis, mengkaji ulang pembentukan Danantara, merampingkan kabinet merah-putih dan seterusnya.

Gerakan kolektif masyarakat sipil di luar negeri mampu turut menekan pemerintah untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang berada di dalam negeri, apalagi jika ini menyangkut citra dan imej negara di mata dunia internasional.

Tambahan lagi, kadang ada situasi-situasi yang memungkinkan perlawanan dari luar menjadi lebih efektif. Prof David Collinson mencontohkan kasus perjuangan oposisi Navalny melawan Kremlin yang malah menemui akhir tragis ketika ia memutuskan untuk kembali ke Rusia.

Saat penulis berbincang dengan Prof David Collinson mengenai strategi resistensi ini, beliau juga menekankan beberapa hal yang perlu digarisbawahi, yaitu kedua resistensi, baik melalui jarak dan melalui kegigihan, internal maupun eksternal, bukan hanya bergantung pada keberadaan fisik semata, namun juga perlawanan secara simbolik dan psikologis.

Secara simbolik, misalnya melalui bahasa, perlawanan bisa dilakukan dengan tulisan dan atau mengkritisi penggunaan kosa kata yang mungkin melanggengkan ketimpangan relasi kuasa, sekadar untuk menyebut beberapa contoh: pertama, penyebutan kata ‘istana’ untuk kediaman dan kantor presiden bisa dianggap tidak mencerminkan semangat negara republik yang berkedaulatan rakyat dan egaliter.

Kedua, penyebutan sumber uang negara sebagai ‘dana dari pemerintah’ dan bukan ‘uang pajak rakyat (tax payer money)’ dianggap melanggengkan relasi kuasa negara atas rakyat dan bisa dianggap tidak mencerminkan semangat demokrasi, juga mereduksi akuntabilitas dan pertanggungjawaban pemerintah pada rakyat.

Secara psikologis, seseorang bisa saja secara fisik tetap berada di satu organisasi atau negara namun menutup diri dan memilih untuk tidak peduli, sementara ada orang yang berada di luar organisasi atau negara tersebut namun terus kritis dan melakukan aksi protes terhadap praktik dan kebijakan organisasi atau negara tersebut.

Contoh dari refleksi pengalaman penulis selama hidup di Indonesia dan di Eropa, ada individu-individu yang berada di Indonesia namun sudah apatis dan tak peduli lagi dengan apa pun yang terjadi, dan ada juga individu atau kelompok diaspora dan eksil Indonesia di Eropa yang mendedikasikan hidup dan jiwa mereka hanya untuk memikirkan Indonesia.

Di mana pun seseorang berada, baik di dalam negeri mau pun di luar, memilih menjadi apatis dan tidak peduli pada praktik dan kebijakan pemerintah adalah juga bentuk perlawanan melalui jarak, namun hal ini bisa kontra-produktif dengan perjuangan demokrasi karena sikap apatis hanya akan memperkuat legitimasi kontrol yang hierarkis, tidak menantang sikap pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, dan meningkatkan risiko masyarakat untuk lebih rentan pada pendisiplinan dan represi kekuasaan.

Serupa dengan peringatan yang diberikan seorang filsuf Yunani, Plato, bahwa ‘harga yang harus dibayar oleh orang-orang baik karena ketidakpedulian mereka dengan urusan publik adalah mereka akan diperintah oleh orang-orang jahat’.

Kewajiban Kepemimpinan Etis

Studi kepemimpinan bisa dibagi menjadi tiga pendekatan besar yaitu heroik, pos-heroik dan kritikal. Pendekatan heroik lebih terfokus pada sosok pemimpin (leader-centred), meromantisasi pemimpin dan kepemimpinan satu orang, dan kerap melihat pemimpin sebagai sosok sempurna tanpa cela, penyelamat bagi semua umat dan memiliki super-power untuk menyelesaikan segala masalah.

