Kejaksaan Agung (Kejagung) memperkirakan skandal dugaan korupsi di PT Pertamina Persero per tahun sebesar Rp 193,7 Triliun sehingga selama 5 tahun berpotensi merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun.
Hal itu kembali mengkonfirmasikan lemahnya tata kelola keuangan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, ancaman lebih besar tengah mengintai dari pengelolaan aset raksasa di bawah Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho menjelaskan, sebagai lembaga yang mengelola aset negara senilai ribuan triliun rupiah, BPI Danantara memiliki potensi korupsi yang jauh lebih besar dibandingkan kasus-kasus sebelumnya, termasuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekapitalisasi BLBI yang nilainya mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun.
“Kata kuncinya kelemahan dalam tata kelola aset negara berpotensi menjadi ladang korupsi sistemik yang merugikan rakyat dalam skala besar. Preseden-preseden korupsi di pemerintahan dan juga di BUMN, sulit membuat kita bisa percaya begitu saja pada Danantara,” kata Hardjuno dalam rilis pers, Kamis (27/2).
Menurut Hardjuno, kasus BLBI dan obligasi rekapitalisasi BLBI yang totalnya lebih dari Rp 1.000 triliun masih menyisakan banyak tanda tanya terkait pemulihan aset negara.
Di sisi lain, berbagai kasus mega korupsi di BUMN dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pola yang berulang.
Dugaan korupsi dalam tata niaga timah di PT Timah menyebabkan potensi kerugian negara mencapai Rp 300 triliun.
Penyerebotan lahan ilegal yang dilakukan PT Duta Palma Group menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 78 triliun.
Dugaan korupsi proyek kilang minyak di PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) mengakibatkan kerugian mencapai Rp 37,8 triliun.
Sementara itu, kasus korupsi dana pensiun militer di PT Asabri mengakibatkan negara kehilangan Rp 22,7 triliun, dan skandal investasi bodong di PT Jiwasraya merugikan negara hingga Rp 16,8 triliun. Skandal ekspor minyak sawit mentah yang melibatkan berbagai pihak merugikan negara sebesar Rp 12 triliun.
Kandidat Doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) ini menjelaskan Dugaan korupsi dalam pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72600 untuk Garuda Indonesia menyebabkan kerugian sekitar Rp 9,7 triliun, sementara skandal proyek BTS 4G turut menyebabkan kerugian negara hingga Rp 8 triliun.
“Semua kasus ini memperlihatkan bagaimana lemahnya pengawasan terhadap keuangan negara dapat menyebabkan penggerogotan aset yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat,” tandas Hardjuno.
Danantara memiliki mandat mengelola aset-aset negara dalam jumlah yang sangat besar.
Namun, menurut Hardjuno, minimnya transparansi dan lemahnya sistem audit membuka peluang terjadinya penyimpangan yang bahkan bisa melampaui kasus Pertamina.
Jika BLBI dan obligasi rekapitalisasi saja menyisakan lubang hitam keuangan yang sulit ditelusuri, maka Danantara—dengan portofolio aset yang lebih luas—bisa menjadi bom waktu yang lebih berbahaya bagi keuangan negara.
Hardjuno Wiwoho menegaskan bahwa pengelolaan aset sebesar itu tanpa pengawasan yang kuat hanya akan menciptakan ladang korupsi baru, di mana kasus seperti yang terjadi di Pertamina dapat terulang dalam skala yang lebih besar.
“Jangan sampai Danantara jatuh ke tangan para politisi yang hanya mencari keuntungan pribadi. Negara harus menyerahkannya kepada profesional yang memiliki rekam jejak bersih dan berintegritas, dengan audit profesional yang melibatkan akademisi serta pakar independen. Jika tidak, kita akan melihat sejarah berulang dengan angka yang lebih besar,” ujar Hardjuno.
Tidak hanya itu, tantangan besar lainnya adalah potensi konflik kepentingan di dalam pemerintahan dan BUMN itu sendiri.
Tanpa adanya filter yang kuat, politisi dan pihak-pihak yang berkepentingan dapat dengan mudah menyalahgunakan aset Danantara demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Ketiadaan pengawasan yang jelas akan memperburuk keadaan, membuat penyelewengan dana semakin sulit diungkap.
Hardjuno menegaskan bahwa keterlibatan publik dan transparansi adalah kunci utama untuk mencegah hal ini.
“Kita butuh sistem audit yang diawasi oleh publik, melibatkan akademisi berintegritas tinggi, serta media yang tidak takut mengungkap kebenaran. Jika dibiarkan, Danantara bisa menjadi salah satu bencana keuangan terbesar bagi bangsa ini,” tambahnya.
Kasus-kasus korupsi yang telah terjadi harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk memperketat tata kelola Danantara. Transparansi penuh menjadi keharusan, di mana publik harus memiliki akses terhadap laporan pengelolaan aset Danantara untuk mencegah potensi penyimpangan.
Selain itu, audit independen yang dilakukan secara reguler oleh lembaga independen sangat penting untuk menghindari konflik kepentingan.
“Penegakan hukum yang tegas juga diperlukan, di mana skema pencegahan dan pemberian sanksi yang berat bagi pelaku korupsi harus diperketat. Partisipasi masyarakat dalam mengawasi pengelolaan aset negara juga menjadi kunci dalam mengawal integritas keuangan negara. Akademisi, jurnalis investigatif, dan organisasi masyarakat sipil harus dilibatkan dalam upaya transparansi ini,” papar Hardjuno.
Tanpa langkah-langkah ini, Indonesia berisiko menghadapi skandal keuangan terbesar dalam sejarahnya.
Kasus Pertamina dan korupsi di BUMN lainnya hanya puncak gunung es dari ancaman yang lebih besar, yaitu potensi korupsi di Danantara yang dapat merugikan negara hingga ribuan triliun rupiah.
“Dengan kompleksitas aset yang dimilikinya, Danantara dapat menjadi sasaran empuk bagi mereka yang ingin memperkaya diri sendiri, kecuali ada reformasi menyeluruh yang memastikan pengelolaan aset negara berjalan dengan bersih, akuntabel, dan diawasi secara ketat,” pungkas Hardjuno.
Sumber: suaranasional
Foto: Hardjuno Wiwoho (IST)
Artikel Terkait
Tegas! Dikontak Pertamina, Fitra Eri Tolak Tawaran untuk Bantah Isu Pertamax Oplosan
Tangki Kilang Minyak Pertamina Cilacap Terbakar, Netizen: Upaya Hilangkan Barang Bukti?
Keceplosan! Karni Ilyas Mengaku Bahwa ILC Dibredel Oleh Jokowi
AJAIB! Perangkat Desa Sanggup Bayar Denda Pagar Laut Rp48 Miliar