Bertemu Erick di Tengah Penyidikan Korupsi Pertamina, Jaksa Agung Dinilai Langgar Kode Etik!

- Minggu, 09 Maret 2025 | 14:00 WIB
Bertemu Erick di Tengah Penyidikan Korupsi Pertamina, Jaksa Agung Dinilai Langgar Kode Etik!




PARADAPOS.COM - Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Mudzakkir, menyoroti tindakan Jaksa Agung Sanitiar (ST)Burhanuddin bertemu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir di tengah penyidikan kasus dugaan korupsi minyak mentah di PT Pertamina Patra Niaga (PPN). 


Sebelumnya Erick mengungkapkan pertemuannya dengan Jaksa Agung, Sanitiar (ST) Burhanuddin untuk membahas perkembangan kasus dugaan korupsi itu Erick menyebut pertemuan itu berlangsung pada malam hari sebelum dirinya bertolak ke Magelang. 


“Kemarin saya meeting sama Pak Kejaksaan, Pak JA, sebelum ke Magelang jam 11 malam. Tentu kita apresiasi yang dilakukan Kejaksaan. Kita hormati,” kata Erick di Bandara Soekarno Hatta, Sabtu (1/3/2025) lalu.


Menurut Prof Mudzakir, tindak Jaksa Agung itu merupakan bentuk pelanggaran kode etik berat. 


“Tindakan Jaksa Agung bertemu dengan Menteri BUMN Erick Thohir adalah bentuk pelanggaran kode etik berat,” kata Prof Mudzakir, Minggu (9/3/20250.


“Kalau Jaksa Agung bertemu malam hari dengan Menteri BUMN Erick Thohir dan keluarga Erick Thohir dan jika ternyata terlibat dalam proses itu Jaksa Agung sudah diskualifukasi,” timpalnya.


Menurutnya, jika menggunakan instrumen kode etik KPK perbuatan Jaksa Agung itu merupakan pelanggaran berat. 


Maka dari itu, dia meminta agar Jaksa Agung diperiksa agar pula tak ada spekulasi liar soal pertemuan itu. 


“Jaksa Agung harus diperiksa karena melanggar kode etik yang berat,” katanya.


Di lain sisi, Jaksa Agung juga seharusnya dapat mengevaluasi diri atas tindakannya. 


“Jaksa Agung harus mengevaluasi diri atas tindakannya," tegasnya.


Jika memang benar Jaksa Agung telah melanggar kode etik maka akan ada dua keputusannya. 


Pertama, kata dia, Jaksa Agung sebaiknya mengakui kepada publik bahwa dia telah melakukan pelanggaran kode etik. 


Kedua, karena pengakuannya itu telah melanggar kode etik berat, maka dia harus mengundurkan diri dari jabatanya sebagai Jaksa Agung. Hal itu juga bagian daripada sanksi terhadap pejabat publik.


“Saya kira hal itu pantas dikenakan untuk pejabat publik yang melakukan pelanggaran kode etik berat terkait pemeriksaan dugaan korupsi,” bebernya.


Adapun dugaan pelanggaran yang dilakukan Jaksa Agung bukan hanya undang‐undang Kejaksaan saja, melainkan juga melanggar undang-undang tipikor, kode etik dan UUD 1945 Pasal 24 ayat 1 yakni kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.


“Karena pelanggaran sudah bertumpuk-tumpuk seperti itu, saya minta Jaksa Agung mengundurkan diri sebagai pemegang jabatan penuntut umum di Indonesia,” tandasnya.


Terungkapnya kasus Pertamina ini bermula dari adanya keluhan masyarakat di beberapa daerah ihwal buruknya kualitas produk BBM Pertamina jenis RON 92 alias Pertamax. 


Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, laporan awal datang dari warga Papua dan Palembang, Sumatra Selatan.


“Kalau ingat, di beberapa peristiwa, ada di Papua dan Palembang terkait soal dugaan kandungan minyak yang katakanlah jelek. Ini kan pernah mendapatkan respons luas dari masyarakat bahwa mengapa kandungan terhadap Pertamax misalnya yang dinilai kok begitu jelek,” kata Harli Siregar, Senin (24/2/2025).


