Fenomena #AdiliJokowi : Ekspresi Publik Yang Kecewa & Marah? Apa Saja Penyebabnya? SIMAK!

- Sabtu, 01 Maret 2025 | 17:35 WIB
Fenomena #AdiliJokowi : Ekspresi Publik Yang Kecewa & Marah? Apa Saja Penyebabnya? SIMAK!




PARADAPOS.COM - Fenomena #AdiliJokowi muncul sebagai bentuk ekspresi kekecewaan publik terhadap mantan Presiden Joko Widodo. 


Beberapa faktor yang menyebabkan gerakan ini semakin menguat antara lain:


1. Kekecewaan terhadap Kebijakan Pemerintahan Jokowi: Masyarakat merasa sejumlah kebijakan yang diterapkan selama masa kepemimpinan Jokowi tidak berpihak pada rakyat dan merugikan demokrasi. Hal ini memicu ketidakpuasan yang kemudian diekspresikan melalui tagar #AdiliJokowi. 


2. Laporan OCCRP: Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memasukkan nama Jokowi sebagai salah satu finalis orang terkorup di dunia. Meskipun belum ada bukti konkret di pengadilan, laporan ini memicu reaksi keras dari masyarakat yang semakin skeptis terhadap integritas kepemimpinan Jokowi. 


3. Peran Media Sosial: Platform seperti Twitter (sekarang dikenal sebagai X) menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Tagar #AdiliJokowi dengan cepat menjadi trending topic, menunjukkan besarnya dukungan dan partisipasi publik dalam gerakan ini. 


4. Transisi Kepemimpinan: Peralihan dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo Subianto menciptakan dinamika politik yang mempengaruhi persepsi publik. Beberapa pihak mungkin memanfaatkan situasi ini untuk menguji kekuatan atau mempengaruhi opini publik terhadap rezim Jokowi pasca kekuasaannya. 


5. Respons Pemerintah yang Defensif: Analis komunikasi politik, Hendri Satrio, menilai bahwa pemerintah gagal memahami esensi gerakan ini dan cenderung bersikap defensif serta mengabaikan suara-suara rakyat. Sikap ini justru memperburuk kepercayaan publik dan memperkuat gerakan #AdiliJokowi. 


6. Predisposisi Anti-KKN: Masyarakat Indonesia memiliki predisposisi anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi, kekecewaan terhadap dugaan praktik KKN mungkin terpendam dan baru diekspresikan secara terbuka setelah masa jabatannya berakhir. 


Kombinasi faktor-faktor di atas berkontribusi pada penguatan gerakan #AdiliJokowi sebagai bentuk tuntutan masyarakat untuk keadilan dan transparansi dalam pemerintahan.


Kebijakan-kebijakan apa saja yang sangat mengecewakan masyarakat selama Jokowi menjadi presiden? 


Selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), terdapat sejumlah kebijakan yang memicu kekecewaan dan kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Berikut adalah beberapa di antaranya:


1. Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan: Pada tahun 2020, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Kenaikan ini terjadi di tengah pandemi COVID-19, yang memberatkan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. 


2. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law): UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan dengan tujuan meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Namun, banyak pihak menilai UU ini mengurangi perlindungan bagi pekerja dan berpotensi merusak lingkungan, memicu protes besar di berbagai daerah. 


3. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK): Pada tahun 2019, pemerintah bersama DPR merevisi UU KPK yang dianggap melemahkan lembaga antikorupsi tersebut. Langkah ini memicu demonstrasi luas dari mahasiswa dan masyarakat yang khawatir terhadap komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. 


4. Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur: Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur menuai kritik terkait biaya besar, dampak lingkungan, dan ketidakpastian kelanjutan proyek di masa depan. 


5. Penanganan Pandemi COVID-19: Kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi, termasuk penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan distribusi vaksin, mendapat kritik karena dianggap kurang terkoordinasi dan berdampak negatif pada perekonomian masyarakat kecil. 


6. Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Penundaan Pemilu: Isu mengenai perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau penundaan pemilu 2024 menimbulkan kekhawatiran publik terhadap potensi kemunduran demokrasi di Indonesia. 


7. Proyek Rempang Eco-City: Pembangunan proyek ini di Kepulauan Riau menyebabkan bentrokan antara aparat keamanan dan masyarakat adat yang merasa hak-hak mereka diabaikan, memicu kritik terhadap pendekatan pemerintah dalam pembangunan. 


