Sindir Kinerja Menteri Pigai, Mafirion Anggota DPR Sebut Pelanggaran HAM Dibiayai APBN

- Kamis, 06 Februari 2025 | 07:50 WIB
Sindir Kinerja Menteri Pigai, Mafirion Anggota DPR Sebut Pelanggaran HAM Dibiayai APBN



PARADAPOS.COM - Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi PKB, Mafirion, menyindir kinerja Natalius Pigai sebagai Menteri Hak Asasi Manusia (HAM).

Mafirion mengaku puas terhadap kinerja Pigai saat menjadi anggota Komisi Nasional HAM (Komnas HAM).

Tapi, menurutnya, kinerja serupa tidak ditunjukkan Pigai selama 105 hari menjabat Menteri HAM.

"Saya senang Pak Menteri waktu di Komnas HAM. Tapi, dalam 105 hari menjadi menteri, saya tidak melihat apa yang pernah Pak Menteri lakukan seperti ketika di Komnas HAM," kata Mafirion dalam rapat kerja Komisi XIII DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/2/2025), dikutip dari YouTube KompasTV.


Mafirion lantas menyebutkan kasus pelanggaran HAM yang melibatkan pemerintah, yaitu kasus Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Ia menilai Pigai sebagai Menteri HAM, tidak terlihat hadir untuk masyarakat Rempang yang menjadi korban.



Pria yang berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) Riau II inipun menyinggung pelanggaran HAM belakangan ini banyak yang dibiayai menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) alias berasal dari pemerintah.

Sebab, kata Mafirion, pelanggaran HAM seperti di Pulau Rempang, berkaitan dengan proyek strategis nasional (PSN).

Selain itu, banyak kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat penegak hukum dan pemerintah.


"Sata tidak melihat apa yang dilakukan Kementerian HAM (soal kasus Rempang). Pernah nggak kita membayangkan kalau kampung kita di mana kita tinggal bertahun-tahun secara turun-temurun, (tiba-tiba) datang orang suruh kita pindah. Apa itu bisa diterima secara akal sehat?" tutur Mafirion.

"Hari ini, pelanggaran HAM itu dibiayai sama APBN. (Ada) 36 kasus (pelanggaran HAM oleh) polisi, 30 kasus (oleh) pemerintah daerah, 48 kasus (oleh) TNI."

"(Termasuk) Rempang yang dipindahkan. (Itu) bangun rumahnya (pakai APBN). Yang datang ke situ (mengusir warga Rempang) aparat pemerintah," lanjut dia.


Atas hal itu, Mafirion meminta Pigai agar kembali ke jati diri yang sebenarnya, yaitu sebagai pejuang HAM.

Ia mengatakan, Pigai sebagai menteri tidak harus membela pemerintah maupun rakyat.


Mafirion berharap Pigai bisa menjadi penengah bagi kedua pihak.

"Kita tidak suruh Pak Menteri (untuk membuat) perusahaan besar jadi bangkrut. Tapi, kalau memindahkan orang satu pulau, yang luasnya 17 ribu (hektar) dan semua orang disuruh pindah, itu pembangunan apa? PSN apa itu?" kata Mafirion.

"Cobalah kembali kepada jati diri, agar Pak Menteri bisa dilihat sebagai pejuang hak asasi manusia yang tangguh."

"Tidak membela pemerintah, tapi mengingatkan pemerintah, bahwa pembangunan dilaksanakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk penderitaan rakyat," tegasnya.

Konflik Pulau Rempang

Konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, sudah bergulir sejak awal September 2023, saat pemerintah memutuskan akan membangun PSN Rempang Eco-City.

Rencananya, Rempang Eco-City akan dibangun di atas lahan seluas 165 kilometer persegi.


Nantinya, Rempang Eco-City akan dijadikan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi.

Proyek PSN ini merupakan kerja sama pemerintah pusat lewat Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam alias BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, dengan anak usaha Artha Graha, PT Makmur Elok Graha (MEG).

Pembangunan Rempang Eco-City mendapat penolakan sebab masyarakat adat setempat yang bermukim di 16 kampung tua, menolak direlokasi ke Pulau Galang.

Mereka enggan dipindahkan karena kampung tempat mereka tinggal memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Buntutnya, terjadi bentrokan antara warga Pulau Rempang dengan pekerja PT MEG hingga melibatkan aparat.

Konflik bahkan terus berlanjut dan kembali memuncak pada Desember 2024 lalu.

Tak hanya konflik sengketa lahan, sejumlah warga Pulau Rempang juga dijadikan tersangka karena menolak proyek PSN Rempang Eco-City.

Hal ini seperti yang terjadi kepada Abu Bakar (54) dan Nenek Awe (67).

Keduanya ditetapkan sebagai tersangka atas perampasan kemerdekaan.

Terkait statusnya sebagai tersangka, Abu Bakar mengaku heran. Sebab, ia mengidap stroke dan tak memungkinkan untuk berkegiatan seperti biasanya.

"Saya ini punya stroke, berjalan pun sudah tidak seperti dulu. Masa saya bisa memukul orang atau menahan-nahan orang? Kan nggak mungkin," kata dia, Sabtu (1/2/2025), dikutip dari TribunBatam.id.

Sebelumnya, Nenek Awe juga mengaku kaget saat tahu dirinya ditetapkan sebagai tersangka.

Sebab, tak seperti yang dituduhkan kepadanya, Nenek Awe mengaku tidak pernah memukul, bahkan menyentuh karyawan PT MEG, saat terjadi konflik.

"Saya heran juga ditetapkan tersangka. Menyentuh pun tidak, tiba-tiba datang surat itu (penetapan tersangka). Saya bilang, kasih aja ke LBH, ke orang hukum," ujarnya.

Meski terjadi penolakan, proyek PSN Rempang Eco-City diketahui masih berlanjut

Sumber: Tribunnews 

Komentar

Terpopuler