Perlawanan Prabowo Yang Berujung Kepatuhan Kepada Jokowi: 'Antara Ambisi Politik dan Kekecewaan Publik'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Prabowo Subianto dua kali bertarung dalam kontestasi Pilpres melawan Joko Widodo, yakni pada tahun 2014 dan 2019.
Dalam dua kesempatan itu, Prabowo tampil sebagai oposisi yang keras, menyoroti berbagai kelemahan kepemimpinan Jokowi, termasuk soal ekonomi, kedaulatan negara, hingga independensi politik luar negeri.
Namun, perubahan sikapnya setelah menerima dukungan dari Jokowi menimbulkan kekecewaan besar di kalangan pendukungnya yang dulu melihatnya sebagai alternatif dari kepemimpinan Jokowi.
Dua Kali Bertarung, Dua Kali Kalah
Pada Pilpres 2014, Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa mengusung tema kemandirian ekonomi dan kedaulatan negara.
Ia menuding kebijakan ekonomi Jokowi pro-asing dan tidak memihak rakyat.
Namun, hasil menunjukkan Jokowi unggul dengan 53,15% suara melawan 46,85% suara Prabowo.
Prabowo menolak hasil tersebut dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), meski akhirnya gugatan itu ditolak.
Lima tahun berselang, pada 2019, Prabowo kembali menantang Jokowi, kali ini berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Dalam narasinya, ia kembali menuduh pemerintah Jokowi gagal dalam banyak aspek, termasuk melemahnya nilai tukar rupiah, naiknya utang negara, dan lemahnya pemberantasan korupsi.
Prabowo bahkan secara terbuka menyatakan bahwa dirinya akan membela rakyat dari oligarki dan praktik politik dinasti.
Namun, hasilnya tetap sama: Prabowo kalah dengan perolehan 44,50% suara melawan 55,50% suara Jokowi.
Perubahan Sikap Drastis: Dari Oposisi ke Loyalis
Hanya beberapa bulan setelah Pilpres 2019, publik dikejutkan dengan keputusan Prabowo menerima tawaran Jokowi untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Ini adalah pukulan telak bagi pendukungnya yang selama bertahun-tahun memposisikannya sebagai oposisi garis keras terhadap Jokowi.
Lebih mengejutkan lagi, setelah Jokowi memberikan dukungan kepada Prabowo sebagai calon presiden 2024, Prabowo tak hanya menerima dukungan itu, tetapi juga mulai memuji Jokowi sebagai “gurunya” dan berjanji akan melanjutkan seluruh program Jokowi, termasuk proyek kontroversial seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).
Kekecewaan Publik dan Rasa Dikhianati
Bagi banyak pendukung Prabowo, perubahan ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip perjuangan yang ia gaungkan selama satu dekade.
Mereka yang memilih Prabowo di dua Pilpres sebelumnya melakukannya bukan hanya karena mendukungnya secara pribadi, tetapi lebih karena menolak Jokowi.
Kini, dengan Prabowo bersekutu dengan Jokowi, banyak di antara mereka merasa kehilangan pilihan politik yang mereka yakini sebagai alternatif.
Media sosial dipenuhi oleh komentar-komentar bernada kecewa dari para mantan pendukungnya yang menyatakan bahwa mereka merasa tertipu.
Data survei menunjukkan adanya pergeseran basis dukungan Prabowo. Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat bahwa sejak menerima dukungan Jokowi, elektabilitas Prabowo di kalangan pemilih yang dulu menolak Jokowi mengalami penurunan.
Sebagian besar pendukung Prabowo kini mulai melirik alternatif lain, seperti Anies Baswedan atau tokoh-tokoh yang masih dianggap konsisten dalam bersikap.
Kesimpulan: Ambisi Kekuasaan Mengorbankan Kepercayaan
Kasus Prabowo menjadi contoh klasik bagaimana ambisi politik dapat mengalahkan prinsip.
Dari seorang oposisi yang vokal, ia kini menjadi loyalis Jokowi yang berkomitmen melanjutkan kebijakan-kebijakan yang dulu ia kritik.
Bagi para pemilih yang menginginkan perubahan, ini adalah sebuah ironi yang pahit.
Mereka yang dulu melihat Prabowo sebagai simbol perlawanan kini melihatnya sebagai bagian dari sistem yang ia lawan.
Apakah Prabowo bisa tetap mempertahankan dukungannya di 2024? Ataukah ini akan menjadi boomerang yang membuatnya kehilangan basis pemilih utamanya? Jawabannya akan terungkap dalam perjalanan politiknya ke depan. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
KACAU! Diduga Ada Tangan Boy Thohir di Kasus Korupsi PT Pertamina Patra Niaga
Menteri-Menteri Yang Seharusnya Mundur: Ujian Kepemimpinan Presiden Prabowo
Geram Disertasi Bahlil Direkomendasikan Dibatalkan, Golkar: Kami Curiga Ada Kepentingan Politis!
Dosen DKV Universitas Paramadina lolos Tjilatjap International Film Festival (TJIFF) 2025