8. Dugaan Nepotisme dalam Politik: Pengangkatan anggota keluarga Presiden dalam posisi politik, seperti putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, dan putra bungsunya, Kaesang Pangarep, sebagai ketua partai politik, menimbulkan kekhawatiran tentang praktik nepotisme dan konsolidasi kekuasaan keluarga. 


Kebijakan-kebijakan di atas telah memicu berbagai reaksi dan protes dari masyarakat, mencerminkan kekecewaan terhadap arah kebijakan pemerintah selama masa jabatan Presiden Jokowi.


Selain kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa keputusan dan tindakan lain selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang menimbulkan kontroversi dan kekecewaan di kalangan masyarakat:


Penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ini menuai kritik karena beberapa pasalnya dianggap dapat membuka celah korupsi. Misalnya, Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa pejabat yang melaksanakan Perppu ini tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana asalkan bertindak dengan itikad baik. Hal ini memicu kekhawatiran terkait akuntabilitas dan transparansi penggunaan anggaran penanganan pandemi. 


Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi: Keputusan untuk tetap menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020, meskipun pandemi COVID-19 masih berlangsung, mendapat kritik dari berbagai pihak. Organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyarankan penundaan Pilkada untuk mencegah potensi peningkatan penularan virus. Namun, pemerintah dan DPR tetap melanjutkan agenda tersebut, menimbulkan kekhawatiran akan kesehatan dan keselamatan publik. 


Penunjukan Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan: Pada Desember 2020, Presiden Jokowi merombak kabinetnya dan menunjuk Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan, menggantikan Terawan Agus Putranto. Penunjukan ini menuai kontroversi karena Budi Gunadi Sadikin berlatar belakang bankir dan bukan seorang dokter. Beberapa pihak meragukan kemampuannya dalam menangani sektor kesehatan, terutama di tengah pandemi. 


Upaya Konsolidasi Kekuasaan Pasca-Kepresidenan: Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi diduga berupaya membentuk basis kekuasaan politik pasca-kepresidenan. Spekulasi ini muncul setelah pengunduran diri mendadak Airlangga Hartarto, ketua Partai Golkar, yang diduga terkait dengan tekanan politik dan investigasi korupsi. Langkah-langkah ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi pengaruh Jokowi yang berkelanjutan dalam politik Indonesia setelah masa jabatannya berakhir. 


Pelemahan Institusi Demokrasi dan Kembalinya Politik Patronase: Selama satu dekade kepemimpinannya, Presiden Jokowi dikritik karena dianggap melemahkan institusi demokrasi dan menghidupkan kembali praktik politik patronase serta dinasti politik. Kritikus menilai bahwa Jokowi berupaya memanipulasi hukum untuk keuntungan pribadi dan keluarganya, serta menggunakan lembaga negara untuk mengendalikan lawan politiknya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi Indonesia. 


Keputusan dan tindakan di atas menambah daftar kebijakan kontroversial yang memicu kekecewaan di kalangan masyarakat selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.


Selain kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa keputusan dan tindakan lain selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang menimbulkan kontroversi dan kekecewaan di kalangan masyarakat:


Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT): Pada tahun akademik 2024-2025, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Kebijakan ini mengakibatkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi. Langkah ini menuai kritik karena dianggap memberatkan mahasiswa dan keluarga, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang. 


Iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera): Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera. Program ini mewajibkan pekerja untuk menyisihkan 3% dari gaji mereka sebagai iuran Tapera. Meskipun bertujuan membantu masyarakat memiliki rumah, kebijakan ini dikritik karena dianggap menambah beban finansial pekerja dan kurangnya kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana oleh pemerintah. 


Perpanjangan Kontrak PT Freeport Indonesia: Pemerintah memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia hingga tahun 2061 melalui PP Nomor 25 Tahun 2024. Meskipun pemerintah meningkatkan kepemilikan saham dari 51% menjadi 61%, keputusan ini menuai kritik karena dianggap memberikan konsesi terlalu lama kepada perusahaan asing dan kurangnya transparansi dalam proses negosiasi. 


Pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Organisasi Masyarakat (Ormas): Melalui PP Nomor 25 Tahun 2024, pemerintah mengizinkan Ormas keagamaan untuk memiliki IUPK. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai organisasi lingkungan dan advokasi tambang, yang menilai bahwa pertambangan memerlukan modal dan teknologi tinggi serta berpotensi merusak lingkungan. 


Pembukaan Kembali Ekspor Pasir: Pemerintah membuka kembali izin ekspor pasir melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 dan 21 Tahun 2024. Langkah ini dikritik karena dikhawatirkan akan merusak ekosistem laut dan pesisir, serta mengulang kesalahan masa lalu terkait eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. 


Revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN): Pada Oktober 2023, DPR mengesahkan revisi UU IKN yang memberikan berbagai insentif kepada investor, termasuk Hak Guna Usaha (HGU) hingga 190 tahun. Revisi ini dianggap terlalu memanjakan investor dan menimbulkan kekhawatiran terkait kedaulatan serta keberlanjutan proyek IKN. 


Reshuffle Kabinet Menjelang Akhir Masa Jabatan: Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2024. Langkah ini dinilai sebagai bentuk kepanikan politik dan menimbulkan spekulasi terkait stabilitas pemerintahan di penghujung masa jabatan. 


Wacana Revisi UU untuk Menghidupkan Dwi Fungsi ABRI: Pemerintah mengusulkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memungkinkan anggota TNI/Polri menduduki jabatan ASN. Usulan ini memicu kekhawatiran akan kembalinya praktik dwi fungsi ABRI seperti pada era Orde Baru, yang dapat mengancam profesionalisme militer dan netralitas birokrasi. 


Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pemerintah menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kenaikan ini dikhawatirkan akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga memberatkan konsumen dan pelaku usaha. 


Kebijakan-kebijakan di atas menambah daftar keputusan kontroversial yang memicu kekecewaan di kalangan masyarakat selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.


Selain kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa keputusan dan tindakan lain di bidang politik dan hukum selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang menimbulkan kontroversi dan kekecewaan di kalangan masyarakat:


Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Pada tahun 2019, DPR mengesahkan revisi Undang-Undang KPK yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Revisi ini memperkenalkan Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan mengawasi dan memberikan izin untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK. Selain itu, perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dinilai dapat mengurangi independensi lembaga tersebut. Langkah ini memicu protes luas dari masyarakat sipil yang khawatir terhadap efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia. 


Pembubaran Front Pembela Islam (FPI): Pada Desember 2020, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama enam kementerian dan lembaga yang melarang segala aktivitas FPI serta penggunaan simbol-simbolnya. Keputusan ini diambil dengan alasan bahwa FPI sering melakukan tindakan yang melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum. Namun, beberapa pihak menilai pembubaran ini sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat dan berekspresi. 


Penanganan Kasus Penyiraman Air Keras terhadap Novel Baswedan: Novel Baswedan, penyidik senior KPK, mengalami serangan penyiraman air keras pada April 2017. Penanganan kasus ini menuai kritik karena dianggap lamban dan tidak transparan. Meskipun pelaku akhirnya ditangkap dan diadili, hukuman yang dijatuhkan dianggap terlalu ringan, menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat dan pegiat antikorupsi. 


Penggunaan Hak Angket oleh DPR terhadap KPK: Pada tahun 2017, DPR mengajukan hak angket terhadap KPK terkait penanganan kasus korupsi KTP Elektronik. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk melemahkan KPK dan mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. Meskipun hak angket tersebut tidak berlanjut ke tahap pemakzulan, tindakan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap komitmen pemerintah dan DPR dalam mendukung pemberantasan korupsi. 


Pelemahan Institusi Demokrasi dan Kembalinya Politik Patronase: Selama masa kepemimpinannya, Presiden Jokowi dikritik karena dianggap melemahkan institusi demokrasi dan menghidupkan kembali praktik politik patronase serta dinasti politik. Kritikus menilai bahwa Jokowi berupaya memanipulasi hukum untuk keuntungan pribadi dan keluarganya, serta menggunakan lembaga negara untuk mengendalikan lawan politiknya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi Indonesia. 


Keputusan dan tindakan di atas menambah daftar kebijakan kontroversial di bidang politik dan hukum yang memicu kekecewaan di kalangan masyarakat selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Komentar