Erick Thohir Dalam Pusaran Korupsi Pertamina

- Senin, 03 Maret 2025 | 09:00 WIB
Erick Thohir Dalam Pusaran Korupsi Pertamina


ERICK TOHIR, RIVA SIAHAAN, RIZA CHALID & KORUPSI PERTAMINA 


Oleh: Faisal Lohy


Kasus pertamax oplosan makin memperjelas permainan licik para mafia migas yang merampok kekayaan keuangan negara di sektor energi, terutama BBM nasional. 


Pertamax oplosan hanyalah permukaan. Hanya printilan kecil yang menjadi pandora untuk melihat betapa sistematis dan hebatnya perampokan uang negara oleh jejaring mafia migas yang didukung regulasi dan kekuasaan negara.  


Kejagung telah mentepakan 9 tersangka dalam kasus ini. Salah satu nama yang sangat populer adalah Riva Siahaan, direktur Pertamina Patra Niaga (subholding Pertamina). 


Riva Siahaan diangkat sebagai Dirut Pertamina Patra Niaga oleh Menteri BUMM Erick Tohir pada 2023 lalu. Pengangkatan ini, banyak dikiritik dan disesalkan banyak pihak. Pasalnya Erick Tohir sendiri pun tau, bahwa Riva bukan orang bersih. 


Riva pernah terkait dengan permainan licik Riza Chalid ketika bekerja sebagai bunker di PT. Petral yang dibubarkan pemerintah dan komisi VII DPR-RI karena terbukti merampok uang negara lewat proses mark-up pembelian minyak impor ke dalam negeri. 


PT. Petral dibubarka pada 2015 lalu. Erick Tohir kemudian kembali menetapkan Riva Siahaan, anak buah Riza Chalid (pengendali jaringan mafia migas PT. Petral) sebagai dirut Pertamina Patra Niaga Pada 2023. 


PT. Petral adalah sarang mafia migas. Statusnya sebagai anak usaha Pertamina yang ditugaskan untuk pengadaan minyak impor, disetir broker Riza Chalid sebagai ember bocor untuk merampok APBN. 


Puncaknya pada 2015 dengan terbongkarnya perampokan uang negara lewat proses murk-up pembelian minyak impor oleh Petral. Diketahui harga pasarnya hanya US$ 70 per barel, di mark-up menjadi US$ 100 per barel. 


Riza Chalid adalah manusia paling bertanggung jawab dan mengambil untung dari proses mark-up tersebut. Berdasarkan hasil audit forensik PT. Petral pada 2015 lalu, proses mark-up dikendalika Riza Chalid dengan merekayasa kebocoran data informasi harga pengadaan minyak untuk crude dan oil melalui email [email protected]


Melalui email group ini, berdasarkan arahan Riza Chalid, semua data rahasisa Pertamina Energy Service (PES), termasuk harga perkiraan sendiri (HPS) dibocorkan orang dalam Pertamina ke pihak luar. 


Pihak luar yang menerima kebocoran data informasi daftar harga itu adalah Global Emergy Resource dan Veritaoil yang terafiliasi atau dimiliki oleh Riza Chalid. 


Setelah menerima kebocoran data, Riza Chalid kemudian mengatur harga pembelian dan instruksi kepada para pemasok minyak impor, diantaranya ENI Trading & Shipping, Vitol Asia Ltd, PTT International Trading, dan Glencore Singapore Ltd. 


Dalam proses ini, terjadi mark-up harga yg mengakibatkan Pertamina Energy Service tidak bisa memperoleh harga kompetitif dengan ekses merugikan negara sekitar US$ 30 per barel. 


Kasus ini telah diusut beberapa kali. Baik oleh KPK maupun Bareskrim Polri. Namun kandas hingga saat ini. Nampaknya kekuataan uang Riza Chalid membuatnya sulit tersentuh hukum. 


Sampai hari ini, kuasa broker Riza Chalid masih dominan sebagai pihak ke-3 yang mengendalikan jaringan mafia impor minyak negara di tubuh Pertamina. Riza Chalid masih leluasa dan masih sangat berkuasa mengendalikan kaki tangannya di Pertamina. 


Eksistensi Riza Chalid di tubuh Pertamina, belakangan terbongkar bersamaan dengan kasus pertamax oplosan. Eksistensi Riza Chalid tercium lewat peran anak kandungnya, Kerry Adrianto Riza. 


Kerry Adrianto Riza adalah beneficial owner atau pemilik perusahan broker PT. Navigator Katulistiwa yang dimenangkan sebagai broker pengadaan minyak mentah dan produk kilang Pertamina yang dilakukan secara melawan hukum. 


Dalam proses pengadaan minyak, Kerry Adrianto dan kolega broker lainnya bekerjasama dengan kaki tangan Riza Chalid, yakni Riva dan orang dalam Sub Holding Pertamina lainnya. Mereka bersepakat merekayasa dan menetapkan harga spot yang tinggi. 


Dalam konteks pembelian, Riva Siahaan lewat Pertamina Patra Niaga kemudian membeli kepada Broker Kerry dan kolega dengan harga mark-up yg sangat merugikan negara. Kejagung mencatat, akibat mark-up tersebut, kerugian negara dari pembelian impor Minyak Mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun dan impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun. 


