PARADAPOS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengaku tidak menemukan dugaan keterlibatan Menteri BUMN Erick Thohir serta sang kakak, Giribaldi 'Boy' Thohir di kasus korupsi minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina terus menuai sorotan.
Sebagai penegasan bahwa seharusnya semua pihak yang diduga terlibat bisa memberikan klarifikasi, sehingga publik tidak memiliki trust issue dengan Pemerintah.
Bahkan, mega korupsi di Pertamina sulit dituntaskan karena diduga banyaknya intervensi politik.
Pakar hukum dari Universitas Bung Karno (UBK) Hudi Yusuf menegaskan bahwa, meski dirinya belum mendapatkan informasi pasti apakah Erick Thohir dan saudaranya yang merupakan pemilik PT Alamtri Resources Indonesia Tbk terlibat dalam kasus korupsi PT Pertamina Patra Niaga periode 2018-2023, namun menurutnya keduanya tetap harus diperiksa oleh Kejaksaan Agung.
Ditegaskan Hudi, seharusnya saat menjabat Ahok melakukan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) merombak jajarannya, jika benar cerita Ahok soal kantongi bukti kebobrokan Pertamina.
"Ahok saat menjadi komut Pertamina seyogyanya melakukan RUPSLB saat menemukan pelanggaran atau dugaan tipikor. Dalam RUPSLB dapat mengangkat dan memberhentikan direksi," kata Hudi dikutip pada Minggu (9/3/2025).
Sebagai Komut sekaligus perwakilan pemerintah di Pertamina, Ahok semestinya terdepan dalam melaporkan indikasi korupsi, namun nyatanya hal itu tak dilakukan Ahok hingga dirinya mundur dari jabatan pada 2024 lalu.
"Saya melihat Ahok seakan 'pahlawan kesiangan' ,setelah kasus ramai baru berbicara kencang. Mungkin jika dilaporkan lebih cepat dapat mengurangi kerugian negara, fungsi Ahok di Pertamina memang demikian dan digaji rakyat diantaranya untuk itu," katanya.
Hudi mengingatkan, Ahok tak perlu 'cuci tangan' seakan politikus PDIP tersebut bersih.
Hudi menilai dirinya kurang setuju dengan pernyataan Ahok di media sosial, walaupun memang terselip kebenaran dari kalimat Ahok.
"Tetapi terlambat (disampaikan Ahok), pihak kejagung yang harus diberikan apresiasi terkait kasus Pertamina. Untuk Ahok seyogyanya berani bertindak saat ada wewenang bukan sekadar bicara, ingat membiarkan kejahatan adalah kejahatan juga," tandasnya.
Pernyataan Hudi ini sekaligus merespons pernyataan eks Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Bahwa dalam wawancara di sebuah siniar sempat membeberkan adanya 'tangan berkuasa' yang ikut bermain dalam dugaan korupsi ini.
"Ini ada tangan yang berkuasa ikut main menurut saya gitu lho, di republik ini. Ini bisa jadi lebar ke mana-mana kasusnya kalau dibongkar. Saya senang banget ini," kata Ahok.
Meski dirinya tidak lagi menjadi bagian dari Pertamina, namun ia masih memiliki bukti-bukti terkait dugaan korupsi yang ada di tubuh perusahaan pelat merah tersebut.
"Saya berani jamin, saya dengan data ini akan penjarakan kalian semua," jelasnya.
Ahok menjabat sebagai Komut Pertamina sejak 22 November 2019 berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. SK-282/MBU/11/2019. Pada 2024, Ahok mundur dengan alasan masuk tim sukses Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
5 tahun di Pertamina, Ahok tentunya banyak tahu praktik curang ini.
Menurut dia, sudah berlangsung lama, tetapi tidak ada kemauan politik dari penguasa untuk menghentikannya.
"Ini permainan lama yang tidak ada penguasa yang mau setop," kata Ahok.
Ahok mengungkapkan, banyak pihak yang menolak dirinya menjadi Direktur Utama (Dirut) Pertamina, karena ia tak segan-segan membersihkan perusahaan dari direksi yang bermain kotor.
