Prabowo Harus Belajar dari Pak Harto: 'Mengelola Kekuasaan, Akademisi, dan Peran Militer'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Sejarah politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang kepemimpinan Soeharto, sosok yang memegang kendali kekuasaan selama lebih dari tiga dekade.
Stabilitas politik dan pembangunan ekonomi menjadi warisan yang banyak dikagumi, tetapi di sisi lain, otoritarianisme dan korupsi sistemik menjadi noda hitam dalam pemerintahannya.
Jika Prabowo Subianto ingin belajar dari Pak Harto, ada beberapa pelajaran penting yang perlu ia cermati, terutama dalam membangun stabilitas, merangkul akademisi, dan menyikapi peran militer dalam politik.
Stabilitas dan Kontrol Kekuasaan ala Soeharto
Pak Harto dikenal sebagai pemimpin yang mampu menjaga stabilitas politik melalui kontrol penuh terhadap militer, birokrasi, dan ekonomi.
Ia membangun sistem pemerintahan yang kuat dengan memastikan loyalitas aparat negara. Prabowo, yang memiliki latar belakang militer, tentu memahami pentingnya stabilitas.
Namun, di era demokrasi saat ini, stabilitas tidak bisa dicapai dengan cara yang sama seperti Orde Baru.
Pendekatan represif dan dominasi militer dalam politik justru bisa menimbulkan reaksi balik dari masyarakat sipil dan dunia internasional.
Jika Prabowo ingin meniru keberhasilan Pak Harto dalam mengelola kekuasaan, ia perlu membangun jaringan yang lebih luas, bukan hanya di kalangan militer, tetapi juga dalam birokrasi sipil, partai politik, dan dunia usaha.
Loyalitas tidak bisa hanya dibangun dengan ketakutan, tetapi juga dengan visi yang jelas dan kebijakan yang menguntungkan banyak pihak.
Peran Akademisi dan Guru Besar dalam Kebijakan Publik
Soeharto memang bukan sosok intelektual dalam arti akademik, tetapi ia memiliki para teknokrat andal seperti para ekonom Mafia Berkeley yang merancang kebijakan ekonomi nasional.
Keberhasilan Indonesia dalam menjaga pertumbuhan ekonomi pada era 1970-an dan 1980-an tidak lepas dari peran akademisi yang mendukung kebijakan pemerintah dengan data dan riset.
Prabowo, jika ingin sukses sebagai pemimpin, harus meninggalkan pola lama yang cenderung mengandalkan retorika nasionalisme tanpa dasar ilmiah yang kuat.
Ia harus merangkul para akademisi, terutama dari berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, politik, dan teknologi, agar kebijakan yang dihasilkan memiliki landasan yang kokoh dan relevan dengan tantangan zaman.
Mengelilingi diri dengan para pakar bukan hanya akan memperkuat kebijakannya, tetapi juga meningkatkan kredibilitasnya sebagai pemimpin yang berpikir strategis.
Mengasuh Politikus Ulung untuk Keberlanjutan Kekuasaan
Pak Harto tidak hanya membangun sistem kekuasaan, tetapi juga mencetak kader politik yang memahami bagaimana menjalankan pemerintahan.
Politikus-politikus yang tumbuh di era Orde Baru memahami cara bekerja dalam sistem yang telah dibangun, sehingga kekuasaan tetap stabil meski ada pergantian individu dalam struktur pemerintahan.
Prabowo perlu memahami bahwa politik tidak hanya soal kekuasaan individu, tetapi juga tentang membangun kaderisasi yang solid.
Ia harus mampu mengelola dan membina politikus berbakat, bukan hanya mengandalkan orang-orang dari lingkaran pribadinya atau kelompok oligarki tertentu.
Keberlanjutan kepemimpinan tidak bisa hanya bertumpu pada figur sentral, tetapi juga pada sistem yang berjalan secara efektif.
Dwi Fungsi ABRI: Apakah Masih Relevan?
Salah satu pilar utama kekuasaan Pak Harto adalah konsep Dwi Fungsi ABRI, yang memberikan peran ganda bagi militer sebagai alat pertahanan negara sekaligus kekuatan sosial-politik yang ikut mengatur pemerintahan.
Dengan menempatkan perwira di berbagai posisi strategis, mulai dari gubernur, bupati, hingga menteri, Pak Harto memastikan kontrol penuh atas negara.
Namun, pasca-reformasi 1998, Dwi Fungsi ABRI dihapus karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi. Masyarakat menolak dominasi militer dalam politik sipil.
Jika Prabowo berusaha mengembalikan peran militer dalam pemerintahan secara terang-terangan, ia akan menghadapi perlawanan besar dari masyarakat sipil dan komunitas internasional.
Sebagai alternatif, Prabowo dapat membangun pengaruh melalui cara lain, misalnya dengan memperkuat kontrol terhadap birokrasi sipil dan kepolisian, mengembangkan loyalis di partai politik dan organisasi masyarakat, serta menguasai sektor ekonomi untuk memperkuat stabilitas politiknya.
Strategi ini lebih halus dan dapat diterima dibandingkan dengan menghidupkan kembali Dwi Fungsi secara formal.
Kesimpulan
Prabowo dapat mengambil pelajaran dari Pak Harto dalam membangun stabilitas, merangkul akademisi, dan mengelola kekuasaan.
Namun, ia juga harus belajar dari kesalahan Pak Harto, terutama dalam hal pengekangan demokrasi dan ketergantungan pada militer.
Mengembalikan Dwi Fungsi ABRI bukanlah strategi yang bijak, tetapi membangun pengaruh melalui jalur yang lebih halus dapat menjadi pilihan yang lebih realistis.
Jika Prabowo benar-benar ingin mengikuti jejak Pak Harto, ia harus menyesuaikan pendekatannya dengan dinamika politik modern yang lebih terbuka dan demokratis. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Update Pagar Laut Tangerang, Menteri Nusron Pastikan 209 Sertifikat Sudah Dibatalkan!
Template Sukatani di Instagram Story Tiba-tiba Hilang, Warganet Geram: Katanya Bebas Bersuara
Harta Kekayaan Agnez Mo: Isu Royalti Mencuat, Intip Sumber Nominalnya yang Fantastis!
Nusron Wahid Soal Sertifikat Pagar Laut Aguan Batal Dicabut: Itu Tidak Benar!