Mantan Ketua KPU Arief Budiman: Kecurangan Suara di Pemilu Mudah Dibaca

- Minggu, 17 Maret 2024 | 04:30 WIB
Mantan Ketua KPU Arief Budiman: Kecurangan Suara di Pemilu Mudah Dibaca



PARADAPOS.COM  – Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan membaca kecurangan pemilu sebetulnya bisa dilakukan dengan

mudah.


Indikasi kecurangan itu bisa dilihat apabila sistem pemilu pasca pencoblosan

dijalankan dengan baik


Arief memberi contoh kasus yang patut dicurigai semisal KPU daerah lambat

mengupload data C.Hasil ke Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).


Kecurigaan itu seharusnya bisa langsung terbaca apalagi penghitungan di KPU

daerah mayoritas sudah selesai mengupload form C Hasil.



“Pernah saya punya pengalaman jadi rata-rata dalam suatu waktu daerah lain

angkanya sudah 60 persen sampai 70 persen. Ini satu kabupaten 5 persen saja

belum masuk,” ungkap Arief dalam podcast bertajuk Utak-Atik Perolehan Suara

Parpol dan Caleg Hasil Pemungutan Suara Pemilu 2024 di Kantor Tribun Network,

Jakarta, Jumat (15/3/2024).


Kala itu, Arief langsung mengirim tim untuk mengecek problemnya.


Sekali waktu, dia pun pernah langsung menyambangi KPU daerah agar data segera

diupload.


“Begitu saya datang benar ternyata dokumen teronggok di pojokan ruangan belum

diupload. Saya perintahkan upload sekarang, mereka langsung bekerja,” tuturnya.



Masalah dari keterlambatan itu disebabkan beberapa faktor bisa karena akibat

jaringan atau kurangnya kualitas SDM.



“Kita bisa melihat juga mana yang sudah diupayakan tapi belum masuk. Jadi begitu

sudah diupload datanya itu langsung naik persentase rekapitulasi tiga hari selesai,”

tukasnya.


Arief menambahkan C.Hasil sebetulnya menjadi kewajiban dari penyelenggara

pemilu KPPS memberikan kepada saksi.


Apabila partai tidak memiliki saksi maka di tingkat kecamatan saksi partai bisa

meminta.


Hal itu pun diwajibkan kepada KPU untuk memberikan formulir C.Hasil.


Artinya jika semua punya C-hasil dan asumsinya daerah itu terjadi kecurangan,

sebetulnya orang-orang yang punya data sudah tahu.


“Itu problemnya Anda mau bersuara atau nggak. Jangan-jangan Anda bagian dari

persekongkolan” tukasnya.


Berikut Wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra

dengan Arief Budiman:


Mengenai utak-atik suara konon untuk kepentingan partai suara dan kepentingan

caleg tertentu, sebenarnya mengapa dan analisa Anda apa yang membedakan

dengan Pemilu 2024 dari sebelumnya?


Saya merasa bahwa polemiknya terlalu banyak karena ada banyak catatan, banyak

komplain, banyak permintaan publik yang KPU tidak dapat menjelaskan secara baik.

Apalagi peristiwa terakhir polemik Sirekap yang mana ujungnya kemudian justru

hasil rekapitulasi tidak ditampilkan, yang ditampilkan adalah hasil penghitungan

suara di masing-masing TPS. Itu sebetulnya makin membuat banyak pertanyaan.


Saya sendiri sebenarnya melihat mengapa ini mundur lagi.


Mundur sampai 10 tahun atau sampai 15 tahun?


Apa yang kita tampilkan sekarang itu sudah kita tampilkan sekurang-kurangnya 10

tahun yang lalu ketika Pemilu 2014. Kita sebetulnya progresnya sudah naik terus.

Pemilu 2014, Pemilu 2019, dan Pilkada 2020. Pemilu 2024 sebenarnya diharapkan

menyempurnakan apa yang sudah kita kerjakan tapi saya merasa kalau terjadi

seperti ini transparansinya malah berkurang.


Padahal salah satu kebijakan yang bisa menjaga tingkat kepercayaan publik

terhadap pemilu adalah transparansi. Ya tentu yang lainnya kualitas

penyelenggaraan, integritas penyelenggaraan.


Saya melihat di tahap-tahap pun transparansinya agak berkurang dibandingkan Pemilu sebelumnya. Nah ini KPU yang bertugas sekarang dia harus bisa menjelaskan secara detail mengapa kebijakan itu diambil.


Apa pentingnya Sirekap itu ditampilkan buat penyelenggara, publik maupun peserta

Pemilu 2024?


Pertama kerjanya Sirekap akan mampu menampilkan data bukan hanya hasil

penghitungan tapi juga rekapitulasi lebih cepat dibandingkan jadwal normal yang

durasinya 35 hari.


Karena itu menyediakan data lebih cepat bagi penyelenggara pemilu sendiri akan bisa mengontrol seluruh pasukannya mulai dari TPS sampai tingkat provinsi. Kalau ada hal yang lambat diinformasikan kita akan tahu dan bisa menduga ada sesuatu yang bermasalah. 


Bagi peserta pemilu dia bisa mengontrol apakah suaranya dicurangi atau tidak, baik

antar partai politik, antar kandidat di internal partai poltiik. Bagi pemilih dia bisa tahu

kemarin kita berkumpul satu warga suaranya ke partai A tapi kok jadinya yang

menang B. Dia bisa juga mempertanyakan hal itu.