"Makanya orang takut kalau saya jadi Dirut, sampai ada demo-demo. Kalau saya jadi Dirut, saya bisa langsung pecat Dirut subholding yang nakal, karena untuk keputusan ke notaris, saya yang menentukan," bebernya.
Ahok juga menegaskan, ia tidak gentar menghadapi siapa pun selama berada di jalur yang benar.
Namun, hingga akhir masa jabatannya sebagai Komisaris Utama, ia tidak pernah diberi kesempatan untuk memimpin langsung Pertamina.
"Saya tidak pernah takut dengan Menteri BUMN mana pun selama saya benar. Tapi kenapa saya dikurung dan tidak boleh jadi Dirut?" ujarnya.
Hanya Ganti Pemain?
Kasus korupsi yang menggerogoti Pertamina dalam beberapa tahun terakhir mestinya menjadi momentum perbaikan bagi perusahaan minyak pelat merah itu.
Pasalnya, persoalan rasuah yang terjadi dinilai masih menggunakan modus lama, hanya dilakukan oleh pemain baru. Alias hanya ganti pemain dengan modus lama?
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina merupakan modus lama dengan pemain baru.
"Ada seorang teman dari pemerintahan menyebutnya ini modus lama dengan pemain yang baru," kata Sudirman dalam sebuah wawancara.
Sudirman mengidentifikasi tiga faktor utama yang menjadi celah terjadinya korupsi di Pertamina.
Pertama, sebagai perusahaan dengan dominasi pasar utama, Pertamina sangat rentan terhadap praktik korupsi.
Kedua, besarnya volume transaksi di Pertamina menciptakan margin keuntungan yang signifikan.
Marginnya begitu besar, dan dalam kondisi yang dipenuhi praktik suap, ini bisa menjadi peluang bagi banyak pihak," kata Sudirman.
Menurutnya keuntungan besar tersebut dapat dialokasikan untuk berbagai kepentingan, termasuk oknum-oknum yang terlibat dalam pengadaan di dalam perusahaan.
"Saya tidak menuduh, ini hanya analisis," jelasnya.
Ketiga, menurut Sudirman, faktor sikap pemerintah terhadap kasus korupsi ini juga berperan penting.
Ia meyakini bahwa kerugian negara dalam jumlah besar tidak mungkin hanya melibatkan satu pihak saja.
"Pertanyaannya, bagaimana sikap para pemegang otoritas di sekitar Pertamina? Menteri BUMN misalnya, apa sikapnya? Begitu juga dengan Menteri ESDM?" tandasnya.
Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya terjadi enam kasus korupsi yang melibatkan perusahaan anak usaha BUMN itu, yakni:
1. Kasus LNG 2011-2014
Pertama, kasus korupsi pengadaan liquified natural gas (LNG) di Pertamina periode 2011-2014 menyeret nama eks Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan.
Karen disangkakan melakukan pembelian gas secara sepihak dan tanpa mengikuti prosedur pengadaan yang berlaku seperti kajian komprehensif.
Hal ini menyebabkan kargo LNG mengalami kelebihan suplai sehingga menyebabkan kerugian negara Rp 2,1 triliun.
Atas perbuatannya, Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Karen dari 9 tahun penjara menjadi 13 tahun penjara, pada Jumat (28/2/2025).
2. Kasus gratifikasi pengadaan minyak mentah PES
Kedua, pada 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan pemberian hadiah dalam kegiatan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES).
Dalam perkara ini, KPK menetapkan Bambang Irianto selaku Managing Director periode 2009-2013 sebagai tersangka.
Kasus dugaan suap ini menjadi salah satu kasus yang mendapat perhatian Presiden Joko Widodo untuk segera diselesaikan KPK pada 2019 silam. Kasus ini mulai diselidiki KPK sejak Juni 2014.
Namun, KPK baru berhasil menetapkan Bambang sebagai tersangka pada September 2019.
