IPW Sebut Pertemuan Jaksa Agung dengan Erick Thohir Terlarang Secara Etik Hukum

- Sabtu, 08 Maret 2025 | 17:30 WIB
IPW Sebut Pertemuan Jaksa Agung dengan Erick Thohir Terlarang Secara Etik Hukum


PARADAPOS.COM - 
Indonesia Police Watch (IPW) mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto dalam pemberantasan korupsi yang dituangkan dalam Asta Cita, selain melakukan pengawasan terhadap aparatur Kejaksaan untuk bekerja profesional. 

"Kejaksaan Agung tidak boleh tebang pilih dan dalam  dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Tahun 2018 sampai 2023, harus dapat menemukan dalang dan pelaku utama (aktor intelektual) dari mega korupsi tersebut," ujar Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) kepada wartawan di Jakarta, Jumat (7/3/2025).

Sugeng menekankan, jangan sampai niat mulia Kepala Negara itu dinodai dengan adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan dan/atau korupsi dalam proses penyidikan kasus-kasus korupsi di Kejaksaan Agung.

Atau dengan kata lain, melakukan pemberantasan korupsi  sambil mencari peluang korupsi atau melakukan praktek impunitas  pelaku korupsi lain.

Hal ini terlihat dari pernyataan Kejaksaan Agung yang prematur dan sangat kepagian terkait Erick Thohir tidak terlibat. 

Terkesan, Kejaksaan Agung sebagai pencuci bersih Erick Thohir di kasus ini dan seolah-olah jadi pelindung.

Padahal penyidikan masih berjalan dan semua pihak terkait bisa diperiksa dan diminta keterangannya. Apalagi Erick Thohir sebagai  Menteri BUMN bisa dimintai keterangan . 

Menurutnya kedatangan Erick Thohir ke Kejaksaan Agung dan bertemu Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang nyata-nyata saat itu kejagung sedang mengusut dugaan korupsi anak buah Erick Thohir yang saat tempus delictinya menjabat menteri BUMN untuk membahas kasus Pertamina adalah terlarang  secara etik hukum.

Oleh karena itu, kalau Asta Cita dalam pemberantasan korupsi benar-benar ditegakkan, maka Presiden Prabowo Subianto harus mencopot keduanya dan juga Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah. 

"Dalam proses penyidikan oleh kejaksaan agung ada juga sinyalemen dugaan  penyimpangan  seperti pada perkara  korupsi jiwasraya, asabri, Terdakwa Zarof Ricar, Penyalahgunaan Kewenangan dalam Tata Kelola Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur. Terakhir adanya indikasi penyimpangan dalam penyidikan kasus korupsi Pertamina," ujarnya.

"Penyidik mendalilkan terjadi kerugian negara pada ekspor minyak mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 Triliun, impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 Triliun, dan impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 Triliun. Namun anehnya dalam cluster pelaku impor dan ekspor minyak tidak ada satu orang pun dari pihak swasta yang ditetapkan sebagai tersangka," tambahnya.

Padahal, tegas Sugeng, roh tindak pidana korupsi Pertamina ada pada cluster tersebut. 

Penyidik malah menyimpang dan menyasar dengan menetapkan tersangka seorang pengusaha muda bernama Muhammad Kerry Andrianto Riza yang tidak bersalah yang melalui badan usahanya PT Orbit Terminal Merak dengan PT Pertamina Patra Niaga terjalin kontrak secara legal dalam kontrak pengadaan jasa Intank Blending, injection additive/ dyes, inter tank dan analisa samping

Penyidik mempersangkakan Muhammad Kerry Andrianto Riza telah memberikan pembantuan kejahatan dalam kegiatan "pengoplosan" bahan bakar minyak (BBM), guna mengubah kualitas RON 88 dan RON 90 menjadi RON 92. 

Oleh karenanya, IPW menilai tuduhan tersebut tidak berdasar. 

Sebab, peristiwa yang terjadi bukan pengoplosan, melainkan blending, sebuah praktik sah dalam industri migas yang diatur oleh hukum. 

"Dalam industri migas, proses blending BBM adalah praktik umum dan sah secara hukum. Blending bertujuan untuk meningkatkan nilai produk, berbeda dengan pengoplosan yang merupakan tindakan ilegal. 

Blending merupakan praktik yang diperbolehkan dalam industri migas dan diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004," ujarnya.

Bahkan, dalam kasus ini, menurutnya penyidik tidak memiliki bukti berupa hasil sampling pemeriksaan laboratorium atas obyek minyak yang diduga hasil oplosan, yang diperdagangkan pada tempus delicti Tahun 2018 sampai 2023.

Nyatanya, saat diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRIN-59/F.2/Fd.2/10/2024 tanggal 24 Oktober 2024, penyidik tidak lagi memiliki barang bukti obyek minyak yang didalilkan oplosan, yang wajib dilakukan uji lab. 

Terbukti pada 4 Maret 2025, Kejaksaan Agung tiba-tiba meralat informasi sebelumnya terkait dugaan pengoplosan BBM oleh Pertamina. 

"Dalam pernyataannya, Kejaksaan Agung menegaskan, kasus yang sedang diselidiki adalah praktik blending, bukan pengoplosan seperti yang diberitakan sebelumnya," ujarnya. 

Menurutnya penggunaan istilah 'oplosan' yang tidak tepat itu telah menyesatkan masyarakat dan merugikan Pertamina. Akibatnya, konsumen kehilangan kepercayaan ke Pertamina dan beralih ke SPBU asing. 

Ini, contoh nyata bagaimana hoaks oleh Kejaksaan Agung dapat merugikan perusahaan nasional dan juga merugikan perekonomian negara. 

Sumber: tribunnews

Komentar