Perspektif pos-heroik tidak lagi melihat pemimpin sebagai super-hero namun lebih menekankan pada kepemimpinan kolektif dan pembagian kekuasaan. Namun, pandangan ini kerap terbagi menjadi dua kutub: satu, melihat semua orang sebagai pemimpin hingga memberi ruang yang kecil untuk peran pengikut (followership) dan dua, meromantisasi followership dan resistensi hingga memberi ruang yang sempit untuk kepemimpinan (leadership).

Pendekatan kritikal hadir untuk membangun dialog antara dua pendekatan arus utama di atas. Critical Leadership Studies (CLS) melihat kepemimpinan sebagai proses dinamika kekuasaan antara pemimpin dan pengikut. Pendekatan ini melihat leaders (pemimpin) dan followers (pengikut) sebagai dua bagian aktif dan tak terpisahkan dalam dinamika kekuasaan.

Pemimpin tidak akan pernah menjadi pemimpin tanpa pengikut. Pemimpin pun kadang tak pernah lepas dari peran gandanya sebagai pengikut. Kerap kali, pemimpin yang baik adalah juga pengikut yang baik. Pengikut bukanlah sosok pasif seperti kerbau dicucuk hidung, namun agen perubahan dan kebijakan yang memiliki pengetahuan dan kekuasaan.

Bahkan beberapa penelitian membuktikan adanya masyarakat indigenous tanpa pemimpin dan hierarki (acephalous/headless societies). Kebanyakan, menemukan masyarakat yang mewakilkan kepemimpinan kelompok mereka pada anggota kelompok secara bergilir tanpa membiarkan wakil mereka tersebut berkuasa atas mereka.

Selain dinamika leaders-followers, pendekatan CLS ini juga melihat dinamika kekuasaan dan saling-silang (intersectionality) lapisan identitas, seperti kelas, ras, gender dan sebagainya.

Dalam sistem demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat, sesungguhnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil yang mereka pilih dalam sistem pemilihan bebas. Namun, apa yang terjadi jika realitas yang ada malah sebaliknya, ketika pemimpin dan pejabat malah dengan arogan menunjukkan kekuasaan di atas rakyat?

Secara alami maka perlawanan rakyat akan hadir. Sesungguhnya dialektika kekuasaan dan perlawanan, kepemimpinan dan resistensi, adalah seperti dua sisi mata uang. Seorang filsuf Prancis, Michel Foucault, mengatakan: ‘di mana ada kekuasaan, maka di situ ada perlawanan, dan sebaliknya, atau lebih tepatnya, perlawanan ini tidak pernah berada dalam posisi eksterioritas dalam kaitannya dengan kekuasaan’.

Dalam konteks bernegara, pendekatan CLS melihat perlawanan atau resistensi dari rakyat sebagai wujud rasional guna mengekspresikan rasa ketidakadilan, kesadaran terhadap korupsi, melihat kesenjangan antara kebijakan dan perilaku politik dan sebagainya.

Resistensi umumnya hadir ketika rakyat merasa negara sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tak jarang, perlawanan besar lahir ketika keadaan sedang genting dan krisis terjadi. Meski begitu, Prof David Collinson menggarisbawahi bahwa resistensi ada karena rakyat memiliki harapan untuk perubahan.

Harapan untuk negara menjadi lebih baik ini-lah yang menjadi nyala perlawanan masyarakat sipil. Respons pemerintah hendaknya bijak, tidak melihat resistensi sebagai hal yang buruk dan harus dibasmi, juga mampu menjawab keresahan dan harapan rakyat dengan kembali pada dasar-dasar negara, menegakkan perundang-undangan, supremasi hukum, memberikan kepastian politik dan menjunjung nilai kemanusiaan.