Bambang diduga menerima uang sedikitnya 2,9 juta dollar AS atau setara Rp 40,75 miliar karena membantu pihak swasta terkait bisnis migas di lingkungan PES.
3. Kasus dana pensiun Pertamina
Ketiga, pada 2017, Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina periode 2013-2015 Muhammad Helmi Kamal Lubis ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana pensiun Pertamina.
Tak hanya Helmi, putra sulung pendiri Astra Internasional William Soeryadjaja, Edward Seky Soeryadjaya juga ditetapkan sebagai tersangka. Kasus tersebut bermula pada pertengahan 2014.
Edward yang juga Direktur Ortus Holding Ltd berkenalan dengan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina Muhammad Helmi Kamal Lubis.
Perkenalan itu berlanjut dengan deal bisnis yakni permintaan agar dana pensiun Pertamina membeli saham PT Sugih Energy Tbk (SUGI).
Dari pertemuan itu, Muhammad Helmi Kamal Lubis pun melakukan pembelian saham SUGI senilai Rp 601 miliar melalui PT Millenium Danatama Sekuritas. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara dalam pembelian saham SUGI tersebut sebesar Rp 599 miliar.
4. Kasus penyalahgunaan investasi Blok BMG Australia
Selanjutnya pada 2018, Kejaksaan Agung menetapkan eks Manajer MNA Direktorat Hulu PT Pertamina (Persero), berinisial BK terkait dugaan korupsi penyalahgunaan investasi di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia oleh Pertamina tahun 2009. Dia disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus itu bermula saat PT Pertamina (Persero) pada tahun 2009, melalui anak perusahaannya PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd.
Perjanjian jual beli ditandatangani pada tanggal 1 Mei 2009, dengan modal sebesar 66,2 juta dollar Australia atau senilai Rp 568 miliar dengan asumsi mendapatkan 812 barrel per hari.
Namun, ternyata Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada tahun 2009 hanya dapat menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pty. Ltd rata-rata sebesar 252 barrel per hari.
Pada 5 November 2010, Blok BMG Australia dinyatakan ditutup setelah ROC Oil Ltd, Beach Petroleum, Sojitz, dan Cieco Energy memutuskan penghentian produksi minyak mentah (non production phase/ npp) dengan alasan lapangan tidak ekonomis.
5. Kasus digitalisasi SPBU Pertamina
Pada awal tahun 2025, KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) PT Pertamina (Persero) tahun 2018–2023.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, perkara korupsi ini sedang bergulir di tahap penyidikan.
"Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) bulan September 2024," kata Tessa dalam keterangannya, Selasa (21/1/2025).
Tessa mengatakan, KPK sudah menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi digitalisasi SPBU PT Pertamina. Namun, ia tidak mengungkapkan identitas tersangka tersebut.
"Sudah ada tersangkanya," ujar Tessa.
Dugaan korupsi digitalisasi PT Pertamina (Persero) tahun 2018-2023 muncul pertama kali dalam jadwal pemeriksaan sejumlah saksi di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Senin (20/1/2025).
6. Kasus tata kelola minyak mintah
Terbaru, Kejaksaan Agung mengungkap perkara korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Kasus korupsi ini menyeret nama beberapa petinggi Pertamina yaitu Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS).
Lalu VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono; pejabat di PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF).
Kemudian beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR); Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW); Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo (GRJ).
Selanjutnya Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne.
Dalam perhitungan sementara, kerugian negara pada tahun 2023 akibat korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun.
PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-blend atau dioplos di depo/storage menjadi Pertamax.
Pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92. Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” demikian bunyi keterangan Kejagung.
Sumber: MonitorIndonesia
Artikel Terkait
Bertemu Erick di Tengah Penyidikan Korupsi Pertamina, Jaksa Agung Dinilai Langgar Kode Etik!
Akhirnya Mentan Laporkan Kecurangan MinyaKita ke Bareskrim
Jokowi Tahu Korupsi Pertamina, Cuma Enggak Enak Koruptornya Ada di Barisannya Saat Pilpres 2019!
Kerry Riza Jadi Tumbal Riza Chalid