Pakar Hukum Internasional dan Komnas HAM Buka Suara Soal Pengusiran Paksa Pengungsi Rohingya, Warga Sabang...

- Sabtu, 30 Desember 2023 | 17:00 WIB
Pakar Hukum Internasional dan Komnas HAM Buka Suara Soal Pengusiran Paksa Pengungsi Rohingya, Warga Sabang...

SurabayaNetwork.id - Aksi ratusan mahasiswa yang  mengusir paksa para pengungsi Rohingya dari Balai Meuseuraya Aceh (BMA) menuai kecaman.

Sebagai lembaga internasional yang mengurusi masalah pengungsi UNHCR pun turut menyayangkan aksi anarkis para mahasiswa tersebut.

Pihak UNHCR mengecam tindak pengusiran paksa terhadap para pengungsi Rohingya.

Menurut UNHCR, adanya perilaku anarkis tersebut merupakan implikasi dari maraknya kampanye sentimen negatif di media sosial terhadap pengungsi Rohingya.

Terutama karena perlakuan para mahasiswa yang melempari botol minuman hingga barang-barang milik pengungsi Rohingya.

Senior Communications Assistant UNHCR Muhammad Yanuar Farhanditya menyatakan keprihatinannya terhadap serangan brutal para mahasiswa tersebut.

Padahal, sebagian besar para pengungsi yang menempati BMA adalah kelompok rentan yakni wanita dan anak-anak.
 
Baca Juga: 137 Pengungsi Rohingya Diusir Paksa Ratusan Mahasiswa, Mahfud MD Pindahkan Hingga Ingatkan Soal Tsunami Aceh

Persoalan pengusiran paksa ini pun ramai diperbincangkan publik hingga media asing.

Akhirnya, para mahasiswa mengembalikan pengungsi Rohingya ke BMA.

Sebab, pihak kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tak memberikan fasilitas pengungsi dengan baik.

Hal tersebut dibenarkan oleh perwakilan mahasiswa, Teuku Wariza pada 29 Desember 2023.

Pakar Hukum Internasional Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana mengatakan adanya penolakan mayoritas warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya dapat memicu kekacauan yang lebih besar.

Selain itu, juga mempertegas gesekan antar warga ke depannya.

Sejatinya, para pengungsi memiliki hak sesuai Konvensi Jenewa 1951.
 

Satria menegaskan perlu diketahui terlebih dahulu perbedaan konsepsi tentang pencari suaka (asylum seekers) dan pengungsi (refugees).

Apabila berhubungan dengan pencari suaka, maka pemerintah mempunyai otoritas penuh dalam menerima maupun menolak orang-orang yang tak mempunyai alasan atas hijrahnya dari negara asal ke negara tujuan.

Sedangkan yang disebut pengungsi ialah orang atau sekelompok yang mengalami persekusi saat di negara asalnya atas nama suku, ras, dan etnis serta budaya.

Sehingga mereka tak memiliki pilihan lain selain keluar dari negara asalnya tersebut.

Perihal ini diatur dalam Konvensi Jenewa 1951 mengenai status pengungsi dan protokol tambahan 1967.

Prinsip non-refoulement dalam pasal 33 pada Konvensi Jenewa 1951 berlaku pada seluruh negara baik yang meratifikasinya atau tidak, bisa menerima orang-orang yang tergolong refugee.

Seperti pada kasus etnis Rohingya termasuk dalam kategori pengungsi.
 

Seharusnya mereka bisa diterima, tanpa adanya persekusi di Indonesia, menurut Satria.

Satria menjelaskan Indonesia memang tidak meratifikasi Konvensi Jenewa 1951.

Akan tetapi, pemerintah wajib skrining terkait siapa yang layak termasuk refugee memperoleh status screen in, dan siapa yang tergolong screen out.

Untuk orang-orang yang termasuk screen in, maka mereka dilindungi dan hak-haknya dipenuhi oleh UNHCR.

UNHCR merupakan lembaga internasional dibawah naungan PBB yang menangani persoalan pengungsi.