Lalu bagi pembuat kebijakan, dia tahu kalau di sebuah daerah selisihnya itu jauh

biasanya konflik akan rendah tapi kalau selisihnya tipis-tipis konflik akan mudah


muncul. Nah dia sudah bisa mengatur kebijakan yang mana daerah harus diperkuat

dalam keamanan.


Begitu juga bagi pelaku bisnis data real yang ditampilkan Sireakap kalau yang

menang A maka kebijakannya akan mengarah 1,2,3,4 maka araha bisnis bisa

diplanning.


Banyak pihak merasa bahwa Sirekap agar diaudit tentu anggarannya juga semakin

besar lagi. Menurut Anda tuntutan ini terlalu berlebihan atau bagaimana?


Tuntutan itu menurut saya normal, wajar-wajar saja. Dulu di era saya juga begitu

tuntutan bukan di bagian akhir bahkan di bagian awal semisal belum didaftarkan ke

Kominfo. Seluruh prosedur kita ikuti mestinya KPU tidak perlu mengatur diri silahkan

saja diaudit. 


Karena dengan begitu akan menjelaskan bagi siapapun apa yang

sebenarnya terjadi.


Sebenarnya satu isu yang mengemuka adalah peletakan cloud, waktu Mas Arief

mengapa tidak seperti sekarang?


Seingat saya dulu kita tidak pakai cloud, jadi kita taruh itu di storage langsung. Dan

kita semua tempatkan di dalam negeri. Ada juga tuduhan waktu itu server kita

ditaruh di luar negeri. 


Kita punya ruang server yang itu high security nggak pernah

ada orang masuk ke situ kecuali yang memang diperbolehkan.


Kami pernah waktu itu didatangi CSO untuk melihat server yang kita punya. Saya

tunjukkan bahwa servernya ini, operatornya ini, SDM-nya dari dalam negeri. Bahkan

saya tawarkan untuk mencabut servernya itu.


Kalau dicabut servernya lalu situs KPU mati berarti benar itu tidak ada di luar negeri.


Kalau ada tuduhan semacam itu sebenarnya tinggal dijawab saja apa adanya. Kalau

tidak punya niat apapun publik juga akan menilai demikian. Waktu itu ada satu

kalimat yang berkali-kali saya sampaikan. Kalau saya niat curang untuk apa saya

pertontonkan, itu kan menelanjangi diri saya sendiri.


Buat saya Sirekap itu kelebihannya transparansi yang memunculkan partisipasi,

Ketika ada Sirekap partisipasi muncul dari mana-mana CSO, partai politik. Serang

menyerang biasa saja. Ketika transparansi itu dikurangi atau ditutup coba lihat

partisipasi pasti menurun.


Apakah mungkin suara partai yang melawan partai penguasa bisa diganti oleh KPU

daerah?


Saya itu selalu nggak paham gimana caranya curang gitu lho karena kalau semua

berfungsi sesuai prosedur yang telah ditetapkan nggak mungkin ada kecurangan.

Kalau ada kecurangan saya akan bisa mendeteksi curangnya.


Jadi kalau dikatakan ada curangnya juga mungkin ada, tapi dengan sistem yang kita

bangun kita akan tahu curangnya di mana.


Jadi permasalahannya KPU ini tidak ada alat kontrolnya?


Pusat terlalu jauh untuk mengontrol sampai ke kabupaten kota maka kami tentu

akan mengandalkan KPU kabupaten kota. Ketika sistem ini berjalan dengan baik

sebetulnya saya bisa tahu dan mendeteksi ada dugaan kecurangan ketika mereka

tidak mengupload datanya. Atau lambat dalam mengupload C Hasil saja saya itu

sudah langsung curiga.


Ada pengalaman khusus soal dugaan kecurigaan tersebut?


Pernah saya punya pengalaman jadi rata-rata dalam suatu waktu daerah lain

angkanya sudah 60 persen. Ini satu kabupaten 5 persen saja belum masuk. Saya

langsung kirim tim kalau sudah begitu malam ini juga.


Dan saya pernah mengambil keputusan untuk pergi sendiri karena angkanya terlalu

jeblok. Begitu saya datang benar ternyata dokumen teronggok di pojokan ruangan

belum diupload. Saya perintahkan upload sekarang.


Jadi kalau mereka memperlambat pekerjaan ada indikasi atau bentuk kecurangan?


Tentu problemnya banyak misalnya akibat jaringan, SDM, kita bisa melihat walaupun

sudah diupayakan tapi belum masuk. Jadi begitu sudah diupload datanya itu

langsung naik persentase rekapitulasi tiga hari selesai.


Setelah pemungutan suara mungkin tidak petugas KPPS di TPS mengubah?


Saya juga pernah mengalami itu, ketika di persidangan jadi ketahuan di satu TPS

dokumennya bisa ada tiga. Kita bisa melacak mana yang asli. Kecurangan mungkin

saja terjadi tapi kalau proses dijalankan kami akan tahu mana yang curang, mana

yang tidak.


Sistem jalan paling sederhana begini kalau dulu manual semua zaman kita namanya

C1 Plano kalau sekarang C hasil. Begitu menyelesaikan C hasil kewajiban

penyelenggara pemilu KPPS itu memberikan kepada saksi apabila partai tidak

memiliki saksi disitu maka di tingkat kecamatan saksi partai bisa meminta. KPU

wajib memberikan itu.


Artinya kalau semua punya dan daerah itu terjadi kecurangan, sebetulnya orang-

orang yang punya data tahu. Itu problemnya Anda mau bersuara atau nggak.

Jangan-jangan Anda bagian dari persekongkolan


Sumber: Tribunnews

SEBELUMNYA

Komentar