Menindaklanjuti laporan tersebut, Kejagung lantas melakukan investigasi dan mengumpulkan data. 


Berdasarkan alat bukti yang dikumpulkan tim penyidik, penyelidikan tersebut mengungkap adanya praktik ‘pengoplosan’ atau blending dalam produksi Pertamax dengan Pertalite atau RON 90.


“Penyidik menemukan bahwa ada RON 90 atau bahkan di bawahnya, yaitu RON 88, yang dicampur dengan RON 92. Jadi, ada praktik blending yang tidak sesuai dengan standar,” jelas Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (26/2/2025).


Dari hasil penyelidikan, penyidik juga menemukan adanya kenaikan harga Pertamax serta besarnya subsidi dari pemerintah berkaitan dengan praktik ilegal di dalam tubuh Pertamina. 


Temuan ini mengarah pada dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Pertamina Patra Niaga.


Penyidik Kejagung mengindikasikan para pelaku sengaja mengatur kebijakan untuk mengurangi produksi minyak kilang domestik, sehingga impor dalam jumlah besar menjadi keharusan. 


Padahal, sesuai aturan yang berlaku, pasokan minyak mentah dalam negeri seharusnya diutamakan sebelum melakukan impor.


“Tersangka mengondisikan hasil rapat optimasi hilir (OH) untuk menurunkan readiness kilang, yang berujung pada penolakan minyak mentah dari kontraktor dalam negeri dan akhirnya mendorong impor,” kata Kejagung.


Sementara Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa dugaan korupsi Pertamina tersebut telah menyebabkan potensi kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun hanya dalam kurun waktu satu tahun. 


Namun, menurut Center of Economic and Law Studies (Celios) kerugian di tingkat konsumen juga tak kalah mengejutkan.


Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menyoroti potensi consumer loss, di mana masyarakat membayar lebih mahal untuk BBM RON 92 yang sebenarnya berkualitas RON 90. 


Celios memperkirakan kerugian yang dialami konsumen bisa mencapai Rp 47 miliar per hari akibat perbedaan tersebut. Jika dihitung per tahun, angka tersebut mencapai Rp 17,4 triliun.


“Selama ini pemerintah hanya fokus menghitung kerugian negara. Namun tidak menghitung kerugian masyarakat sebagai konsumen,” kata Huda melalui keterangan tertulis pada Jumat (28/2/2025).


Adapun Kejagung masih melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan menetapkan enam petinggi Pertamina dan tiga orang dari sektor swasta sebagai tersangka dalam kasus ini. 


Para tersangka petinggi Pertamina berasal dari jajaran direksi anak usaha Pertamina serta pihak swasta yang diduga terlibat sejak 2018 hingga 2023.


Tersangka yakni Direktur Utama atau Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; dan Dirut PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi.


Lalu Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; serta Edward Corne selaku Vice President Trading Operation Pertamina Patra Niaga.


Tiga tersangka dari sektor swasta, yakni Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Keery Andrianto Riza; Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; serta Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.


Setelah penetapan tersangka, Kejagung melakukan penggeledahan untuk mencari barang bukti yang mendukung penyidikan dan memeriksa sejumlah saksi. 


Dalam prosesnya, sejumlah tempat telah digeledah, termasuk dua rumah milik pengusaha Muhammad Riza Chalid—ayah Muhammad Kerry Adrianto Riza, gedung PT Orbit Terminal Merak (OTM) di Cilegon, dan terminal BBM PT Pertamina Patra Niaga di Cilegon.


“Sudah ada beberapa barang bukti yang dikumpulkan pihak Kejaksaan Agung, antara lain dokumen-dokumen, laptop, handphone, alat komunikasi. Itu sudah berlangsung pada saat pemeriksaan sebelumnya,” kata Direktur Utama PT Pertamina Simon Aloysius Mantiri dalam konferensi pers yang digelar pada Senin, 3 Maret 2025.


Sumber: MonitorIndonesia

Komentar

Terpopuler