Resistensi hendaknya dilihat sebagai kekuatan bersama untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Meski filsuf Italia, Antonio Gramsci, pernah mengatakan bahwa masyarakat sipil di Barat memiliki kekuatan dan ketahanan jika berhadapan dengan kekuasaan negara, sementara masyarakat sipil di Timur bersifat gelatinous ?"seperti jeli yang lembek dan hancur sekali pukul, penulis melihat analisa ini tidak sepenuhnya benar.

Nyatanya Indonesia pernah membuktikan pada saat Reformasi 1998 bahwa kekuatan rakyat sipil mampu merobohkan kekuasaan militeristis yang telah mengakar selama puluhan tahun di Indonesia.

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kepemimpinan yang cocok untuk sistem demokrasi adalah servant leadership?"kepemimpinan yang melayani masyarakat. Hingganya pegawai negeri sipil atau PNS disebut juga sebagai civil servant. Salah satu ciri kepemimpinan ini adalah mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan kelompok.

Ahli kepemimpinan etis, Prof David Knights dan Majella O’Leary, dalam tulisan mereka Leadership, Ethics and Responsibility to the Other, mengutarakan bahwa krisis kepemimpinan kerap bersumber pada individualisme dan ini terwujud dalam sikap pemimpin yang sibuk memikirkan dan mementingkan diri sendiri (preoccupied with the self).

Alih-alih memiliki tanggung jawab dan memikirkan rakyat, individualisme membuat pemimpin memiliki kekhawatiran yang teramat besar akan imej dan citra dirinya sendiri dan ingin mendapat konfirmasi dari orang lain atas imej tersebut. Hal ini bisa berakhir hanya pada pencapaian materi dan kesuksesan semu semata.

Konsep individualisme lahir dan berkembang dari peradaban modern Eropa yang disebut dengan ‘zaman pencerahan’ (the Age of Enlightenment, 1685-1815). Sementara masa peradaban pre-modern tidak mengenal konsep individualisme.

Pada masa pre-modern, tidak ada pemisahan yang tegas antara individu dan masyarakat. Setiap perilaku individu tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan diri sendiri, namun sebagai refleksi dari arti keberadaan dan perannya sebagai anggota dalam masyarakat di mana dia berada.

Karenanya, Prof David Knights dan Majella O’Leary menekankan pentingnya kepemimpinan yang tidak sibuk memikirkan diri sendiri (preoccupied with the self). Pemimpin yang sibuk dengan diri sendiri hendaknya beralih menjadi pemimpin yang memiliki tanggung jawab pada yang lain (responsibility to the other).

Konsep the other (yang lain) di sini menjadi bagian di luar the self atau diri kita sendiri dan keberadaan yang lain mencetuskan wacana yang hadir sejak awal peradaban manusia, yaitu mengenai kata kewajiban. Kewajiban terhadap sesama ini transendental mengantarkan manusia pada sumber yang hakiki yaitu pada kekuasaan Tuhan.

Dalam konteks yang lain dan bernegara, rakyat bisa memanggil pemimpin dengan menyuarakan aspirasi mereka dengan berbagai cara, misalnya berdemonstrasi, menciptakan gerakan massa Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu, mengingatkan pemerintah untuk melihat panjangnya antrean ibu-ibu untuk membeli kebutuhan pokok seperti gas, dan sebagainya, namun sesungguhnya keberadaan rakyat sebagai rakyat saja seharusnya sudah cukup untuk para pemimpin melepas jubah kebesaran akan diri sendiri, keluarga dan kelompok masing-masing, dan melebur dalam kewajiban mereka sebagai wakil dari masyarakat dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Menurut Prof David Knights dan Majella O’Leary, sesungguhnya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mendefinisikan realitas dan situasi yang mengekspresikan imajinasi, identitas dan kepentingan masyarakatnya.

Tambahan lagi, menurut mereka, dengan memikirkan orang lain, kita akan menemukan arti tanggung jawab dan kemerdekaan yang hakiki. 

(Penulis adalah Novelis Indonesia Peraih Krakatau Award)

Komentar

Terpopuler