Di dalamnya termasuk kerugian yg dilakukan Riva Siahaan membeli pertalite dengan harga pertamax kepada broker Kerry (anak Riza Chalid). Artinya, Riva dan Kerry di atas kertas membuat kontrak pembelian pertamax yg harganya lebih tinggi. Padahal sejatinya yg dibeli hanyalah pertalite yg harganya lebih rendah. Kemudian ditambahkan zat pewarna pada proses meadstream untuk merubah wujud pertalite menjadi pertamax. 


Selanjutnya, manipulasi dan Mark-up harga yang begitu tinggi mengakibatkan penentuan harga indeks pasar (HIP) kepada masyarakat menjadi tinggi. Konsekusninya, mengakibatkan pembengkakan beban APBN untuk membayar kompensasi dengan kerugian Rp 126 triliun (2023) dan pembengkakan kerugian subsidi BBM Rp 21 triliun (2023). 


Pembuktian Kejagung ini menunjukan, tuduhan pemerintah selama ini, bahwa subsidi BBM kepada masyarakat membebani dan merugikan APBN adalah kalimat konyol yang tidak berdasar. Subsidi dan kompensasi BBM justru bocor dan dimanipulasi untuk membayar perilaku pejabat negara dan oligarki mafia migas. 


Tidak cukup sampai disitu, Riva Siahaan, Kerry Chalid dan orang dalam sub holding Pertamina, juga terbukti melakukan manipulasi dengan menjatuhkan harga jual ekspor minyak mentah dalam negeri dengan ekses kerugian sekitar Rp35 triliun. 


Sehingga total kerugian dalam setahun (2023) akibat perilaku korup ini capai Rp 193,7 triliun. 


Inilah fakta yang menunjukan bahwa pertamina lewat sub holdingnya adalah ladang korupsi mafia migas yg terdiri dari pejabat dan oligarki. Dimana Riza Chalid lewat anaknya masih berkuasa mendikte pejabat negara bersama-sama merampok uang negara. 


Riza Chalid dan anaknya Kerry, masih punya kuasa menitipkan dan mengendalikan kaki tangannya di tubuh pertamina lewat sub holding. 


Dimana dalam kasus ini, membuktikan, bahwa Riva Siahaan (direktur utama Pertamina Patra Niaga) adalah proxy yang sengaja dipasang Riza Chalid sebagai jalur utama memuluskan proses perampokan uang negara. 


Mirisinya yang mengangkat Riva sebagai direktur utama Pertamina Patra Niaga adalah Menteri BUMN Erick Tohir. 


Sangat disayangkan, Riva Siahaan bekas pecatan PT. Petral, anak buah Riza Chalid dilantik Erick Tohir sebagai direktur Sub Holding Pertamina. Apa alasan Erick Tohir mengangkatnya ? Apakah Erick tidak paham Riva adalah bekas pesuruh Riza Chalid di PT. Petral ? Erick Tohir pasti paham betul. Terus apa alasan Erick Tohir mengangkatnya? Entahlah... 


Seperti yang dikatakan Ahok: "Tak habis pikir, 2015, Riva sempat bekerja di anak perusahaan Pertamina yakni sebagai Bunker Trader di Pertamina Energy Services Pte Ltd (Petral)". 


"Petral, sarang mafia dibubarkan, tapi kenapa kemarin orang Petral jadi Dirut Patra Niaga? Jangan tanya saya, tanya ke Menteri BUMN dong!”.  



Saya tidak sedang membela Ahok. Dia banyak bacot untuk mengalihkan perhatian. Dia juga salah satu yang berpotensi terlibat dan pantas diperiksa kejagung. 


Pertamina dan impor minyak memang selalu menjadi incaran para mafia, termasuk pejabat korup untuk memperkaya diri. 


Lihat saja, saat ini tingkat produksi minyak nasional hanya mencapai sekitar 580.000 barel per hari, sementara konsumsi BBM nasional mencapai 1,5 juta barel per hari. Ini memicu defisit pasokan energi yang signifikan. 


Maka, sebagai langkah untuk menutupi kekurangan tersebut, Pertamina Patra Niaga melakukan impor sekitar 500.000 barel BBM setiap hari. Sementara kilang Pertamina juga mengimpor minyak mentah dengan jumlah yang sama, yakni 500.000 barel per hari. 


Dengan demikian, menghasilkan total impor per hari sebanyak 1 juta barel, yang terdiri dari BBM dan minyak mentah. Potensi impor yg begitu besar, menjadi sangat seksi, menjadi incaran para pemburu rente merampok uang negara lewat proses murk-up. 


Selama produksi minyak masih sengaja disetir mafia dan pejabat negara dengan pola produksi merampok yg terus membuat jumlahnya anjlok, sehingga indonesia masih terus bergantung tinggi terhadap impor, selama itu juga pola korup yg merugikan negara dan menyulitkan rakyat akan terus terjadi. 


Untuk masalah seberat ini, prabowo masih saja setia dengan omon-omonnya. Shame on you. ***

Komentar

Terpopuler