Satria menegaskan urgensi upaya diplomatik pemerintah Indonesia dengan Myanmar untuk memulangkan para pengungsi Rohingya ke negara asalnya.

Dengan catatan, jika stabilitas politik di Myanmar sudah pulih sehingga hak-hak para pengungsi Rohingya dapat terjamin.

Dalam hal ini, keterlibatan pemerintah sangatlah krusial.

Misalnya mendorong ASEAN yang merupakan organisasi regional di kawasan Asia Tenggara untuk berpartisipasi memberikan bantuan kemanusiaan.

Hal ini dapat meningkatkan peran sekaligus komitmen Indonesia dalam rangka menyelesaikan polemik kasus pengungsi Rohingya.
 
Baca Juga: Ironi, menjadi Permasalahan Internasional, Inilah Daftar 5 Negara yang Pernah Menolak Etnis Rohingya

Komnas HAM Buka Suara Soal Pengungsi Rohingya

Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) pun menyesalkan peristiwa naas yang menimpa pengungsi Rohingya.

Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mendesak pemerintah beserta lembaga terkait untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap para pengungsi Rohingya.

Pihaknya meminta kepastian perlindungan pengungsi Rohingya dan tempat pengungsian yang aman serta layak huni.

Komnas HAM telah menerjunkan timnya ke Aceh pada 27 dan 28 Desember untuk memantau situasi dan kondisi pengungsi Rohingya.

Komnas HAM merekomendasikan pemerintah menyediakan lokasi penampungan yang tak terlalu dekat dengan pemukiman masyarakat, untuk menghindari potensi konflik.

Termasuk lokasi pengungsian yang memiliki keterjangkauan aksesibilitas penyediaan kebutuhan dasar dan faktor keamanannya terjamin.

Selain itu, Komnas HAM menghimbau pemerintah memberikan bantuan untuk pengungsi Rohingya melalui dana APBN.

Namun, tetap mempertimbangkan kemampuan pemerintah dengan berlandaskan pada perundang-undangan sekaligus pertimbangan kepentingan masyarakat setempat.

Polri seyogyanya turun tangan dalam upaya memberikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap para pengungsi Rohingya sekaligus meminimalkan potensi gesekan dengan warga lokal.

Dalam hal ini, Komnas HAM menyarankan agar Polri bekerjasama dengan otoritas keamanan ASEAN serta Interpol.

Tujuannya untuk memberantas maraknya sindikat penyelundupan perdagangan manusia, khususnya pengungsi Rohingya.

Lalu, Komnas HAM juga menyarankan Kementerian Luar Negeri agar secara aktif mendorong negara-negara yang menandatangani konvensi pengungsi agar membuka pintunya untuk menampung pengungsi Rohingya.

Beberapa rekomendasi tersebut Komnas HAM sampaikan kepada pemerintah lantaran opsi pengembalian pengungsi Rohingya tak memungkinkan.

Sebab, Myanmar masih bergejolak sehingga bila pengungsi Rohingya dikembalikan ke negara asalnya mereka berada dalam ancaman persekusi, penyiksaan dan tindakan lainnya yang tak manusiawi.

Disisi lain, warga Sabang yang lokasinya berdekatan dengan terus melancarkan aksi demo penolakan kehadiran pengungsi Rohingya.

Menurut warga, perilaku buruk para pengungsi Rohingya menjadi pemicunya.

Pemerintah setempat telah menyediakan kamar mandi, namun para pengungsi membuang hajad di pinggir laut.
 

Mereka pun sempat berdemo mogok makan, karena ingin jatah makan lebih banyak dan enak.

Setelah sebelumnya, banyak dijumpai warga nasi bungkus yang dikubur maupun dibuang oleh pengungsi Rohingya.

Bahkan, para pengungsi Rohingya menuntut tempat tinggal yang lebih layak.

Tentu saja hal ini membuat geram penduduk Sabang.

Masyarakat Sabang sendiri belum optimal mendapat bantuan pemerintah, pengungsi Rohingya yang menumpang tingal sementara justru banyak permintaan.***

Artikel ini telah lebih dulu tayang di: surabaya.jatimnetwork.com

Komentar