JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com - Pengamat Politik Ubedilah Badrun menyebut Indonesia tengah mengalami kemunduran demokrasi. Menurutnya, Presiden Joko Widodo dinilai turut berperan atas kondisi ini, yang disebut terlihat sejak mendukung Revisi UU KPK pada 2019.
"Setelah revisi UU KPK itu, Presiden seolah-olah memberi ruang pada jajarannya untuk bertindak koruptif tapi bermain 'cantik'," ujar Ubedilah dalam edisi perdana podcast Narada Syndicate Demokrasi di Indonesia. Podcast kali ini dipandu oleh Kusfiardi, seorang aktivis 1998, Kamis (14/12).
Ubedilah melanjutkan, pasca revisi UU KPK itu sangat tampak juga nepotisme. Ubedilah menegaskan, nepotisme itu sangat merusak demokrasi.
Jokowi, sambung Ubedilah, juga tak mendengar aspirasi publik yang menolak UU Omnibus Law. Menurutnya, undang-undang itu yang dinilai mengandung pemiskinan sistemik itu tetap disahkan meski banyak penolakan.
Dan tidak didengarnya berbagai aspirasi rakyat itu, menurut Ubedilah membuat indeks demokrasi kita anjlok hingga skor 6.30. "Itu menunjukkan bahwa di rezim saat inilah, indeks demokrasi terburuk kita peroleh," ujarnya.
Menurut Ubedilah, era Jokowi ini telah masuk pada New Authoritarianism. Dalam otoritarianisme baru ini, tindakan otoriter rezim berlindung dibalik regulasi.
"Hal itu tampak ketika keinginan Jokowi mengendalikan KPK dilegalkan oleh revisi UU KPK, kemudian sentralisasi perizinan dilegalkan oleh UU Omnibus Law. Yang paling parah, adalah ketika kehormatan Mahkamah Konstitusi dirubuhkan oleh keluarganya, dan Jokowi diam," paparnya.
Artikel asli: jakarta.suaramerdeka.com
Artikel Terkait
Pasutri di Sidoarjo Diduga Bekerja Sama Cabuli Siswi SD Penyandang Disabilitas
Peringatan BMKG: Gempa Megathrust Mentawai-Siberut Tinggal Menunggu Waktu, Bisa Capai M 8.9
Bocor, Sudirman Terpidana Kasus Vina Terciduk Lagi Asik di Hotel bukan di Sel, Benarkah?
Cabut Pasal Penyediaan Alat Kontrasepsi, DPR: Jangan Buka Ruang Generasi Muda untuk Berzina!