PARADAPOS.COM - Kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) serta sejumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) pada periode 2018–2023 mengguncang sektor energi Indonesia.
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa nilai kerugian negara dalam kasus ini terus berubah signifikan, mencapai hampir Rp1.000 triliun, jauh lebih besar dari perhitungan awal sebesar Rp193,7 triliun.
Hingga saat ini, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka, termasuk dua direksi PT PPN, yakni Direktur Utama Riva Siahaan dan Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Maya Kusmaya. Selain itu, tersangka lainnya berasal dari luar PT PPN, seperti Direktur Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi, serta beberapa individu dari PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim.
Kasus ini melibatkan berbagai modus korupsi, mulai dari penggunaan broker dalam impor minyak yang menyebabkan kenaikan harga hingga 15% di atas nilai sebenarnya, mark-up biaya pengiriman minyak, hingga pengaturan pemenang tender impor minyak mentah yang menguntungkan pihak tertentu.
Meski beberapa pihak telah ditetapkan sebagai tersangka, masih banyak direksi dan komisaris PT PPN yang belum tersentuh hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait tanggung jawab mereka dalam tata kelola perusahaan.
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch, menyoroti ketidakjelasan dalam penetapan tersangka. Menurutnya, audit menyeluruh terhadap peran direksi dan komisaris sangat penting.
"Direksi adalah motor utama pengelolaan perusahaan. Mereka bertanggung jawab atas kebijakan operasional, keuangan, dan strategi perusahaan. Jika ada dugaan korupsi dalam periode 2018–2023, mengapa hanya dua direksi yang ditetapkan sebagai tersangka? Mengapa tidak semua direksi diperiksa?" kata Iskandar kepada wartawan di Bandung, Senin (3/3/2025).
Dia menekankan bahwa sesuai Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT), direksi harus mengurus perusahaan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang, mereka harus bertanggung jawab atas kerugian negara yang terjadi.
Selain direksi, Iskandar juga mempertanyakan peran komisaris PT PPN, yang seharusnya mengawasi kinerja direksi dan memastikan perusahaan berjalan sesuai regulasi.
"Jika seorang komisaris mengetahui ada indikasi korupsi tetapi tidak melakukan langkah audit yang memadai, itu bisa masuk dalam kategori kelalaian berat (gross negligence) yang dapat menjerat mereka dalam pertanggungjawaban hukum," katanya.
Salah satu nama yang disorot adalah Agustina Arumsari, yang menjabat sebagai komisaris PT PPN sejak 2021 dan kini menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Iskandar mempertanyakan apakah ia mengetahui praktik korupsi tersebut tetapi tidak bertindak.
"Jika terbukti lalai dalam pengawasan, komisaris bisa dimintai pertanggungjawaban hukum secara pribadi," tegasnya.
Dia juga menilai bahwa seharusnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melakukan audit terhadap kerugian negara dalam kasus ini, bukan BPKP, untuk memastikan objektivitas dan menghindari benturan kepentingan.
Kasus dugaan korupsi ini telah menarik perhatian publik karena skala kerugiannya yang fantastis dan melibatkan nama-nama besar di sektor energi. Banyak pihak mendesak Kejagung untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya.
"Ini bukan hanya soal dua atau sembilan orang tersangka, tetapi harus ditelusuri lebih jauh siapa saja yang bertanggung jawab dalam skandal ini. Jangan sampai ada aktor utama yang lolos dari jeratan hukum," pungkasnya.
Sumber: wartaekonomi
Artikel Terkait
Giliran Bareskrim Bongkar Penyelewengan BBM Subsidi di Kolaka, Negara Rugi Ratusan Miliar
Diduga Ada Tangan Boy Thohir di Kasus Korupsi PT Pertamina Patra Niaga
Golkar Dorong Kejagung Periksa Ahok di Kasus Korupsi Pertamina Patra Niaga
Erick Thohir Rapat dengan Jaksa Agung hingga Larut Malam, 86 Korupsi Pertamina Patra Niaga?